Padang, (Antara Sumbar) - Meskipun hanya berjarak sekitar dua kilometer dari pusat kota Padang, Kelurahan Purus, Kecamatan Padang Barat tepatnya di RW VII masih menjadi salah satu kawasan kumuh di  ibu kota provinsi Sumatera Barat tersebut.

 Di daerah yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari Pantai Padang tersebut sejumlah warga masih menggunakan  jamban dengan sistem  "asoi terbang" dalam artian  buang air besar menggunakan kantong kresek kemudian dibuang ke saluran air atau pantai  karena ketiadaan WC.

Menurut Ketua RT 04 RW VII Rahmat sebenarnya warga sudah banyak yang  memiliki  kakus, namun tidak dilengkapi septic tank, sehingga buang air besar langsung dibuang ke saluran drainase yang melintas di sekitar pemukiman.

Koordinator Dewan Pimpinan Kolektif Badan Keswadayaan Masyarakat  Puruih Saiyo, Baharuddin mengakui mengubah perilaku hidup warga untuk mengikuti pola hidup sehat, memang butuh kerja ekstra keras.

"Apalagi  sebagai daerah yang berada di pesisir pantai, persoalan sanitasi  terbentur pada persoalan budaya," ujarnya.

Ia mengemukakan budaya hidup warga pesisir jarang dijumpai buang air besar menggunakan kakus.  Kondisi ini ditambah oleh  rata-rata yang tinggal di sini  adalah mereka yang menyewa rumah dan  sarana prasarana kakus di kontrakan mereka juga tak ada. 

"Akibatnya  sistem asoi terbang tersebut masih membudaya," katanya.

Selain itu warga juga bermasalah dengan pasokan air bersih dari PDAM karena pada gempa 2009 lalu, jaringan induk pipa PDAM mengalami kerusakan cukup parah sehingga  air tak mengalir lancar ke rumah-rumah warga sementara jika memanfaatkan air sumur, kualitasnya juga tidak  bagus.
     "Pada siang hari, air praktis tak mengalir, pasokan air baru datang menjelang  malam," kata salah seorang warga  setempat Wati.

Fenomena yang terjadi di Purus hanya secuplik potret bagaimana kawasan kumuh masih menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh pemangku kepentingan untuk dibenahi dengan serius,

Kepala Satuan Kerja Pengembangan Kawasan Permukiman Sumbar Edvin Hardo menyebutkan di provinsi itu pada 2015 jumlah rumah tangga pengguna air bersih baru 54,40 persen dan yang telah memiliki sanitasi sebanyak 68 persen serta layak huni 76 persen. 

Sementara drainase dalam kondisi baik mencapai 75,70 persen dan lingkungan permukiman kumuh mencapai 18,70 persen, ujarnya. 

Ia melihat belum seluruh warga menikmati air bersih karena terkendala masalah regulasi, kelembagaan hingga pendanaan sehingga masih ada yang belum punya akses terhadap air minum. 

Oleh sebab itu upaya yang dilakukan provinsi adalah bagaimana meningkatkan akses masyarakat yang berpenghasilan rendah terhadap hunian yang layak, aman dan terjangkau  di dukung sarana utilitas yang memadai.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumbar pada 2015 terdapat 20 kawasan kumuh dengan luas 689,5 hektare dan berhasil ditangani sebanyak 550,40 hektare.
   
 Program  100-0-100 

Menanggapi hal itu Gubernur Sumbar Irwan Prayitno mengemukakan pihaknya fokus mengurangi pemukiman kumuh yang ada di provinsi itu melalui Program Penanggulangan Kemiskinan  di Perkotaan  (P2KP) hingga 2019.

Sejak 2010 angka kemiskinan telah berkurang, namun salah satu indikator yang perlu dituntaskan adalah mengurangi permukiman kumuh, kata Irwan.

 Menurut dia aksebilitas sarana dan prasarana dasar jika ditata akan  mengurangi angka kemiskinan.

"Kami menargetkan program 100-0-100 yaitu akses air minum 100 persen, permukiman kumuh nol persen dan akses sanitasi 100 persen," ujar dia.

Irwan mengatakan untuk pendanaan selain dibiayai dari APBN juga ada dana pendampingan dari seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

"Targetnya seluruh kota yang ada di Sumatera Barat akan bebas dari permukiman kumuh yang ditangani oleh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan," kata dia

Apalagi dalam mencapai target 100-0-100 tersebut sudah ada aset yang selama ini dimiliki PNPM Perkotaan yaitu kelembagaan masyarakat, relawan yang terlatih, tenaga pendamping serta fasilitator, kata dia

Ia juga  meminta masyarakat berpartisipasi dalam program pengurangan permukiman kumuh agar dapat berjalan dengan baik.

Tantangan 

Sebelumnya   mantan Kepala Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan Permukiman Suprapto pernah mengemukakan  ada kepala daerah yang merasa malu kalau wilayahnya disebut kumuh, padahal pihaknya ingin membantu penanganan, namun minta data saja kadang susah.

Ia melihat ada konsep yang salah dalam pelaksanaan pembangunan yaitu kepala daerah cenderung mendewa-dewakan pembangunan infrastruktur dan  dipandang hebat ketika bisa membangun jalan, jembatan atau tugu.      

Ia menyampaikan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Dirjen Cipta Karya mengagas program penanganan pemukiman kumuh hingga 2019 melalui program peningkatan permukiman (P2KP).

Sedangkan Konsultan Manajemen Wilayah  program peningkatan permukiman Sumbar Afriadi mengatakan ada tujuh indikator permukiman kumuh yang menjadikan ukuran penilaian suatu wilayah disebut kumuh.

Indikatornya yaitu kondisi bangunan, kondisi jalan dan saluran air, ketersediaan air bersih, keteraturan bangunan, drainase, pengelolaan sampah dan antisipasi kebakaran, kata dia.

Ia mengatakan secara bertahap melalui program P2KP akan dilakukan upaya menanganinya sehingga pada 2019 tidak ada lagi permukiman kumuh di Sumbar.

Ia mengakui  penanganan permukiman kumuh oleh pemerintah kabupaten dan kota selama ini kurang mendapat perhatian.

Padahal  penanganan permukiman kumuh lebih menyentuh kepentingan masyarakat namun selama ini kurang diperhatikan oleh kepala daerah, ujarnya.

Afriadi  menerangkan  berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dijelaskan permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat, sedangkan perumahan kumuh adalah perumahan yang mengalami penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian.

"Program Kota Tanpa Kumuh  di rancang bersama dengan pemerintah daerah sebagai nahkoda dalam mewujudkan permukiman yang layak huni bertujuan  meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar," ujarnya.

Ia menyebutkan di Sumatera Barat program tersebut  dilaksanakan di 11 kabupaten dan kota, 35 kecamatan dan 355 kelurahan dan desa.  

Menurutnya saat ini di Sumbar  berada pada tahapan persiapan dan perencanaan, sesuai dengan target program di akhir tahun ini sudah tersusun dokumen perencanaan tingkat kota yaitu RP2KP dan di tingkat masyarakat RPLP, RTPLP dan DED. 

Selain itu,  di tahun ini juga sedang berjalan  kegiatan Program BDC,PLPBK, PPMK, Keuangan Mikro Syariah dan Kolaborasi di beberapa kota/kabupaten yang akan mendukung Program Kotaku dalam percepatan pengurangan kawasan kumuh

Kolaborasi

Asisten Ekonomi Pemprov Sumbar Syafrudin mengakui permukiman kumuh masih menjadi tantangan bagi pemerintah kabupaten dan kota karena itu perlu kolaborasi semua pemangku kepentingan untuk bersama-sama menuntaskannya.

Menurut dia saat ini masih terdapat sekitar 300 kawasan yang masuk kategori kumuh di Sumbar yang akan dituntaskan sehingga menjadi nol dalam tiga tahun ke depan.

Oleh sebab itu pemangku kepentingan harus membuat komitmen bersama gerakan terpadu pemberantasan kota kumuh, katanya.

Ia mengatakan perlu inovasi dan kreativitas untuk mewujudkan hadirnya kota tanpa kumuh didukung anggaran yang dialokasikan pemerintah kabupaten dan kota.

Ia melihat salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah    bersinergi dengan dunia pendidikan untuk masuk ke sekolah menyosialisasikan pola hidup sehat kepada siswa.

Dunia pendidikan punya peran strategis untuk mewujudkan pola hidup  sehat sehingga akan hadir kota yang bersih, katanya.
          

Pewarta : Ikhwan Wahyudi
Editor :
Copyright © ANTARA 2024