Jakarta, (Antara) - Biro Hukum Kejaksaan Agung sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) untuk mengecualikan profesi jaksa dalam UU No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

        "Jaksa Agung meminta agar kami membuat telaah Rancapan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai Kejaksaan dan kemudian ditembuskan ke Presiden karena sebelumnya memang sudah ada RPP tapi ditolak oleh Presiden dan ada kementerian juga yang menolak (RPP) seperti Kementerian Luar Negeri," kata anggota Biro Hukum Kejaksaan Agung Prinoka Arrom dalam Diskusi Bulanan Persatuan Jaksa Indonesia (PJI)-Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) di Badiklat  Kejaksaan Agung Jakarta, Jumat.

        UU No 5 tahun 2014 menyebutkan bahwa ASN adalah pegawai negeri sipil, dan berdasarkan UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, jaksa adalah PNS, sehingga jaksa masuk dalam ASN. Selanjutnya dalam UU tersebut, tidak ada aturan pengecualian mengenai profesi jaksa selain untuk prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (pasal 20).

        Menurut Prinoka, pihaknya sudah membuat sejumlah butir pertimbangan mengapa jaksa harus dikecualikan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

        "UU No 5 tahun 2014 tentang ASN belum mengakomodasi kekhususan karakteristik yang luar biasa berbeda jaksa dibanding dengan lembaga lain, padahal kekuasaan kejaksaan merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam pasal 24 UUD 1945 dimana Kejaksaan termasuk dalam bagian badan-badan kehakiman yang pengaturannya diatur undang-undang yaitu UU No 15 tahun 1961, UU No 5 tahun 1991 dan UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan," tambah Prinuka.

        Selain itu, Jaksa Agung dalam sistem pemerintahan presidensial ditempatkan sebagai anggota kabinet sehingga bagian dari eksekutif tapi karena kewenangan yang dimilikinya bersifat merdeka maka kejaksaan menjalankan fungsinya sebagai bagian dari kekuasaan yudikatif.

        "Kejaksaan berdasarkan peraturan perundang-undangan berfungsi sebagai lembaga penyidik, lembaga penuntut, hingga pelaksanaan eksekusi atas perkara pidana, maka jaksa yang memiliki kewenangan tersebut sekaligus berwenang dan bertindak sebagai penyidik, penuntut umum dan pelaksana eksekusi. Bahkan ada jaksa-jaksa yang ditempatkan di KPK, PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Tranksaksi Keuangan), BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), Kementerian Luar Negeri dan kementerian lembaga lain," ungkap Prinuka.

        Sehingga atas perannya tersebut kejaksaan bahkan punya peran strategis dalam merekomendasikan pengangkatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Koordinasi PPNS.

        Kekhususan lain adalah Kejaksaan menjadi badan resmi yang mewakili negara dalam pelaksanaan Mutual Legal Asistance (Bantuan Hukum Timbal-balik), ekstradisi dan proses beracara pidana dan pemindahan terpidana.

        "Jaksa juga terikat dengan asas yang berlaku internasional karena Kejaksaan Agung adalah anggota International Association of Prosecutor (IAP) dan anggota dari International Association of Anti Corruption Authorities (IAACA) sehingga akan mendapat penilaiann sejauh mana implementasi kelembagaan dalam menjalankan kewenangan," tambah Prinuka.

        Terdapat sejumlah konsekuensi bila jaksa tidak dikecualikan dalam UU ASN ini, yang terutama adalah tidak boleh ada rangkap jabatan fungsional dan struktural.

        "Padahal di kejaksaan, jaksa bertindak dalam kapasitas jaksa fungsional sekaligus struktural misalnya sebagai Kepala Kejaksaan Negeri masih juga berfungsi sebagai jaksa tapi bila Kajari melepaskan jabatan fungsionalnya sebagai jaksa maka tidak ada lagi legal standing terhadap dirinnya dalam menjalankan tugas sebagaipenyelidik, penyidik maupun penuntut umum serta upaya paksa lain," ungkap Prinuka.

        Ditambah lagi, jaksa tidak mungkin ditempatkan di luar kejaksaan baik di KPK, PPATK, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, BNPT, Kemenkopolhukam, atase di Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan lembaga lainnya.

        "Jaksa yang ditugaskan di luar kejaksaan karena menjalankan profesi jaksa malah kehilangan legal standing sebagai jaksa sehingga tidak sah menjalankan profesinya," tegas Prinuka.

        Kajari Jakarta Timur Narendra Jatna yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut mengatakan bahwa jaksa di Kejaksaan Agung hanya akan tersisa sepertiga bila jaksa masuk dalam UU ASN.

        "Kejaksaan Agung akan kehilangan dua pertiga dari jaksa yang ada karena jaksa tidak boleh rangkap jabatan hal ini karena profesi jaksa tidak melekat pada orangnya dalam UU ASN yang tidak mengenal instansi fungsional induk. Begitu jaksa keluar dari kejaksaan tidak lagi sebagai jaksa. Kalau hal ini terjadi, maka yang rugi bukan hanya Kejaksaan tapi juga Indonesia karena kejaksan kehilangan ribuan jaksa," kata Narendra.

        Dari jaksa yang masih ada itu juga terancam akan berkurang pendapatannya karena pengurangan tunjangan fungsional di bawah UU ASN.

        "Tunjangan fungsional jaksa dibayar karena melaksanakan tugasnya bersidang, tapi karena UU ASN maka tunjangan jasa tidak dibayar jadi ada pengurangan gaji," ungkap Narendra.

        Atas kondisi tersebut, Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) Choky Ramadhan yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut mengusulkan untuk melakukan revisi UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan.

        "Pada pasal 9 ayat 1 UU disebutkan jaksa adalah pegawai negeri sipil, ini yang mengikat jaksa masuk UU ASN, jadi bagaimana bila ada perubahan pasal tersebut misalnya dengan menjadi jaksa adalah pegawai negeri di Kejaksaan," kata Choky.

        Cara lain adalah dengan mengajukan "Judicial Review" ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU ASN tersebut.

        "Tapi cara advokasinya harus dipertimbangkan masak-masak karena Kejaksaan tidak masuk dalam UUD atau siapa yang mengajukan Judicial Review tersebut apakah Kejaksaan Agung sebagai institusi atau persatuan jaksa indonesia sebagai kelompok orang," ungkap Choky. (*)

Pewarta : Desca Lidya Natalia
Editor :
Copyright © ANTARA 2024