Painan (ANTARA) - Ketua Pansus Undang-undang (UU) Cipta Kerja Alirman Sori menegaskan Mahkamah Konstitusi (MK) seharusnya secara tegas menyatakan mencabut tanpa syarat UU tersebut karena memang inkonstitusional.
Ia menilai putusan MK yang menyatakan inkonstitusional bersyarat itu terkesan ambigu. Di satu sisi menegaskan cacat konstitusi dan di sisi lain memberi ruang selama dua tahun pada pemerintah untuk melaksanakannya, meski tidak dibolehkan membuat aturan turunannya.
"Nah, di sini kami nilai ambigu. Bagaimana mungkin pelaksanaan sebuah UU tidak ada aturan turunannya," ungkap pria yang juga Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI itu di Painan.
Akibat keputusan yang ambigu pemerintah tetap melahirkan produk hukum turunan UU Cita Kerja seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 68 tahun 2021. Seharusnya keputusan MK itu mesti bersifat final dan mengikat.
Menurutnya kelahiran UU Cipta Kerja juga telah mengebiri dan memenjarakan otonomi daerah, karena terlalu banyak kewenangan daerah yang dicabut seperti tentang izin dan pengelolaan sumber daya alam yang kini ditarik ke pemerintah pusat.
Lebih dari itu ada ketidak selarasan dalam membangun politik hukum terkait UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, apalagi kelahirannya telah menarik cukup banyak regulasi dan menggabungkannya menjadi satu.
"Jadi, terkesan dipaksakan. Ini tidak baik sebenarnya," ujar senator asal Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat itu.
Ia menyampaikan saat ini Pansus terus melakukan pembahasan terkait UU Cipta Kerja, bahkan telah memintai pandangan dari para pakar dan ahli hukum terkait rekomendasi MK dan keberadaan UU tersebut.
MK memutus permohonan uji formil dan materiil UU Cipta Kerja dan mengabulkan 1 dari 12 permohonan, yakni pengujian formil perkara nomor 91/PUU-XVIII/2020, namun masih memberi ruang pelaksanannya selama 2 tahun.
Keputusan yang dikeluarkan MK itu berawal dari gugatan yang diajukan Migrant Care, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat. Kemudian Mahkamah Adat Minangkabau dan Muchtar Said beberapa waktu lalu.
Mahkamah juga menangguhkan semua kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Kemudian juga tidak membenarkan pemerintah menerbitkan peraturan pelaksanaan baru yang secara langsung berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
"Pansus kini sedang berjalan, namun kami berharap UU ini dicabut karena sangat bertentangan dengan konstitusi, sehingga tidak menimbulkan polemik dan gugatan lagi di kemudian hari," tegasnya. ***2***
Ia menilai putusan MK yang menyatakan inkonstitusional bersyarat itu terkesan ambigu. Di satu sisi menegaskan cacat konstitusi dan di sisi lain memberi ruang selama dua tahun pada pemerintah untuk melaksanakannya, meski tidak dibolehkan membuat aturan turunannya.
"Nah, di sini kami nilai ambigu. Bagaimana mungkin pelaksanaan sebuah UU tidak ada aturan turunannya," ungkap pria yang juga Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI itu di Painan.
Akibat keputusan yang ambigu pemerintah tetap melahirkan produk hukum turunan UU Cita Kerja seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 68 tahun 2021. Seharusnya keputusan MK itu mesti bersifat final dan mengikat.
Menurutnya kelahiran UU Cipta Kerja juga telah mengebiri dan memenjarakan otonomi daerah, karena terlalu banyak kewenangan daerah yang dicabut seperti tentang izin dan pengelolaan sumber daya alam yang kini ditarik ke pemerintah pusat.
Lebih dari itu ada ketidak selarasan dalam membangun politik hukum terkait UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, apalagi kelahirannya telah menarik cukup banyak regulasi dan menggabungkannya menjadi satu.
"Jadi, terkesan dipaksakan. Ini tidak baik sebenarnya," ujar senator asal Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat itu.
Ia menyampaikan saat ini Pansus terus melakukan pembahasan terkait UU Cipta Kerja, bahkan telah memintai pandangan dari para pakar dan ahli hukum terkait rekomendasi MK dan keberadaan UU tersebut.
MK memutus permohonan uji formil dan materiil UU Cipta Kerja dan mengabulkan 1 dari 12 permohonan, yakni pengujian formil perkara nomor 91/PUU-XVIII/2020, namun masih memberi ruang pelaksanannya selama 2 tahun.
Keputusan yang dikeluarkan MK itu berawal dari gugatan yang diajukan Migrant Care, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat. Kemudian Mahkamah Adat Minangkabau dan Muchtar Said beberapa waktu lalu.
Mahkamah juga menangguhkan semua kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Kemudian juga tidak membenarkan pemerintah menerbitkan peraturan pelaksanaan baru yang secara langsung berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
"Pansus kini sedang berjalan, namun kami berharap UU ini dicabut karena sangat bertentangan dengan konstitusi, sehingga tidak menimbulkan polemik dan gugatan lagi di kemudian hari," tegasnya. ***2***