Ketika Malin Kundang "Jadi" Wayang Golek

id Ketika Malin Kundang "Jadi" Wayang Golek

Ketika Malin Kundang "Jadi" Wayang Golek

Dalang memainkan wayang golek Minang menceritakan kisah "Malin Kundang", di Rumah Budaya Fadli Zon, Kab.Tanah Datar, Sumbar, Sabtu (21/4) malam. Dalang dikenal sebagai pelopor Wayang Golek Betawi, Tiz

"Ibu... ibu... ibu..," teriak seorang anak yang seketika berubah menjadi batu. Sang ibu pun menyesali kajadian itu, karena dia tidak pernah bermaksud hendak mengutuk anaknya menjadi batu. Meski telah berubah menjadi batu, sang ibu tetap sayang kepada anaknya.

Demikianlah penggalan cerita Malin Kundang, cerita rakyat dari Ranah Minang yang popular itu. Cerita yang sudah turun-temurun diingat masyarakat Minang sebagai sebuah pelajaran agar berbakti kepada orang tua, utamanya kepada ibu.

Selama ini, kisah Malin Kundang si Anak Durhaka memang bukan sebatas cerita atau ditampilkan dalam bentuk drama. Dengan deretan kisah yang sederhana, cerita rakyat ini memiliki nilai ajar yang dalam bagi kehidupan masyarakat di Ranah Minang.

Namun untuk kali pertama, cerita Malin Kundang ditampilkan dalam bentuk wayang golek. Adalah Tizar Purbaya, dalang kawakan kelahiran Banten 62 tahun lalu yang "menghipnotis" para pengunjung Rumah Budaya Fadli Zon di Kanagarian Aia Angek, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, Sabtu (21/4) malam.

Dengan alur cerita sesuai dengan aslinya, Tizar Purbaya didukung oleh mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang menampilkan pertunjukan wayang golek dengan cerita Malin Kundang selama 45 menit.

Sesuai pula dengan namanya, wayang golek Minang ini dilengkapi dengan instrumen musik Minang seperti saluang, talempong, gandang dan lainnya.

Namun, sebagai tahap awal, pertunjukan wayang Minang ini masih menggunakan Bahasa Indonesia. Meski demikian, tidak tertutup kemungkinan, wayang golek Minang ini akan disampaikan dalam bahasa Minang.

Tizar Purbaya mengungkapkan, dirinya merasa puas dapat menampilkan pertunjukan wayang golek dengan mengangkat cerita Minang.

Meski sangat mengenal cerita Malin Kundang, namun ia mangaku masih sedikit "kikuk".

"Saya memang sedikit kikuk, tapi saya senang dapat membawakan cerita Malin Kundang ini," kata dia..

Ketika ditanya apakah cerita rakyat Minang yang dipertunjukkan dalam wayang golek dapat ditampilkan ke seluruh daerah di Indonesia, Tirza menjawab, "bisa saja, sebab cerita rakyat Minang merupakan bagian dari cerita rakyat di Indonesia. Selain itu, kan banyak juga para perantau Minang yang tersebar di seluruh Indonesia," ungkapnya.

Tirza juga berniat untuk mengeksplorasi lebih dalam cerita rakyat Minang lainnya, seperti "Sabai Nan Aluih".

"Saya sedang mendalami cerita Sabai Nan Aluih. Butuh waktu cukup lama untuk membuat pertunjukannya karena tokoh dalam cerita ini terbilang banyak," katanya.

Perkaya Seni Minang

Pertunjukan wayang golek yang digelar Sabtu (21/4) malam mulai pukul 19.30 itu bertepatan dengan peringatan Hari Kartini. Pertunjukan wayang golek Minang itu bertujuan guna memperkaya khazanah seni pertunjukan budaya di Ranah Minang.

Ide tersebut muncul dari Fadli Zon, pendiri Rumah Budaya, ketika ia bertemu dengan Tizar Purbaya.

"Mengingat banyak sekali wayang golek dari beberapa daerah. Ketika bertemu pak Tizar Purbaya, muncullah gagasan untuk mengadakan pertunjukan wayang golek dengan cerita dari Ranah Minang," kata Fadli Zon.

Menurut dia, kekayaan cerita rakyat di Ranah Minang sangat tepat dieksplorasi dengan medium wayang guna menyampaikan pesan-pesan moral yang ada di dalam cerita rakyat itu.

Selain itu, kata Fadli, dengan menggunakan media wayang, cerita-cerita rakyat yang ada di Minang akan lebih variatif dalam penyampaiannya, dan tidak monoton.

Pemilihan cerita Malin Kundang, kata dia, selain popular, cerita itu juga merupakan suatu awal dari gagasan wayang golek Minang.

"Ke depan, akan lebih banyak lagi cerita rakyat Minang yang dieksplor, seperti cerita Sabai Nan Aluih dan banyak lainnya," katanya.

Penampilan wayang golek Tizar Purabaya dalam cerita Malin Kundang mendapat sambutan baik dari pengunjung, salah satunya sastrawan Taufik Ismail.

Taufik Ismail berpendapat, wayang golek dengan cerita dari Ranah Minang itu merupakan gagasan yang luar biasa bagi pengembangan khazanah pertunjukan seni budaya di Minang.

"Banyak cerita Minang yang dapat dieksplorasi dan ditampilkan dalam pertunjukan wayang golek ini. Dan tidak berlebihan rasanya, jika suatu waktu Tizar Purbaya kita minta untuk memainkan wayang golek dalam bahasa Minang," katanya.

Sinopsis Cerita

Dalam pertunjukannya Tirza Purbaya menampilkan cerita Malin Kundang sebagaimana cerita yang telah dikenal khalayak. Malin Kundang yang diceritakan adalah seorang pemuda pesisir yang ingin mengubah nasib keluarganya menjadi lebih baik.

Malin Kundang diceritakan sebagai pemuda yang sering dizalimi preman kampung. Dalam kondisi ekonomi keluarga yang sulit, Malin Kundang pergi merantau dan berlayar atas restu "Mamak Haji" (orang yang dituakan di kampung).

Singkat cerita, Malin menjadi pemuda yang sukses, kaya dan memiliki kapal. Setelah beristri, ia berlayar ke kampung halaman.

Kabar kedatangan kapal didengar oleh ibu si Malin Kundang. Seorang ibu yang tak pernah lupa akan anaknya, tentu sangat gembira dapat bertemu kembali setelah lama terpisah.

"Kamu telah besar nak," sapa sang Ibu.

Malin pun menyahut, "siapa kamu?"

"Aku ibumu, Malin," jawab sang Ibu.

Malin tidak serta merta percaya dan bahkan berkata, "aku tidak pernah punya ibu macam kamu."

Mendengar itu, sang ibu pun berusaha meyakinkan anaknya.

"Malin, ibu tidak akan pernah lupa padamu nak."

Malin pun kembali menjawab hal serupa, bahkan ia mendorong sang ibu yang mencoba mendekat pada Malin.

"Ibu tidak butuh hartamu nak. Ibu hanya ingin kau mengakui aku adalah ibumu. Sebut aku ibu nak, sebut aku ibu," permohonan sang ibu.

Namun Malin tidak mau mengakui itu, bahkan kembali mendorong sang ibu.

Sang ibu pun berputus asa hingga terucap kata-kata, "Malin, Malin, hatimu sekeras batu, nak."

Pada akhirnya, akibat ucapan itu, Malin Kundang berubah jadi batu. Meski demikian, dalam cerita tersebut dinukilkan, "Meskipun kamu jadi batu Malin, ibu tetap sayang kepadamu nak."

Tizar membuat interpretasi sedikit berbeda, dimana dalam dialognya, ibu Malin Kundang mengatakan "Hati kamu sekeras batu, nak," dengan makna bahwa tidak mungkin seorang ibu yang begitu penyayang tega mengutuk anaknya menjadi batu.

"Hal itu saya lakukan karena mengingat kecintaan seorang ibu kepada anaknya, tidak mungkin ada seorang ibu yang tega mengutuk anaknya menjadi batu," ungkap Tizar. (*)