Yogyakarta, (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Koentjoro memandang fenomena kerajaan fiktif tak selalu berkaitan dengan persoalan ekonomi dan masih berpeluang muncul di kemudian hari.
"Akan selalu terjadi. Sejak zaman dahulu ada, dan ke depan akan tetap ada," kata Koentjoro di Kampus UGM, Yogyakarta, Selasa.
Menurut dia, berdasarkan ilmu psikologi, fenomena kerajaan fiktif seperti munculnya Keraton Agung Sejagat di Purworejo, Jawa Tengah, serta Sunda Empire di Bandung, Jawa Barat, biasanya dimunculkan oleh orang yang mengalami delusi keagungan (grandiose delusion).
Keberhasilan para penggagas kerajaan fiktif untuk menggaet pengikut, menurut dia, karena didukung dengan penguasaan psikologi massa sehingga mampu mempengaruhi atau meyakinkan orang lain.
Cerita-cerita yang disampaikan di tengah kumpulan massa mampu mereka kemas secara menarik sehingga membuat hal-hal yang tidak ada seolah nyata. Kemampuan itu berpeluang menghipnotis orang lain memutuskan menjadi pengikutnya.
"Itulah suatu kekuatan psikologi massa sehingga orang dengan mudah percaya dengan apa yang dikemukakan," kata dia.
Sementara itu, dari sisi para pengikutnya, Koentjoro memandang keputusan mereka tak selalu dilandasi motif ekonomi. Buktinya, menurut dia, merujuk fenomena Kerajaan Agung Sejagat, para pengikutnya rela mengeluarkan sejumlah uang sekadar untuk membeli seragam sebagai syarat keanggotaan.
"Kalau kemiskinan, kenapa mereka mau membayar dua juta, artinya mereka cukup. Kondisi miskin tapi berspekulasi, ada keinginan yang mau dicapai," kata dia.
Keputusan menjadi pengikut, menurut dia, bisa dipengaruhi sejumlah faktor, salah satunya berkaitan dengan post power syndrom.
"Banyak di antara mereka orang-orang tua yang dulu punya jabatan tertentu yang tidak terlalu tinggi yang kemudian ketika pensiun di rumah tidak ada siapa-siapa yang bisa diperintah lalu dia menggabungkan yang ada di situ," kata dia.
Kemungkinan lainnya, kata Koentjoro, adalah kurangnya sentuhan kasih sayang atau penghargaan yang didapatkan para orang tua dari anak-anaknya. Sehingga sebagai sarana aktualisasi diri, mereka memilih bergabung dengan komunitas itu.
Untuk mencegah fenomena kerajaan atau keraton palsu muncul kembali, ia berharap pemerintah dan masyarakat bersinergi untuk meningkatkan daya kritis masyarakat melalui pendidikan.
"Kita ingatkan iqra (membacalah) agar kita mau berfikir, tidak mudah kena pengaruh," kata dia. (*)
Berita Terkait
Kompolnas sarankan Polda cek psikologi polisi yang pegang senjata
Senin, 25 November 2024 19:21 Wib
Unand uji psikologi mahasiswa difabel untuk wujudkan kampus inklusif
Senin, 26 Agustus 2024 19:15 Wib
Pj Wako Pariaman sebut mahasiswa psikologi miliki keuntungan di Era Digital 5.0
Jumat, 28 Juni 2024 20:07 Wib
Polda Jabar lakukan tes psikologi forensik terhadap Pegi Setiawan
Selasa, 11 Juni 2024 9:13 Wib
Departemen Psikologi FK UNAND dan Fakultas Psikologi UIN Ar Raniryberkolaborasi
Rabu, 28 Februari 2024 16:34 Wib
Ahli psikologi forensik bandingkan tekanan Dody dengan Richard Eliezer
Rabu, 12 April 2023 20:03 Wib
Wasapada, Pakar ungkap predator seksual bakal ulangi perbuatannya usai jalani hukuman
Rabu, 22 Maret 2023 15:13 Wib
Survei UI ungkap polarisasi politik di Indonesia fakta terjadi di dunia maya dan nyata
Senin, 20 Maret 2023 6:33 Wib