Jakarta (ANTARA) - Pagi itu di wilayah kawasan kaki pegunungan Ijen, Banyuwangi, terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut yang turun pun terlihat lebih tebal dan embun pun juga lebih banyak karena malam sebelumnya turun hujan.
Namun, dinginnya udara tidak menyurutkan semangat Achmad Shofawy untuk menunaikan rutinitasnya setiap pukul 5.30 pagi yakni menumbuk biji kopi yang baru saja selesai ia roasting secara tradisional menggunakan wajan tanah liat dan kayu bakar.
Biji kopi yang telah ia tumbuk dan terpisah dari kulitnya kemudian dipilah yang bagus-bagus, setelah itu barulah dikemas dalam bentuk biji kopi ataupun digiling menjadi bubuk.
Kopi yang ditanam di kaki Gunung Ijen biasanya disebut Kopi Ijen atau Kopi Ijen Raung, mulai dikenal tahun 1978 dan lebih banyak berjenis kopi arabika karena berasal dari dataran tinggi pegunungan Ijen Raung.
Wilayah tersebut sangat cocok untuk budidaya perkebunan kopi arabika, yang umumnya tumbuh pada ketinggian sekitar 700-1.700 kaki di atas permukaan laut, berbeda dengan jenis kopi robusta yang hanya bisa ditanam di dataran rendah.
Achmad Shofawy merupakan salah satu pemasok kopi Ijen, yang sudah menjalankan usahanya sejak tahun 2009 dan membuka kedai kopi rumahan di tahun 2016 bernama “Kedai Ijen Maning” di Dusun Pesucen, Kecamatan Licin, Banyuwangi. Ia selalu menjual cerita Kopi Ijen yang khas, di mana perkebunan kopi di wilayah ini diapit oleh pegunungan Ijen dan laut.
Kopi Ijen khas Banyuwangi memiliki cita rasa unik karena terpaan udara asam belerang pegunungan Ijen dan udara yang mengandung asam garam laut. Cita rasa seperti ini sangat digemari oleh wisatawan baik domestik dan luar negeri.
“Sebelum pandemi, wisatawan Rusia dan Eropa sering datang ke kedai kopi di desa kami hanya untuk mencicipi kopi luwak arabika di sini, tidak jarang setelah membawa pulang Kopi Ijen, mereka akan melakukan repeat order dan kita kirim ke negara mereka,” ujar Achmad dalam keterangan resmi, Senin.
Ia mengaku bahwa sebelum pandemi, ia sering mengirim kopi luwak dan kopi arabika merek “Ijen Maning” miliknya dengan kisaran harga Rp1 juta per kilogram untuk kopi luwak dan Rp400 ribu per kilogram untuk kopi arabika kepada pelanggan-pelanggan asing yang pernah datang ke kedainya.
“Permintaan paling besar itu sebenarnya datang untuk kopi luwak liar. Petani kopi di sini benar-benar mengumpulkan biji kopi hasil dari pembuangan binatang luwak yang memang berkeliaran di perkebunan kopi. Luwak itu memilih sendiri tumbuhan kopi terbaik untuk dimakan sehingga kualitas biji kopi luwak ini sangat baik. Namun karena pasokan luwak liar sangat terbatas, biasanya kami selalu menawarkan 2 kopi tersebut,” tambahnya.
Walaupun tak seramai sebelum pandemi, kini kedai kopi Ijen Maning milik Achmad mulai berangsur pulih. Tanpa karyawan, Achmad yang dibantu oleh istri anaknya dengan giat memenuhi permintaan konsumen akan kopi-kopinya.
Pemerintah daerah Banyuwangi sendiri memang memiliki perhatian khusus akan potensi ekonomi dari pertanian Kopi. Sejak awal tahun 2009, pemerintah Banyuwangi terus menerus memberikan pelatihan untuk petani-petani kopi.
Banyuwangi Festival
Hingga saat ini, pemerintah daerah terus mendukung geliat para petani kopi Ijen salah satunya Banyuwangi Festival (B-Fest) dan menggelar acara di berbagai sudut kota dan desa, guna menarik wisatawan untuk masuk ke jalan desa di mana setiap warga menjual kopi hasil panen rumahannya.
Guna meningkatkan potensi ekonomi Banyuwangi, Pemda Banyuwangi melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi menargetkan 3 juta wisatawan berkunjung ke Banyuwangi pada tahun 2022 ini, baik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Yanuarto Bramuda mengatakan bahwa pencapaian target tersebut masih akan dipengaruhi oleh pandemi, tetapi kegiatan yang mendorong munculnya strategi pariwisata ke depan terus dilakukan berkolaborasi dengan perhotelan, travel agent, dan pihak ketiga lain.
Dengan pemulihan ekonomi Banyuwangi, pelaku UMKM mulai terdampak positif seiring penuhnya tingkat okupansi hotel, penggunaan jasa travel, hiburan, kuliner, dan suvenir, serta penjualan produk UMKM di Banyuwangi.
Para pelaku UMKM, termasuk Achmad, tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Pengajuan kredit kepada perbankan dilakukan Achmad. Ia mengajukan penarikan Kredit Usaha Rakyat (KUR) tahun 2021 sebesar Rp40 juta untuk memperbesar kapasitas produksinya, sehingga ia dapat memenuhi permintaan konsumen untuk kopi-kopinya.
PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) pun mendukung penuh pemulihan ekonomi khususnya UMKM di Kota Banyuwangi melalui program Penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Askrindo berperan dalam membantu UMKM mengakses permodalan dengan menurunkan risiko kredit yang disalurkan perbankan ke UMKM. Askrindo akan terus mendorong pertumbuhan UMKM sebagai bagian dari upaya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2020.
Besarnya penyerapan KUR di berbagai sektor menjadi indikasi semakin kuatnya pemulihan daya beli masyarakat serta gerak perekonomian yang semakin membaik.
Ke depan Askrindo tetap berkomitmen untuk berpartisipasi memperkuat pemulihan ekonomi nasional khususnya melalui penjaminan kredit di segala sektor usaha yang kredibel.