Adalah Raeni (21), anak tukang becak asal Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, yang menjadi lulusan terbaik di Universitas Negeri Semarang (Unnes) dengan IPK 3,9.
Saat bertemu Raeni di Lapangan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma, Jakarta (13/6), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun langsung memberikan 'President Scholarship' untuk melanjutkan studi ke Inggris.
"Raeni merupakan salah satu contoh dari keberhasilan program Bidik Misi yang digagas Pemerintah sejak 2010," ucap Mendikbud Mohammad Nuh di sela-sela Dies Natalis I Unusa (14/6).
Ya, program Bidikmisi telah memberikan beasiswa untuk lebih dari 150.000 mahasiswa dari keluarga kurang mampu sejak diluncurkan pada tahun 2010.
"Saat ini, Pemerintah mulai 'panen' sekitar 10.000-an penerima Bidik Misi angkatan pertama (2010), meski ada yang sudah lulus tahun lalu karena mereka menyelesaikannya 'hanya' tujuh semester," tukasnya.
Oleh karena itu, mantan Rektor ITS Surabaya itu pun menyiapkan program Bidik Misi untuk S-2 dan S-3, seperti "President Scholarship" yang diberikan untuk Raeni.
Raeni dkk. bisa menjadi penerima program Bidik Misi (beasiswa pendidikan miskin berprestasi) melalui dua jalur, yakni jalur seleksi bersama masuk PTN (SBMPTN) dengan ujian tulis yang tahun ini dilaksanakan pada tanggal 17 Juni 2014.
Sebelumnya, PTN menerima mahasiswa lewat jalur yang disebut dengan seleksi nasional masuk PTN (SNMPTN) yang sudah diumumkan pada 27 Mei 2014. Jalur ini tanpa ujian tapi berdasar prestasi/akademik (nilai rapor).
Pemerintah sudah membagi kedua jalur itu dengan persentase 50 persen untuk SNMPTN dan 30 persen untuk SBMPTN, sedangkan sisanya sejumlah 20 persen merupakan kuota untuk jalur Mandiri.
Lalu, berapa kuota untuk mahasiswa miskin (peserta Bidik Misi)? Pemerintah tidak memberi kuota secara kaku. Namun, minimal ada 20 persen mahasiswa miskin (Bidik Misi) dalam setiap PTN yang tersebar dalam semua fakultas yang ada dalam kampus itu.
Satu jalur lagi adalah jalur Mandiri (sebanyak 20 persen) yang mengenakan seorang mahasiswa dengan dua pola pembiayaan sekaligus, yakni UKT tertinggi persemester plus "uang gedung" yang nilainya puluhan juta, bahkan ratusan juta hingga miliaran.
Tiga "Kasta"
Nah, jalur-jalur yang ada itu akan memungkinkan adanya tiga "kasta" mahasiswa PTN. Namun, "kasta" dimaksud bukan bermakna negatif (pembedaan), melainkan "kasta" dalam makna positif (pemerataan).
Dikatakan bermakna positif, karena dalam satu kampus ada semua "kasta" yang belajar bersama-sama dan tanpa intervensi Pemerintah melalui "sistem kuota merata" (untuk semua jalur) itu justru akan membuat "pasar" kampus hanya diisi oleh mereka-mereka yang kaya.
Dengan "sistem kuota merata" itu pula mahasiswa PTN akan membiayai perkuliahan dengan tiga pola pembiayaan, yakni pendidikan "free" (gratis) untuk mahasiswa Bidik Misi (SNMPTN/SBMPTN), bahkan mereka "dibayar" dengan uang saku Rp600 ribu per bulan. Ini "kasta" pertama.
Untuk mahasiswa dengan jalur SNMPTN dan SBMPTN (non-Bidik Misi), pendidikan dibiayai dengan cara UKT (uang kuliah tunggal) dengan biaya mulai dari Rp500 ribu hingga Rp7,5 juta/semester. Ini "kasta" kedua.
Namun, UKT itu masih belum final, karena Unair dan sejumlah universitas di Malang belum menetapkan besaran nilai UKT-nya. "Tahun lalu (2013), UKT Universitas Brawijaya Malang paling rendah sebesar Rp2,7 juta per semester dan tertinggi sebesar Rp21 juta per semester," kata Kepala Humas Unibraw, Susantinah Rahayu (10/6).
Dalam konsep UKT, pemerintah memberikan subsidi berdasar kemampuan orang tua mahasiswa dengan beberapa kategori mulai dari terendah hingga tertinggi, baik dari jalur SNMPTN (mahasiswa berprestasi) maupun dari jalur SBMPTN (melalui seleksi/ujian tulis).
"Pendaftar SNMPTN dan SBMPTN yang diterima di Unijoyo (Universitas Trunojoyo Madura) hanya dikenai UKT dalam lima kategori dan tanpa UKA (uang kuliah awal) atau embel-embel lain," kata Kepala Humas Unijoyo, Suci Suryani, S.S., M.Pd.
Lima kategori UKT ala Unijoyo itu meliputi kategori Rp500 ribu, Rp1 juta, Rp1,8 juta, Rp2,25 juta dan Rp2,5 juta. "Pendaftar SNMPTN harus mengikuti verifikasi pada tanggal 12--17 Juni yang meliputi penghasilan orang tua, PLN, PDAM, jumlah keluarga, dan barang elektronik yang dimiliki," katanya.
"Kasta" Ketiga
Lain halnya dengan ITS. "UKT di ITS untuk peserta SNMPTN-SBMPTN 2014 ada tujuh kategori, yakni Rp500 ribu--Rp1 juta, Rp1 juta--Rp2 juta, Rp2 juta--Rp3 juta, Rp3 juta--Rp4 juta, Rp4 juta--Rp5 juta, Rp5 juta--Rp6 juta, dan Rp6 juta--Rp7,5 juta," kata Pembantu Rektor I ITS Prof. Herman Sasongko kepada Antara di Surabaya (13/6).
Akan tetapi, kalau peserta dinyatakan lolos SNMPTN atau SBMPTN bukan berarti mereka langsung diterima karena ada proses verifikasi rapor, portofolio, dan biodata. "Kalau tidak benar, bisa saja batal. Tahun lalu ada yang batal, tetapi sedikit sekali kok," katanya.
Kedua jalur itu akan berbeda sama sekali dengan mahasiswa dari jalur Mandiri (sebanyak 20 persen) karena mereka membayar dengan dua pembiayaan, yakni UKT tertinggi (Rp7,5 juta) per semester plus "uang gedung" yang nilainya puluhan juta, bahkan ratusan juta hingga miliaran. Ini "kasta" ketiga.
Misalnya, mahasiswa jalur Mandiri dalam jurusan sosial-hukum (soshum) mungkin hanya membayar "uang gedung" Rp15 juta hingga Rp30 juta. Namun, mahasiswa jalur Mandiri untuk jurusan saintek bisa membayar "uang gedung" sebesar Rp30 juta hingga Rp50 juta.
Untuk peserta jalur Mandiri di ITS, tidak perlu verifikasi karena mereka langsung dikenai UKT kategori tertinggi atau UKT-7 (Rp7,5 juta) plus SPI (sumbangan pengembangan institusi) yang berkisar Rp30 juta hingga Rp45 juta sesuai dengan prodi.
Pada "kasta" ketiga inilah yang memungkinkan "uang gedung" hingga ratusan juta atau bahkan miliaran, misalnya mahasiswa jalur Mandiri untuk jurusan Kedokteran (saintek), karena "uang gedung" yang dibayar mungkin bisa "hanya" Rp150 juta atau Rp200 juta, tetapi mungkin bisa tembus Rp700 juta hingga miliaran.
"Akan tetapi, mahasiswa dari jalur Mandiri tetap harus lulus ujian pada jalur itu terlebih dahulu, baru ada pertimbangan dalam pembayaran 'uang gedung' itu. Artinya, kualitas nomor satu, baru besaran uang gedungnya," ucap sebuah sumber yang enggan disebut namanya.
Namun, besaran uang gedung bisa sangat menentukan bila calon mahasiswa itu sudah sama-sama lolos seleksi. "Misalnya, satunya membayar Rp50 juta dan satunya membayar Rp500 juta, tentu nilai tertinggi lebih berpeluang," kata sumber itu.
Kendati begitu, ada juga penerima Bidik Misi masuk jalur Mandiri sehingga perkuliahan "free" juga ada pada fakultas kedokteran atau fakultas "bergengsi" lainnya.
"Itulah pola subsidi silang yang diberlakukan oleh PTN karena kuota jalur Mandiri memang hanya 20 persen. Namun, kuota mahasiswa miskin sejumlah 20 persen tetap ada pada seluruh fakultas," ujarnya.
Walhasil, mahasiswa PTN mungkin ada tiga "kasta" sesuai dengan jalur masuknya (Bidik Misi, SNMPTN/SBMPTN, Mandiri). Namun, "kasta" dimaksud lebih bermakna pemerataan yang tidak akan mungkin terjadi bila sistem perkuliahan diserahkan kepada "pasar" tanpa intervensi pemerintah. (*)