Padang (ANTARA) - Dari arah utara, perahu melaju menembus riak. Pagi itu hari baik untuk berlayar, tidak terlalu berombak. Dari ufuk barat, laut memantulkan warna langit yang berawan. Bunyi mesin tempel memecah kesunyian.
Seorang agen sekaligus kurir JNE, El Samsul Hadi, bersama seorang operator (nahkoda) berada di atas kapal kecil itu menuju selatan.
Hadi harus mengantarkan paket ke Dusun Mapinang, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Kabupaten tersebut merupakan sebuah gugusan pulau terluar di bagian barat Pantai Sumatera yang masih masuk daerah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar), dengan empat pulau besar yakni Pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Pagai Selatan;
Mentawai juga terkenal dengan ombaknya yang tinggi dan menjadi spot favorit bagi para peselancar.
"Pengiriman paket menggunakan jalur laut, memang risiko kecelakaan tinggi. Kalau kebetulan cuaca mendukung, perjalanan aman. Tapi kalau cuaca buruk, aduh minta ampun," kata Hadi, di Sikakap, Minggu (2/1/2022).
Hadi merupakan agen JNE di Desa Sikakap, Kecamatan Pagai Utara, Mentawai. Ia sudah bekerja dengan perusahaan jasa pengiriman itu selama 11 tahun.
Untuk mencapai Dusun Mapinang, kata dia, membutuhkan waktu sekitar dua jam, namun saat pulang harus menghabiskan waktu lima jam karena cuaca buruk.
"Karena cuaca tidak bagus, terkadang ada juga kapal yang terbalik, hempasan ombak itu besar sekali. Namun jika operator kapalnya sudah berpengalaman, biasanya akan aman," jelas Hadi.
Saat pulang dari Dusun Mapinang, perahunya dihempas ombak sehingga banyak air masuk ke bagian dalam perahu.
Ketika itu, kata Hadi, gelombangnya rapat, tidak terbaca, kondisi angin badai dicampur gerimis.
Meskipun tidak terbalik, namun perahu yang dicarternya itu terendam, paket-paket yang belum dikirim terapung-apung tapi bisa diselamatkan.
Pantai Barat Mentawai, menurut Hadi, memang menjadi momok menakutkan bagi nelayan dan nahkoda kapal-kapal kecil.
Di sana, tidak ada perlindungan dari ombak, seperti pulau dan pantai-pantai untuk tempat menepi.
"Kalau rasanya bisa tembus, ya terus, kalau tidak mendingan mundur," katanya.
Untuk jalur laut, paling jauh Hadi mengantar paket hingga ke Dusun Bungo Rayo, Desa Sinaka, Kecamatan Pagai Selatan, yakni sekitar tiga jam perjalanan.
Sementara ke Desa Bulasat, juga termasuk menyambung perjalanan jalur darat yang paling jauh dan sulit ditempuh. Dengan kondisi jalan licin berisiko terjatuh di perjalanan ketika menggunakan motor.
"Saya juga pernah juga terkurung karena banjir, akhirnya gak bisa antar paket. Pernah juga bersama-sama warga menaikan motor ke atas sampan agar bisa melewati banjir," kata pria kelahiran Lombok, NTB itu.
Hadi mengaku, setiap melewati rintangan tersebut memang tetap ada rasa takut, tapi rasa berjuang demi keluarga itu mengalahkan segalanya.
Bapak tiga anak itu khawatir, jika paket tidak sampai ke alamat, nanti kepercayaan dari pihak JNE pusat kepadanya akan hilang.
Hadi juga mendokumentasikan setiap kesulitan dalam perjalanan untuk meyakinkan pihak JNE.
Head of Unit Operation JNE Padang, Adrialdi mengakui transportasi massal yang tidak ada di antar pulau, menjadi kendala pengiriman paket.
Untuk pengiriman ke Mentawai, kata Adrialdi, melalui kota Padang menggunakan kapal cepat Mentawai Fast, diantar ke tiga pulau dengan cabang di Tua Pejat, Sipora, dan agen di Siberut dan Sikakap.
Dari tiga titik itulah, paket kemudian diantar ke pulau-pulau kecil atau dusun dan desa yang tidak bisa diakses melalui jalur darat.
"Transportasi massal memang tidak ada untuk antar pulau, jadi harus sewa speedboat. Inilah yang makan biaya lebih besar," kata Adrialdi.
Solusinya sekarang, tambahnya, agen bisa menitip dengan warga yang bepergian ke alamat penerima, atau dijemput langsung ke agen.
Adrialdi juga mengungkapkan keinginannya ada armada khusus untuk melayani pulau terluar.
Kendala Jarak dan Komunikasi
Kepala Cabang JNE Mentawai, Tumpal mengatakan, biasanya penerima paket di daerahnya tersebut proaktif ketika tahu ada paket untuk mereka tiba di kantor cabang.
"Kami di Mentawai ini, saling membantu, inisiatif bertanya kepada warga yang hendak pergi ke sejumlah pulau, untuk menitip paket,
Hal tersebut dilakukan ketika pihaknya sudah kesulitan akses, sementara biaya pengiriman berupa sewa kapal lebih besar.
Seperti kiriman untuk resor-resor di sejumlah pulau di Mentawai, kata Tumpal, biasanya akan dikabari dari cabang, dan penerima proakfit dengan menjemput, atau menitip kepada kenalan mereka yang pergi ke Tua Pejat.
JNE Mentawai sendiri memiliki cabang di Tua Pejat, pulau Sipora, sedangkan di Pulau Siberut dan Sikakap, Pagai Utara, merupakan agen di bawah kantor cabang.
Dengan metode titip barang, kata Tumpal, pelanggan pun tidak merasa keberatan, karena mereka sadar sulitnya akses di kepulauan.
"Jika paket agak banyak, kami biasanya sewa kapal. Kalau tidak banyak, kami akan mengontak penerima untuk membicarakan bagaimana pengantarannya," kata Tumpal.
Komunikasi menurutnya penting sekali, karena jangan sampai paket sudah jauh di antar sedangkan penerima paket tidak ada di rumah.
"Initinya di sini kita saling membantu, masyarakat terbantu dengan JNE, kami pun terbantu juga, dan bisa menciptakan lapangan kerja di Mentawai sekaligus mengurangi pengangguran," jelas Tumpal.
Agen JNE Sikakap, El Samsul Hadi, menambahkan, tidak hanya jarak yang menjadi kendala, namun juga komunikasi, karena tidak semua pulau di Mentawai terdapat sinyal seluler.
"Pernah saya sudah susah payah mengantar paket ke alamat, lalu orangnya tidak ada di rumah, nomornya juga tidak aktif," katanya.
Karena itu, ia berharap nomor ponsel yang tertera di paket tersebut memang nomor yang aktif dan bisa dihubungi, karena rekomendasi dari JNE pusat, agen/kurir harus menghubungi nomor penerima.
"Jadi kalau komplain, nomor hp-nya harus sesuai dengan nomor yang tertera, karena banyak yang komplain nomornya tidak sama," tambahnya.
Hadi sering mengirimkan paket makanan, aksesoris, pakaian dan elektronik ke wilayah pulau Pagai Selatan dan Pagai Utara
Sebanyak 50 persen kiriman berupa pakaian untuk dijual kembali di Mentawai, yang menggunakan JNE Trucking (JTR), yakni layanan pengiriman dalam jumlah besar dengan harga yang kompetitif dengan minimum berat paket 10 kilogram.
Pelanggan JNE di Mentawai, Yetti Leni mengaku sering menitip paket yang ditujukan kepadanya, kepada kenalan yang kebetulan pergi ke Sikakap.
"Biasanya kalau ada paket, saya titip barangnya sama orang yang kebetulan belanja ke Sikakap, karena jarak tempuh ke rumah saya cukup jauh, sulit dijangkau," kata Yetti.
Yetti yang suka belanja online itu tinggal di Desa Malakopa, Pagai Selatan, sekitar dua jam perjalanan laut. Jika lewat darat, waktu tempuh semakin lama yakni hingga empat jam karena kondisi tak mendukung.
Meskipun begitu, yang terpenting baginya adalah paketnya sampai sehingga ia pun puas menerima barang yang dibelinya melalui toko daring itu, seperti pakaian dan sepatu.
Menurutnya, pelayanan JNE di daerahnya sudah cukup bagus, dan berharap ke depan dapat mempertahankan komitmen dalam pelayanan dan tetap menjadi yang terbaik. [*]