Jakarta (ANTARA) - Kementerian Dalam Negeri mengajak pemerintah daerah mau duduk bersama penyelenggara pilkada untuk menyelesaikan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) terkait penyelenggaraan Pilkada serentak 2020.
"Tabayyun. Ayo duduk bersama, hitung lagi 'cost-cost'-nya," kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik, di Kantor Kemendagri, Jakarta, Kamis.
Akmal menjelaskan persoalan NPHD Pilkada serentak 2020 yang belum selesai di beberapa daerah lebih disebabkan perbedaan keyakinan soal kemampuan dan kebutuhan anggaran.
Pemda, kata dia, meyakini kemampuan anggaran daerah hanya segitu, tetapi Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten setempat menilai pemda mampu lebih dari itu.
"Pemda yakin cuma mampu segitu, tetapi KPU ndak yakin. Beda keyakinan antara KPU dan pemda. Yang punya uang pemda yakin cuma Rp20 miliar cukup, kata KPU tidak, ini Rp40-an miliar," katanya.
Menurut dia, Kemendagri pasti menurunkan tim untuk membantu menyelesaikan persoalan di daerah, termasuk soal penyelesaian NPHD tersebut.
"Kita pasti turun terus. Cuma, apakah kalau turun menyelesaikan masalah kan belum tentu. Karena yang punya uang pemda," katanya.
Akmal mengatakan Kemendagri masih berupaya melakukan lobi-lobi dan membujuk pemda agar mau duduk bersama KPU untuk menyelesaikan pembahasan anggaran pilkada serentak 2020.
"Kami hanya membujuk pemdanya. Ayo dong. Kalau namanya lobi-lobi kan ada maju sedikit, mundur sedikit," kata Akmal.
Sebelumnya, KPU RI menyebutkan masih ada lima daerah yang belum meneken NPHD terkait penyelenggaraan pilkada 2020 dari 270 daerah yang melaksanakan pilkada.
Kelima daerah itu, yakni Kabupaten Solok, Solok Selatan, dan Tanah Datar yang sama-sama di Provinsi Sumatra Barat, serta Simalungun (Sumatra Utara) dan Pangkajene Kepulauan (Sulawesi Selatan).
Penyebab belum ditandatanganinya NPHD di lima daerah itu lebih bersifat spesifik dan mirip sehingga bisa dikelompokkan, seperti Kabupaten Solok, Solok Selatan, dan Tanah Datar.
Di tiga kabupaten itu, persoalannya karena anggaran usulan KPU dengan anggaran yang dipatok pemda setempat memilikin "gap" yang terlalu jauh.
Berbeda dengan Kabupaten Simalungun dan Pangkajene Kepulauan yang lebih karena relasi atau komunikasi antara kepala daerah dengan penyelenggara pilkada, baik KPU maupun Bawaslu.