Padang (ANTARA) - Danau Maninjau menunggu mati. Pencemaran yang terjadi akibat sisa pakan ikan yang mengendap di dasar danau makin buruk setiap tahun. Kualitas air makin jelek. Ikan endemik punah. Satu persatu.
Pada 2007 setidaknya masih ada sekitar 34 spesies ikan asli di danau yang terletak di Kabupaten Agam, Sumatera Barat itu. Nelayan sekeliling danau mengandalkan perekonomian dari menangkap ikan-ikan itu, selain budi daya ikan dengan Keramba Jaring Apung (KJA).
Sekarang, dari 34 spesies itu hanya tinggal 20 spesies saja yang masih tersisa. Sementara 14 spesies telah punah. Lenyap dari danau. Pindah ke dalam cerita dan dongeng orang tua-tua.
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Loka Alih Teknologi Penyehatan Danau Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat jenis ikan seperti betok, sidat dan cide-cide sudah tidak bisa ditemukan lagi di Maninjau.
Ikan gariang, asang, gupareh, bada dan rinuak juga makin jarang ditemukan. Sudah berada diambang kepunahan. Beruntung ada teknologi untuk budidaya dan pemijahan sehingga kelangsungan populasi ikan endemik itu bisa dipertahankan.
Meski populasinya bisa dipertahankan tetapi ancaman dari tubo (tuba) belerang bercampur racun sisa pakan ikan Keramba Jaring Apung (KJA) yang mengendap di dasar danau tetap mengintai.
Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit mengatakan saat ini diperkirakan tebal endapan sisa pakan ikan KJA di dasar Danau Maninjau sudah mencapai enam meter. Maklum, KJA sudah dimulai pada awal dekade 90-an. Akumulasi dari sisa pakan selama 30 tahun itu menumpuk membentuk sendimen serupa gel. Makin lama makin tebal hingga seolah menjadi bom waktu.
Tiba-tiba saja, bila cuaca buruk dan angin kencang melanda, bom waktu itu bisa saja meledak menjadi tubo atau racun yang membunuh ikan KJA dan ikan endemik.
Hampir setiap tahun terjadi kematian ikan di danau itu. Tidak main-main, sekali kejadian, ratusan ton ikan mati serentak. Entah berapa miliar kerugian yang telah ditanggung sejak kasus itu terjadi pertama kali.
Mimpi dan musibah
Awal dekade 90-an adalah awal mula budi daya ikan nila dan ikan mas di Danau Maninjau. Langkah awal dengan niat baik dan sejuta harapan untuk kesejahteraan yang lebih baik.
KJA itu dimulai dengan beberapa puluh. Hasilnya ternyata memang cukup menjanjikan, sesuai dengan harapan sehingga semakin banyak yang tertarik untuk beralih menjadi pengusaha KJA.
Namun, potensi itu ternyata tidak hanya menarik minat masyarakat sekitar. Para pemodal berduit juga mulai melirik peluang bisnis itu. Mereka mananggung modal, masyarakat sekitar danau yang jadi pekerja. Dengan kekuatan modal itu, jumlah keramba meningkat signifikan hingga akhirnya over capacity, jauh melebihi daya tampung Maninjau.
Wakil Bupati Agam Trinda Farhan Satria menyebutkan pada 2019 terdapat 17.569 unit KJA di Danau Maninjau dari kapasitas maksimal sebanyak 6000 unit.
Sejumlah 3.900 unit KJA itu telah dikeluarkan dari danau pada periode 2016-2019 sebagai bagian dari program Save Maninjau yang digalakkan pemerintah daerah setempat. KJA yang dikeluarkan itu sebagian adalah yang telah rusak dan sebagian partisipasi dari pemilik yang ingin mewujudkan kondisi Danau Maninjau yang lebih baik. Namun, sisanya masih berlebih dari daya tampung yaitu 6000 unit.
Penyedotan sendimentasi
Setelah banyak kali penelitian, cara yang dinilai paling tepat untuk menyelamatkan Danau Maninjau dari kematian adalah penyedotan dan pengerukan sendimen setebal enam meter di dasar danau itu.
Persoalannya anggaran yang dibutuhkan untuk penyedotan itu sangat besar, mencapai Rp1,2 triliun. APBD Kabupaten Agam dan APBD Sumbar tidak akan sanggup membiayai. Alternatifnya adalah dilakukan secara bertahap tetapi berkelanjutan.
Wakil Bupati Agam Trinda Farhan Satria menyatakan jika dilakukan secara bertahap menggunakan alat penyedot yang tidak terlalu besar, anggaran yang dibutuhkan bisa diminimalkan hingga menjadi sekitar Rp50 miliar. Hal itu dinilai lebih realistis untuk dilakukan.
Lahan untuk mengumpulkan sementara sendimen yang disedot itu sudah tersedia pada delapan titik di sekitar danau. Tempat pembuangan akhirnya juga sudah ada.
Kendala lain yang kemudian mencuat adalah anggaran transportasi dari tempat pengumpulan sementara ke tempat pembuangan akhir yang diperkirakan sangat besar.
Awalnya diprediksi sendimen di dasar danau itu kaya akan unsur hara. Jadi banyak perkebunan sawit yang mau menampung bahkan bersedia menjemput sendiri. Namun, setelah diteliti ternyata kandungan haranya rendah sehingga rencana itu jadi batal.
Akibatnya, anggaran untuk transportasi sendimen itu dari lokasi pengumpulan sementara ke lokasi pembuangan akhir menjadi membengkak. Solusinya, penyedotan dilakukan sedikit demi sedikit tetapi berkelanjutan.
Jadi prioritas
Angin segar penyelamatan datang pada akhir 2019. Danau Maninjau dan Danau Singkarak yang berada di perbatasan Kabupaten Tanah Datar dan Solok masuk dalam 15 danau prioritas nasional pada RPJM 2020-2024.
Itu artinya akan ada 11 kementerian yang bersama-sama akan membantu pengelolaan dan penyelamatan dua danau itu melalui program di kementeriannya masing-masing. Namun, pada tahap awal empat kementerian akan turun tangan diantaranya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian serta PUPR.
Kasubdit Pengendalian Kerusakan Danau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Inge Retnowati saat berkunjung ke Sumbar beberapa waktu lalu menyebut penyelamatan Danau Maninjau dan Singkarak adalah program bersama lintas lembaga, jadi programnya harus sinergi.
Langkah kerja harus mengacu pada satu rencana pengelolaan yang sama agar tujuan yang diharapkan bisa tercapai secara maksimal. Jika setiap kementerian melaksanakan program dan kegiatan sendiri tanpa adanya koordinasi, dikhawatirkan nanti tidak tepat sasaran sehingga tujuan penyelamatan Danau Maninjau tidak tercapai secara maksimal.
Program yang menjadi prioritas adalah yang benar-benar bisa menyentuh petani kerampa agar secara beransur-ansur bisa diajak untuk meninggalkan KJA dan beralih pada sumber ekonomi lain.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sumbar, Siti Aisyah menyatakan mengurangi jumlah KJA merupakan salah satu solusi untuk mengatasi pencemaran air Danau Maninjau. Namun, harus ada solusi, alternatif sumber ekonomi bagi masyarakat setelah beralih dari KJA itu.
Sumber ekonomi baru itu yang menjadi salah satu prioritas diantaranya memberikan pendampingan untuk peternakan ikan lele bioflok, peternakan belut, kambing hingga unggas.
Setelah petani keramba beralih dari KJA dan sendimen telah disedot, maka program lain yang berwawasan lingkungan bisa dilakukan untuk pengelolaan danau.
Sementara untuk Danau Singkarak, persoalan utama adalah sampah, alat tangkap bagan serta alat peledak yang merusak ekosistem danau serta mengancam populasi ikan endemik yaitu bilih.
Bantuan berupa alternatif usaha bagi pengguna bagan dan alat peledak adalah salah satu solusi, selain pengetatan pengawasan dari instansi terkait.*
Pada 2007 setidaknya masih ada sekitar 34 spesies ikan asli di danau yang terletak di Kabupaten Agam, Sumatera Barat itu. Nelayan sekeliling danau mengandalkan perekonomian dari menangkap ikan-ikan itu, selain budi daya ikan dengan Keramba Jaring Apung (KJA).
Sekarang, dari 34 spesies itu hanya tinggal 20 spesies saja yang masih tersisa. Sementara 14 spesies telah punah. Lenyap dari danau. Pindah ke dalam cerita dan dongeng orang tua-tua.
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Loka Alih Teknologi Penyehatan Danau Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat jenis ikan seperti betok, sidat dan cide-cide sudah tidak bisa ditemukan lagi di Maninjau.
Ikan gariang, asang, gupareh, bada dan rinuak juga makin jarang ditemukan. Sudah berada diambang kepunahan. Beruntung ada teknologi untuk budidaya dan pemijahan sehingga kelangsungan populasi ikan endemik itu bisa dipertahankan.
Meski populasinya bisa dipertahankan tetapi ancaman dari tubo (tuba) belerang bercampur racun sisa pakan ikan Keramba Jaring Apung (KJA) yang mengendap di dasar danau tetap mengintai.
Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit mengatakan saat ini diperkirakan tebal endapan sisa pakan ikan KJA di dasar Danau Maninjau sudah mencapai enam meter. Maklum, KJA sudah dimulai pada awal dekade 90-an. Akumulasi dari sisa pakan selama 30 tahun itu menumpuk membentuk sendimen serupa gel. Makin lama makin tebal hingga seolah menjadi bom waktu.
Tiba-tiba saja, bila cuaca buruk dan angin kencang melanda, bom waktu itu bisa saja meledak menjadi tubo atau racun yang membunuh ikan KJA dan ikan endemik.
Hampir setiap tahun terjadi kematian ikan di danau itu. Tidak main-main, sekali kejadian, ratusan ton ikan mati serentak. Entah berapa miliar kerugian yang telah ditanggung sejak kasus itu terjadi pertama kali.
Mimpi dan musibah
Awal dekade 90-an adalah awal mula budi daya ikan nila dan ikan mas di Danau Maninjau. Langkah awal dengan niat baik dan sejuta harapan untuk kesejahteraan yang lebih baik.
KJA itu dimulai dengan beberapa puluh. Hasilnya ternyata memang cukup menjanjikan, sesuai dengan harapan sehingga semakin banyak yang tertarik untuk beralih menjadi pengusaha KJA.
Namun, potensi itu ternyata tidak hanya menarik minat masyarakat sekitar. Para pemodal berduit juga mulai melirik peluang bisnis itu. Mereka mananggung modal, masyarakat sekitar danau yang jadi pekerja. Dengan kekuatan modal itu, jumlah keramba meningkat signifikan hingga akhirnya over capacity, jauh melebihi daya tampung Maninjau.
Wakil Bupati Agam Trinda Farhan Satria menyebutkan pada 2019 terdapat 17.569 unit KJA di Danau Maninjau dari kapasitas maksimal sebanyak 6000 unit.
Sejumlah 3.900 unit KJA itu telah dikeluarkan dari danau pada periode 2016-2019 sebagai bagian dari program Save Maninjau yang digalakkan pemerintah daerah setempat. KJA yang dikeluarkan itu sebagian adalah yang telah rusak dan sebagian partisipasi dari pemilik yang ingin mewujudkan kondisi Danau Maninjau yang lebih baik. Namun, sisanya masih berlebih dari daya tampung yaitu 6000 unit.
Penyedotan sendimentasi
Setelah banyak kali penelitian, cara yang dinilai paling tepat untuk menyelamatkan Danau Maninjau dari kematian adalah penyedotan dan pengerukan sendimen setebal enam meter di dasar danau itu.
Persoalannya anggaran yang dibutuhkan untuk penyedotan itu sangat besar, mencapai Rp1,2 triliun. APBD Kabupaten Agam dan APBD Sumbar tidak akan sanggup membiayai. Alternatifnya adalah dilakukan secara bertahap tetapi berkelanjutan.
Wakil Bupati Agam Trinda Farhan Satria menyatakan jika dilakukan secara bertahap menggunakan alat penyedot yang tidak terlalu besar, anggaran yang dibutuhkan bisa diminimalkan hingga menjadi sekitar Rp50 miliar. Hal itu dinilai lebih realistis untuk dilakukan.
Lahan untuk mengumpulkan sementara sendimen yang disedot itu sudah tersedia pada delapan titik di sekitar danau. Tempat pembuangan akhirnya juga sudah ada.
Kendala lain yang kemudian mencuat adalah anggaran transportasi dari tempat pengumpulan sementara ke tempat pembuangan akhir yang diperkirakan sangat besar.
Awalnya diprediksi sendimen di dasar danau itu kaya akan unsur hara. Jadi banyak perkebunan sawit yang mau menampung bahkan bersedia menjemput sendiri. Namun, setelah diteliti ternyata kandungan haranya rendah sehingga rencana itu jadi batal.
Akibatnya, anggaran untuk transportasi sendimen itu dari lokasi pengumpulan sementara ke lokasi pembuangan akhir menjadi membengkak. Solusinya, penyedotan dilakukan sedikit demi sedikit tetapi berkelanjutan.
Jadi prioritas
Angin segar penyelamatan datang pada akhir 2019. Danau Maninjau dan Danau Singkarak yang berada di perbatasan Kabupaten Tanah Datar dan Solok masuk dalam 15 danau prioritas nasional pada RPJM 2020-2024.
Itu artinya akan ada 11 kementerian yang bersama-sama akan membantu pengelolaan dan penyelamatan dua danau itu melalui program di kementeriannya masing-masing. Namun, pada tahap awal empat kementerian akan turun tangan diantaranya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian serta PUPR.
Kasubdit Pengendalian Kerusakan Danau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Inge Retnowati saat berkunjung ke Sumbar beberapa waktu lalu menyebut penyelamatan Danau Maninjau dan Singkarak adalah program bersama lintas lembaga, jadi programnya harus sinergi.
Langkah kerja harus mengacu pada satu rencana pengelolaan yang sama agar tujuan yang diharapkan bisa tercapai secara maksimal. Jika setiap kementerian melaksanakan program dan kegiatan sendiri tanpa adanya koordinasi, dikhawatirkan nanti tidak tepat sasaran sehingga tujuan penyelamatan Danau Maninjau tidak tercapai secara maksimal.
Program yang menjadi prioritas adalah yang benar-benar bisa menyentuh petani kerampa agar secara beransur-ansur bisa diajak untuk meninggalkan KJA dan beralih pada sumber ekonomi lain.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sumbar, Siti Aisyah menyatakan mengurangi jumlah KJA merupakan salah satu solusi untuk mengatasi pencemaran air Danau Maninjau. Namun, harus ada solusi, alternatif sumber ekonomi bagi masyarakat setelah beralih dari KJA itu.
Sumber ekonomi baru itu yang menjadi salah satu prioritas diantaranya memberikan pendampingan untuk peternakan ikan lele bioflok, peternakan belut, kambing hingga unggas.
Setelah petani keramba beralih dari KJA dan sendimen telah disedot, maka program lain yang berwawasan lingkungan bisa dilakukan untuk pengelolaan danau.
Sementara untuk Danau Singkarak, persoalan utama adalah sampah, alat tangkap bagan serta alat peledak yang merusak ekosistem danau serta mengancam populasi ikan endemik yaitu bilih.
Bantuan berupa alternatif usaha bagi pengguna bagan dan alat peledak adalah salah satu solusi, selain pengetatan pengawasan dari instansi terkait.*