Akbar Tandjung Hadiri Sidang Praperadilan Irman Gusman

id Akbar Tandjung

Akbar Tandjung Hadiri Sidang Praperadilan Irman Gusman

Akbar Tandjung. (ANTARA)

Jakarta, (Antara Sumbar) - Politisi senior Partai Golongan Karya (Golkar) Akbar Tandjung menghadiri sidang praperadilan yang diajukan mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Gusman di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin.

"Saya adalah senior dari Irman Gusman, saya merasa prihatin terhadap peristiwa yang dialami oleh saudara Irman bahkan saya sebetulnya ingin menemui dia di Rumah Tahanan Guntur tetapi belum bisa," kata Akbar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin.

Ia menjelaskan bahwa kedatangan dirinya ke PN Jakarta Selatan merupakan suatu bentuk keprihatinan terhadap peristiwa yang dialami oleh Irman Gusman.

"Irman dulu kan kuliahnya di Fakultas Ekonomi UKI, saya dikasih tahu kawan-kawan dari alumni UKI kalau mau ketemu Pak Irman sebaiknya datang saja ke PN Jakarta Selatan, itu lah yang saya dapatkan infonya kemarin yang menyebabkan saya datang hari ini," tuturnya.

Menurut dia, apabila penetapan tersangka tidak sesuai dengan aturan-aturan, maka seseorang juga punya hak untuk melakukan gugatan dalam bentuk praperadilan.

"Tetapi tentu saja saya merasa negara ini kan negara hukum bukan negara kekuasaan, saya melihat ada yurisprudensi bahwa bilamana ada seseorang menganggap ada proses hukum dari penetapan tersangka yang tidak sesuai dengan aturan-aturan maka dia juga punya hak untuk melakukan gugatan dalam bentuk praperadilan," katanya.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (31/10) kembali menggelar sidang lanjutan praperadilan yang diajukan Irman Gusman dengan agenda mendengarkan keterangan dari pihak pemohon.

Dalam permohonan praperadilannya, Irman Gusman secara total mengajukan 11 pokok permohonan (petitum).

Pertama, mengabulkan permohon pemohon praperadilan untuk seluruhnya.

Kedua, menyatakan penyidikan oleh termohon dalam perkara ini adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Ketiga, menyatakan tidak sahnya penangkapan dan penahanan dari konteks surat perintah penahanan oleh termohon Sprinap/84/01/09/2016 tetanggal 17 September 2016.

Keempat, menyatakan surat perintah penyidikan nomor spindik 66/01/09/2016 tertanggal 17 September 2016 yang menetapkan pemohon sebagai tersangka oleh termohon terkait tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 Huruf A, Pasal 12 Huruf D dan Pasal 11 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum.

Oleh karenanya penyidikan aquo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kelima, menyatakan penetapan tersangka terhadap diri pemohon adalah tidak sah.

Keenam, menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh pemohon yang berkaitan dengan penetapan tersangka terhadap diri pemohon oleh termohon.

Ketujuh, menetapkan uang Rp100 juta rupiah adalah gratifikasi yang harus diserahkan kepada KPK sesuai dengan ketentuan pasal 26 C Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Kedelapan, memerintahkan agar sebuah handphone blackberry dengan "memory card" merek sundisk dengan kapasitas 16 GB dan kartu sim Telkomsel dengan nomor 081185499 dikembalikan kepada pemohon.

Kesembilan, merehabilitasi atau memulihkan nama naik pemohon sesuai dengan harkat martabatnya sebagai Ketua DPD RI.

Kesepuluh, memerintahkan pemohon agar dikeluarkan dari tahanan.

Kesebelas, memerintahkan biaya perkara yang ditanggung kepada negara.

Irman Gusman sendiri telah diberhentikan dari jabatan Ketua DPD RI setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus pidana oleh KPK.

Kasus ini diawali dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang terjadi pada Sabtu, 16 September 2016 dini hari terhadap empat orang yaitu Direktur Utama CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto, istrinya Memi, adik Xaveriandy dan Ketua DPD Irman Gusman di rumah Irman di Jakarta.

Kedatangan Xaveriandy dan Memi adalah untuk memberikan Rp100 juta kepada Irman yang diduga sebagai ucapan terima kasih karena Irman memberikan rekomendasi kepada Bulog agar Xaverius mendapatkan jatah untuk impor tersebut.

Irman Gusman dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Xaverius dan Memi disangkakan menyuap Irman dan jaksa Farizal yang menangani perkara dugaan impor gula ilegal dan tanpa Standar Nasional Indonesia (SNI) seberat 30 ton dimana Xaverius merupakan terdakwanya.

Uang suap yang diberikan kepada Farizal adalah sebesar Rp365 juta dalam empat kali penyerahan, sebagai imbalannya, Farizal dalam proses persidangan juga bertindak seolah sebagai penasehat hukum Xaverius seperti membuat eksekpsi dan mengatur saksi saksi yang menguntungkan terdakwa. (*)