Padang (ANTARA) - Presiden Prabowo melempar wacana: pemilihan kepala daerah diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) saja. Alasannya efisiensi. Itu ada benarnya.
Bayangkan, secara nasional, Pilkada 2024 menghabiskan Rp. 41 Triliun uang rakyat. Khusus untuk Provinsi Sumatera Barat, uang yang terpakai sebanyak Rp. 200 Miliar. Untuk kota Padang, habis uang sebesar Rp. 56,7 Miliar.
Uang sebanyak itu sangat bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang lebih penting.
Penyelenggaraan Pilkada langsung hari ini serupa mempertemukan kita dengan ungkapan populer: "Minyak Habis Sambal Tak Enak".
Lihatlah, hasil yang didapatkan dari Pilkada yang berbiaya mahal itu tidak sebanding dengan uang yang sudah dikeluarkan. Tidak hanya kualitas yang bermasalah, integritas juga.
Menurut catatan, dalam 5 tahun terakhir pelaksanaan Pilkada langsung yang berbiaya mahal itu, sebanyak 6 Gubernur dan 68 Bupati dan Wali Kota ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan aparat penegak hukum lainnya.
Belum lagi soal fakta memalukan kepala daerah dan wakilnya yang berantam setelah 3 bulan atau 6 bulan dilantik.
Di samping biaya yang mahal, Pilkada langsung juga merusak mental rakyat. Daya rusaknya sangat dashyat.
Sejak Pilkada langsung digelar, rakyat sudah terbiasa dengan praktik Politik Uang Rp. 100.000 - 500.000 dan sembako yang dijadikan alat tukar suara mereka.
Di media sosial banyak beredar video-video pendek yang meggambarkan kerusakan mental rakyat menghadapi Pilkada langsung.
Dialognya lebih kurang begini: "Mat, kamu gak ikutan nyoblos ke TPS? Malas ah, tidak ada Serangan Fajar, respons Mamat".
Siapa yang merusak? Jawabannya, pasti dan sederhana: Partai Politik dan para politisi jahat.
Sekarang hampir tidak ada Partai Politik (Parpol) dan politisi yang siap kalah demi menegakkan asas Pilkada Jujur dan Adil. Yang ada itu justeru sebaliknya, Parpol dan politisi ingin menang.
Apapun caranya, kemenangan harus didapatkan. Jalan pintasnya, lakukan Politik Uang secara berlebihan bahkan cenderung brutal.
Solusinya apa? Kurangi Pilkada langsung. Saya sudah menulisnya sekitar 10 tahun yang lalu di Bisnis Indonesia, tepatnya 18 September 2014. Judulnya, "Pilkada Model Jakarta Solusi Ideal".
Dengan Pilkada model Jakarta berarti Pilkada hanya digelar di tingkat Provinsi saja untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur. Lalu, bupati dan wali kota ditunjuk Gubernur.
Konsep ini akan sangat efisien dari segi anggaran dan waktu. Dengan begitu, Pilkada hanya akan ada sebanyak 38 atau sesuai jumlah provinsi di Indonesia.
Dengan kata lain, kesibukan rakyat kita menyelenggarakan Pilkada akan berkurang sebanyak 508 yang terdiri dari 415 Pilkada kabupaten dan 93 Pilkada kota.
Jika konsep ini dijalankan, nanti secara bertahap DPRD Kabupaten dan Kota dihilangkan saja. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu Kabupaten dan Kota juga tidak diperlukan lagi. Bayangkan betapa hematnya kita dari sisi anggaran, dan kerusakan mental rakyat juga bisa dikurangi.
Konsen saya memang pada kerusakan mental rakyat. Efek buruknya sangat besar bila kerusakan mental rakyat semakin meluas.
Partai Politik dan politisi yang sudah rusak biarkan saja dulu. Keduanya akan membaik sendiri bila mereka sudah dijauhkan dari objek (masyarakat) penyaluran nafsu berkuasa mereka dengan cara yang memalukan itu.
Perbaikan kerusakan Partai Politik dan politisi juga bisa dibantu dengan penguatan institusi penegak hukum serupa KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Maksudnya, perilaku menyimpang Partai Politik dan politisi dipantau secara ketat oleh para penegak hukum untuk ditindak sesuai aturan yang berlaku.(Penulis: Advokat dan Wakil Rektor III UISB)