KABUPATEN
Sijunjung selain memiliki keindahan alam dengan panorama alam kawasan Musiduga
(Muaro, Silokek, dan Durian Gadang), ternyata juga memiliki beragam khas budaya
yang tersebar disetiap nagari. Sebut saja budaya baarak kubua (ziarah kubur),
baombai maupun budaya bakaua adat (berkaul adat).
Khusus budaya bakaua adat, umumnya setiap nagari di
Kabupaten Sijunjung hingga saat ini masih tetap melaksanakannya. Dan biasanya
bakaua adat ini dilaksanakan setelah selesai masa panen dan hendak menjelang
musim tanam di tahun berikutnya.
Biasanya pelaksanaan bakaua adat ini diawali terlebih
dahulu dengan musyawarah di tingkat nagari, yang dihadiri seluruh
petinggi-petinggi nagari, mulai dari ninik mamak, alim ulama, cerdik pandai
serta wali nagari dan lembaga-lembaga yang ada di nagari.
Setelah didapat kata sepakat, bulek alah sagolek, picak alah
salayang, maka ditentukanlah hari pelaksanaan bakaua, termasuk berbagai
jenis hiburan yang akan ditampilkan pada malam bajago-jago guna
menyemarakkan alek anak nagari tersebut. Misalnya penampilan kesenian randai,
selawat dulang, saluang dendang, rabab maupun yang lainnya.
Penampilan kesenian ini pada malam bajago-jago, selain
bertujuan untuk menghibur kaum ibu yang menyiapkan berbagai peralatan bumbu
dapur, juga sebagai media hiburan bagi anak nagari sekaligus untuk melestarikan
kesenian tradisional yang saat ini terancam lengser dari singgasananya akibat
terpaan dan serbuan musik-musik modern beraliran keras dan bukan berakar dari
budaya Minangkabau.
Hiburan yang diperuntukkan buat anak nagari itu akan
berlangsung hingga masuknya waktu subuh, setelah selesai shalat subuh maka
kegiatan dilanjutkan dengan menyemblih kerbau yang telah dipersiapkan untuk
pesta adat ini. Penyemblihan dilakukan kaum laki-laki yang telah ditugaskan
untuk pekerjaan tersebut.
Kemudian setelah kerbau disemblih dan dipotong sedemikian
rupa, maka tugas pun kembali beralih pada kaum ibu, dimana daging kerbau yang
telah disembelih dan dibersihkan akan dimasak oleh kaum ibu secara
bersama-sama.
Selain memasak daging kerbau yang nantinya akan disajikan
pada saat acara makan bajamba, kaum ibu juga diberi tanggung jawab menyediakan
nasi serta sambal dan penganan lainnya untuk disajikan kepada para tamu dan
undangan yang hadir pada kegiatan berkaul.
Setelah semuanya selesai, maka tibalah saat untuk
melaksanakan kegiatan berkaul, dan
biasanya dilaksanakan setelah selesai shalat Zuhur. Saat itu kaum ibu akan
datang ke lokasi perkaulan dengan membawa makan dengan cara dijujung, makanan
yang dibawa ini diletakkan pada sebuah dulang yang kemudian ditutupi dengan
tudung saji lengkap dengan penutupnya berupa kain beludru. Ibu-ibu yang membawa
makanan ini datang dengan cara berarak, namun ada juga yang datang secara
sendiri-sendiri.
Sementara itu, para ninik mamak juga akan datang secara
bersamaan lengkap dengan pakaian kebesaran masing-masing. Para pucuk adat ini
datang dengan diiringi musik talempong yang merupakan musik tradisional Minang.
Setelah seluruhnya lengkap hadir termasuk dari instansi
pemerintah, maka acara berkaulpun dilaksanakan. Disinilah kita dapat melihat kekompakan
dari suatu nagari dalam menggelar sebuah alek besar. Sebab seluruh anak nagari diberi
tanggung jawab sesuai perannya masing-masing.
Kemudian, pada kesempatan ini kita juga akan mengetahui
tata cara pelaksanaan alek nagari, khususnya dalam pelaksanaan berkaul. Dimana
kita juga akan disuguhi pepatah petitih adat, sekaitan dengan kegiatan yang
dilaksanakan, termasuk saat pelaksanaan makan bersama.
Tak hanya sampai disana, kegiatan berkaul ini juga
sekaligus sebagai sarana untuk menyampaikan berbagai aturan nagari tentang
aturan pataunan (musim tanam) yang telah disepakati oleh
petinggi-petinggi, yang intinya meminta seluruh anak nagari untuk dapat
melaksanakan musim tanam secara serentak, termasuk dalam membenahi sarana
pengairan yang ada, yang nantinya akan dimanfaatkan untuk mengairi sawah selama
musim tanam.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, berkaul adat
yang dilaksanakan setiap tahun itu tidak hanya sebagai wujud rasa syukur
terhadap Allah SWT yang lebih memberikan rahmat dan karunianya terhadap umat
manusia, tapi juga sebagai media tempat menyampaikan informasi, bermufakat
sekaligus untuk berbagai suka atas nikmat yang diperoleh selama ini.
Disini seluruh anak nagari, baik tua maupun muda tumpah
ruah memenuhi arena perkaulan, mereka bergembira ria memeriahkan alek nagari
sambil menikmati sajian secara bersama yang datangnya hanya satu kali dalam
setahun. Dan hendaknya ini dapat dimanfaatkan pemerintah dalam memacu
pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui sektor pertanian, sekaligus mengangkat
sektor pariwisata dengan menggali dan mengembangkan kearifan lokal yang selama
ini telah terbangun ditengah-tengah masyarakat. Kalau Pariaman terkenal dengan
tabuiknya dan telah sukses menggaet wisatawan baik domestik maupun mancanegara,
maka Sijunjung mungkin saja populer dengan bakaua adatnya. Akankah itu bisa
terwujud ? (*)