Padang (ANTARA) - Bencana hidrometeorologi yang terjadi di akhir November 2025 lalu, turut menjadi catatan kelam bagi Sumatera Barat. Cuaca ekstrem yang dipicu oleh aktivitas dinamika atmosfer yang tidak biasa, Siklon Tropis Senyar, menerjang sebagian besar wilayah Sumatera. 

Kota Padang, sebagai etalase Provinsi Sumatera Barat, tak luput dari hantaman ini. Kerusakan infrastruktur, krisis air bersih, permukiman yang terendam, hingga jatuhnya korban jiwa menjadi saksi bisu betapa dahsyatnya dampak bencana tersebut. 

Sebagai gambaran, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Padang memperkirakan kerugian infrastruktur mencapai 264 milyar rupiah. 

Selain itu Sebanyak 12 orang meninggal dan 4.446 jiwa terpaksa harus mengungsi sebagaimana dilaporkan oleh BPBD Kota Padang pada 1 Desember 2025. 

Data tersebut cukup untuk menggambarkan masifnya dampak yang ditimbulkan dari badai yang terjadi dalam sekurangnya 4 hari tersebut. 

Saat air surut dan lumpur mulai dibersihkan, satu pertanyaan besar menggantung di benak kita semua: Akankah bencana ini berulang?

Dalam kajian kebencanaan, risiko (risk) tidak pernah berdiri sendiri. Mengacu pada BPNB (2016), risiko bencana adalah hasil perkalian antara ancaman alam (hazard) dengan kerentanan (vulnerability) dan kapasitas (capacity) kita dalam meresponsnya. 

Ancaman utama ditentukan oleh kondisi alam. Namum menyalahkan kondisi alam, khususnya hujan semata adalah cara berpikir yang tidak akan menyelamatkan kita di masa depan. Kita perlu melihat lebih dalam pada bagaimana kita memperlakukan ruang hidup kita. 

Secara fisik, kondisi Kota Padang dan sekitarnya adalah sesuatu yang "given" atau sebuah kenyataan tidak dapat dielakkan. Topografi yang dikepung oleh perbukitan Bukit Barisan, jenis tanah dari rombakan bahan vulkanis, dan struktur geologi yang kompleks adalah variabel statis yang tidak bisa kita ubah. 

Kita memang hidup di wajah alam yang rawan meskipun keadaannya relatif stabil. 

Namun kestabilan tersebut terusik saat alih fungsi lahan terjadi. 

Intensitas perubahan lahan di kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) memegang kunci fatalitas sebuah bencana. Hutan yang beralih fungsi tak lagi mampu menahan air. 

Data dari Global Forest Watch menunjukkan Kota Padang telah kehilangan setidaknya 1.800 hektar hutan atau 5 persen dari seluruh tutupan hutan antara 2020 hingga 2024.

Lebih mengkhawatirkan lagi, torehan erosi yang terbentuk akibat bencana November kemarin kini menjadi luka terbuka meningkatkan potensi erosi lanjutan. 

Bukan tidak mungkin longsor susulan akan terjadi jika hujan deras kembali mengguyur. Di sisi lain, dari kacamata klimatologi, kita sedang berhadapan dengan realitas perubahan iklim.

Pemanasan global memicu peningkatan suhu muka laut dan mendorong terbentuknya siklon tropis. Hal ini menjadi peringatan dimana curah hujan ekstrem yang sebelumnya dianggap langka, akan sangat mungkin menjadi "kenormalan baru" di masa depan.

Jika kita meninjau lebih detail ke lapangan, besarnya kerugian materiil di Kota Padang dan kota-kota lain di Sumbar, Sumut dan Aceh bukan semata karena derasnya hujan, melainkan karena di mana kita memilih untuk tinggal. 

Area yang terdampak paling signifikan, ironisnya, adalah permukiman-permukiman yang sebenarnya berdiri di atas area dataran banjir (floodplain).

 

Kawasan seperti komplek perumahan Lumin Park di Kecamatan Koto Tangah, Gunung Nago di Pauh, hingga Tunggul Hitam di Nanggalo adalah contoh nyata. Secara geomorfologis, area-area tersebut sejatinya adalah jalur air yang pernah dilalui sungai di masa lampau dalam skala umur geologis. 

Selama bertahun-tahun, mungkin air tidak lewat kawasan tersebut, sehingga kita merasa aman mengokupasi lahan tersebut untuk permukiman. Namun, hukum alam memiliki logikanya sendiri. Ketika debit air melonjak drastis seperti kejadian, sungai tidak mencari jalan baru, melainkan hanya meminta haknya kembali. 

Lantas, akankah bencana ini berulang? Jawabannya: Sangat mungkin, bahkan hampir pasti. Selama kita mengabaikan pola perilaku alam, kita hanya sedang menunggu giliran. 

Kapasitas kita dalam menghadapi bencana harus ditingkatkan. Pertama, edukasi kepada masyarakat tidak cukup hanya mengajarkan mengevakuasi diri, tetapi juga membangun kesadaran untuk memahami pola alam. 

Masyarakat perlu sadar bahwa tinggal di area yang rawan banjir adalah sebuah risiko besar yang tidak bisa ditawar. 

Kedua, dan yang terpenting, adalah ketegasan pemangku kebijakan setempat. Antisipasi tidak boleh berhenti pada seremonial tanggap darurat. Pemerintah harus berani mengevaluasi tata ruang secara jujur. Izin pembangunan di area raawan banjir seperti sempadan sungai harus diperketat. 

Selain itu, penyediaan jalur evakuasi yang jelas dan shelter pengungsian yang layak adalah kewajiban mutlak yang harus disiapkan sebelum langit kembali gelap.

Perlu digarisbawahi, upaya dalam menekan alih fungsi lahan di daerah tangkapan hujan bagian hulu tetap harus diprioritaskan.

Bencana kemarin adalah teguran keras dari alam. Tanpa mengurangi rasa kedukaan atas korban yang terdampak, jangan sampai kita tersadar dan berbenah ketika sungai kembali datang menagih haknya. 

Dengan demikian, kita tidak harus membayarnya dengan harga yang jauh lebih mahal di masa depan. Seperti pepatah Minangkabau, alam takambang jadi guru, cukuplah kita belajar dari apa yang ditunjukkan dari alam tempat tinggal kita demi keselamatan dan kehidupan yang lebih baik.
 
Wikan Jaya Prihantarto
Mahasiswa Program Doktor Studi Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam
Sekolah Pascasarjana, IPB University


Pewarta : *Wikan Jaya Prihantarto
Editor : Jefri Doni
Copyright © ANTARA 2025