Padang, (ANTARA) - Rona Meiga Fitria (37) tidak menyangka ia akan menjadi satu dari tiga ribuan orang yang terpapar COVID-19 di Sumatera Barat dan harus menjalani isolasi di RS Unand, salah satu RS rujukan COVID-19 di provinsi itu.

Sejak menggeluti usaha kue, ia amat jarang keluar rumah. Sebagian besar waktu ia habiskan untuk mengaduk adonan, membakar dan memberi topping kue agar makin menarik di mata konsumen. Mulai kerja pagi hari, menjelang sore baru seluruh pekerjaan itu selesai.

Apalagi sembari membuat kue, ia juga harus menjaga dua buah hatinya Fauzil (9) dan Fauzia (4). Fauzil sekolah daring. Tugasnya banyak. Tiap sebentar mencari bundanya untuk bertanya. Sementara Fauzia sedang aktif-aktifnya. Jadilah ia bunda super sibuk dan kalau sore jadi bunda super letih.

Belakangan ia juga mulai jarang pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan kue, terutama setelah pandemi COVID-19 melanda dan sang suami bersedia membantu membelikan segala kebutuhan saat pulang kerja.

Namun malang memang tidak dapat ditolak. Meski sebagian besar kegiatan dilakukan di rumah, ia ternyata terpapar COVID-19 juga. Terpapar dari mana? Pertanyaan yang sampai sekarang tidak bisa dijawab dengan pasti.

Mungkinkah dari pakaian suami sepulang kerja? Dari beberapa referensi ia membaca SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19 memang bisa bertahan hidup cukup lama di bahan berpori. Sejak penerapan adaptasi kebiasaan baru, sang suami yang berprofesi sebagai jurnalis memang agak longgar pada penerapan "SOP" cuci pakaian sehabis kerja.

Saat awal masa pandemi, sepulang kerja, suami akan langsung ke belakang merendam pakaian, mandi, baru bertemu keluarga. Namun sejak penerapan adaptasi kebiasaan baru agak kendor. Tidak jarang sepulang kerja bercengkrama dulu dengan keluarga, baru mandi. Pakaian pun tidak langsung di rendam deterjen seperti sebelumnya. Ditumpuk di tempat kain kotor.

Padahal sebagai jurnalis, ia sering berada pada tempat-tempat rawan seperti Pasar Raya Padang yang pernah menjadi klaster penyebaran COVID-19 terbesar di Sumbar. Atau di Kantor Gubernur Sumbar yang beberapa pejabatnya juga terpapar COVID-19. Tapi entahlah. Terpapar karena pakaian itu juga hanya sebuah dugaan.

Dilarikan ke rumah sakit

Empat hari sebelum menderita sesak nafas parah dan dilarikan ke Rumah Sakit (RS), Rona sebenarnya sudah merasa kurang enak badan. Tubuh tidak bertenaga. Tidak ada semangat. Rasanya mau tidur saja seharian. Namun indra penciuman dan perasa masih berfungsi dengan baik.

Kemudian tiba-tiba ia batuk kering. Suara batuknya agak lain. Seperti tertahan dalam dada. Bersamaan dengan itu ia mulai merasa sesak nafas, namun belum parah. Kadang timbul kadang hilang. Puncaknya Rabu (26/8) ia tiba-tiba merasa sesak nafas parah disertai pusing luar biasa hingga dilarikan ke Semen Padang Hospital (SPH).

Petugas SPH sempat memberikan penanganan awal untuk sesak nafas dengan memasang oksigen, namun kemudian menolak memberikan penanganan lebih lanjut dengan alasan seluruh kamar isolasi sudah penuh. Terpaksa, ia dilarikan ke RS Unand dalam kondisi sesak nafas parah.

Beruntung kamar isolasi di RS Unand masih tersedia. Saat itu lonjakan kasus positif COVID-19 di Sumbar makin menjadi. Tiap hari ada penambahan puluhan kasus sehingga kamar isolasi menjadi terbatas. Juru bicara COVID-19 Sumbar, Jasman menuturkan untuk mengantisipasi lonjakan kasus itu, Gubernur Irwan Prayitno meminta kabupaten dan kota untuk mengaktifkan kembali fasilitas isolasi, agar Rumah Sakit tidak terlalu penuh.

Kalau saja kamar isolasi di RS Unand saat itu juga penuh, kemana ia akan mencari pertolongan?

Dokter jaga dan petugas jaga di IGD RS Unand yang menggunakan APD, sigap memberikan pertolongan. Oksigen dalam darah ternyata di bawah angka 95 atau di bawah normal, harus dibantu oksigen melalui "nose pipe". Beberapa tes dilakukan mulai dari tes darah hingga rontgen paru. Hasil tes itu mengindikasikan COVID-19. Namun untuk memastikan harus lewat Tes Swab PCR.

Malam itu juga ruang isolasi disiapkan. Ia harus sendirian, tidak ada yang boleh menemani. Hanya ponsel yang bisa dijadikan sarana komunikasi dengan keluarga. Namun petugas ruang isolasi memastikan akan ada perawat yang memantau kondisi pasien 24 jam. Ada CCTV juga.

Sendirian dalam ruangan tertutup dengan tubuh sakit tanpa daya, membuat perasaan goncang. Ada rasa cemas dan takut yang menggerogoti. Untung saja pelayanan dokter dan petugas sejak datang hingga pemeriksaan sangat baik dan ramah hingga bisa mengurangi rasa cemas dan takut itu.



Menjalani isolasi 

Malam pertama dalam ruang isolasi adalah yang paling berat. Dalam kondisi lemah tidak bisa apa-apa selain berbaring di tempat tidur, Rona benar-benar berharap ada suami dan anak-anak yang mendampinginya. Untuk menguatkan hati melewati cobaan itu. Ia berharap anak dan suaminya membelai kepalanya yang pusing dan terasa berat, memijit tubuhnya yang terasa sakit-sakit, membisikkan kata-kata di telinganya agar ia bisa kuat.

Ia menelepon suaminya dan menangis. Seluruh badannya rasanya sakit. Ia minta pulang. Ia benar-benar ingin pulang. Malam pertama itu akhirnya bisa dilewati setelah sang suami bercerita banyak hal untuk mengalihkan perhatiannya. Ia hanya bisa tersandar di bantal, mendengarkan. Suara itu menjadi hiburan satu-satunya bagi Rona malam itu.

Batuk masih terus mendera. Kalau batuk itu datang, sesak nafas juga datang. Karena itu ia tidak bisa banyak bicara. Ia membiarkan suaminya berceloteh sendirian di telpon entah berapa lama. Ia akhirnya terlelap saat sang suami masih bercerita dengan suara serak.

Keramahan dokter dan perawat adalah hal lain yang membuatnya bisa menjalani masa isolasi. Kondisinya yang lemah membuat Rona harus benar-benar bergantung pada mereka dan merasa tidak pernah dikecewakan.

Jumat (28/8) atau tiga hari setelah masuk ruang isolasi, hasil Tes Swab PCR keluar. Positif. Itu artinya isolasi berlanjut. Ia harus melewatkan entah berapa hari lagi dalam kesendirian. Ia dan keluarga berpikir untuk meminta isolasi mandiri di rumah saja. Namun kondisi tubuhnya yang belum kunjung stabil tidak memungkinkan untuk itu. Ia harus menunggu hingga nanti hasil Tes Swab PCR-nya dua kali negatif untuk bisa keluar dari isolasi.

Sejak awal masuk isolasi, Rona tidak ingin merepotkan siapa-siapa, termasuk teman-temannya. Ia wanti-wanti agar sang suami tidak mengabari siapapun. Cukup beberapa keluarga dan tetangga saja yang tahu. Namun pada hari kedelapan, saat semangatnya benar-benar sedang down, tiba-tiba teleponnya berdering. Dari sahabat.

Pasti ulah suaminya. Tapi tidak apa. Ia bahagia. Semangatnya yang sedang turun, tiba-tiba terasa terpompa oleh telepon itu. Ia seakan mendapat tambahan amunisi untuk melanjutkan perjuangan melawan rongrongan virus di paru-parunya. Ia melanjutkan perawatan di ruang isolasi dengan semangat yang baru.

Dirawat beberapa hari dalam ruang isolasi membuatnya juga mulai mengenal beberapa perawat yang bergantian bertugas. Ia merasa tidak sendirian lagi. Ia merasa ada kawan. Satu lagi yang tidak bisa ia lupakan jasanya adalah satpam.

Ya. Bagi pasien isolasi di RS Unand, satpam bukan hanya sekadar orang yang menjaga keamanan lingkungan. Satpam punya peran lain yaitu menyampaikan kiriman dari keluarga untuk pasien isolasi.

Direktur Utama Rumah Sakit Universitas Andalas, Yevri Zulfiqar, Sp.B-Sp.U mengatakan pihak RS memang mengizinkan keluarga untuk mengirimkan barang maupun makanan pada pasien isolasi dua kali sehari, pagi dan sore. "Pasien yang ingin makan sesuatu, bisa memesan pada keluarga dan diantarkan ke satpam di IGD. Nanti kiriman itu akan disampaikan pada pasien."

"Pengirim bisa mengontrol apakah kiriman sampai atau tidak dengan menelepon pasien," katanya.

Selain itu untuk pasien tertentu, RS Unand juga melibatkan psikolog. Hal itu untuk mendukung kondisi kejiwaan pasien agar bisa memupuk perasaan optimistis sehingga kondisinya bisa cepat pulih. Konsultasi dilakukan melalui sambungan telepon.

Saat ia mendapatkan perawatan di ruang isolasi RS Unand, lonjakan kasus positif di Sumbar makin menjadi-jadi. Rekor harian bahkan tercatat pada Minggu, 6 September 2020. Dalam satu hari itu saja terkonfirmasi 233 orang positif COVID-19 di Sumbar.

Sementara data total hingga Kamis (10/9) tercatat 3.116 orang warga Sumbar positif terpapar COVID-19. Angka itu menjadi alarm bagi pemerintah daerah untuk secepatnya mengambil kebijakan agar penyebaran virus bisa dikendalikan dan melandai kembali.


Setangkai bunga untuk penyintas

Kamis (3/9) kondisi Rona membaik. Oksigen, infus dan kateter sudah dibuka. Tensi juga sudah mulai stabil. Hasil Tes Swab PCR kedua juga negatif. Jum'at (4/9) ia dipindahkan ke lantai 4. Kamar besar dengan empat orang pasien dalam satu ruangan. Ia juga mendapatkan kesempatan untuk berjemur. Hingga akhirnya pada Selasa (8/9) hasil tes keduanya keluar. Negatif.

Sore hari setelah menerima hasil tes kedua itu, ia dijemput suami dan dua buah hatinya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya tak henti mengucap syukur. Pengalaman 13 hari dalam ruang isolasi membuatnya jera. Ia tidak ingin mengulang kembali pengalaman itu. Karenanya ia bertekad untuk disiplin menggunakan masker. Ia meyakini anjuran pemerintah untuk menggunakan masker benar-benar bisa mengurangi kemungkinan terpapar COVID-19.

Tidak hanya untuk diri sendiri. Ia juga akan memastikan keluarganya disiplin menggunakan masker. Ia tidak mau anak-anaknya juga merasakan masa sulit dalam isolasi.

Lagipula, apa sulitnya bermasker? hanya tinggal pakai. Orang banyak menjual. Harganya juga tidak mahal.

Ia juga akan memastikan suami kembali disiplin menerapkan "SOP" pakaian pulang kerja. Bertemu keluarga hanya setelah pakaian kerja direndam dan mandi.

Sore itu ia bisa bertemu dengan keluarga kembali. Sore itu pula ia menerima setangkai bunga dari perawat RS Unand. Setangkai bunga bagi penyintas COVID-19. Bagi mereka yang berhasil berjuang untuk sembuh dan membingkai harapan kembali bersama keluarga. (*)

Pewarta : Miko Elfisha
Editor : Mukhlisun
Copyright © ANTARA 2024