Log-log plastik jamur tiram (Pleurotos Ostreatus) itu tersusun rapi di rak-rak memanjang di kumbung -- rumah jamur -- milik Pak Adityawarman (63). Sebagian sudah ada yang berproduksi dan siap panen, sebagian lagi masih dalam proses pertumbuhan.
Jika jamur tiram sudah siap panen, akan berwarna putih seperti salju. Jamur tiram merupakan jamur yang mengandung gizi yang cukup banyak, diantaranya protein, kalsium, karbohidrat, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B3, serat zat besi dan kalori.
Jamur tiram ini bermanfaat untuk menurunkan kolesterol, antibakterial, antitumor dan dapat menghasilkan enzim hidrolisis serta enzim oksidasi.
Menurut Pak Adi -- panggilan akrab Adityawarman --, Minggu (24/10), pertama kali ia mengembangkan jamur tiram ini pada tahun 2005. Tapi, niat untuk menggali ilmu cara berbudidaya jamur tiram ini sudah muncul sejak tahun 1972.
Kesempatan untuk belajar bagaimana membudidayakan jamur tiram secara langsung menjadi kenyataan ketika ia bersama tiga guru dan tiga murid SMAN 1 Solok Selatan yang difasilitasi oleh seorang tokoh perantau dan masyarakat Solok Selatan Brigadir Jenderal Purnawirawan TNI Armen Ahmad untuk pergi ke Bandung melakukan studi banding pembuatan biogas yang rencanakan akan diajarkan kepada anak didiknya pada tahun 2005.
Setelah studi banding selesai, ia meminta diantarkan untuk melihat tempat budidaya jamur tiram yang ada di sekitar Bandung. Setelah mencari informasi, kemudian diketahui ada sebuah tempat pembudidayaan jamur tiram di Cisarua. Dengan diantar oleh Pak Armen Ahmad, Pak Adi bersama rekan-rekannya mendatangi tempat budidaya jamur tiram itu.
"Di sana saya menimbah ilmu bagaimana cara membudidayakan jamur tiram yang baik dan sempat membeli bibitnya," katanya saat antara-sumbar.com ke rumahnya di Rawang, Sungai Pagu.
Sepulangnya dari Bandung, imbuh mantan guru Biologi ini, dirinya kemudian mencoba mengembangkanya di Solok Selatan. Sampai saat ini setidaknya sudah ribuan log jamur yang sudah ia budidayakan. Jamur tiram itu dikembangkannya di kumbung -- yang berjumlah empat buah -- yang berada di belakang rumahnya. Satu kumbung mampu menampung sekitar 2.000 log plastik jamur tiram. Dalam sehari ia mampu menghasilkan 10 kilogram jamur tiram.
Jamur tiram ini dipasarkannya di Solok Selatan dan daerah tetangga lainnya, seperti Padang. Untuk satu kilogram jamur tiram segar dijual dengan harga Rp16.000, sementara untuk jamur tiram yang sudah diolah menjadi keripik jamur tiram dijual dengan harga Rp60.000 per kilogram.
"Pernah pegawai Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat bertanya kepada saya kenapa harganya murah jika dibandingkan yang ada dipasaran. Saya menjawab, dengan harga murah masyarakat Solok Selatan bisa menikmati jamur yang memiliki kandungan gizi tinggi ini," tutur pensiunan guru PNS ini.
Selain menjual jamur tiram dalam bentuk segar atau pun olahan, Pak Adi juga menjual jamur tiram siap panen. Untuk satu lognya dijual dengan harga Rp5.000.
Awal-awal menjual hasil panen jamur tiram, Pak Adi sangat kesulitan karena masyarakat yang belum begitu mengenal dan banyak pertanyaan dari para calon pembeli. Sampai-sampai ia harus membawa beberapa log jamur yang siap panen untuk menyosialisasikan jamur tiram kepada calon pembeli.
"Lambat laun mereka pun tahu. Bahkan adanya yang membeli langsung ke rumah," katanya.
Pak Adi berharap, jamur tiram ini bisa dikembangkan di Solok Selatan. Sejauh ini ia sudah berupaya agar jamur tiram bisa dibudidayakan di Solok Selatan karena memiliki prospek yang baik. Ia membuka pintu selebar-lebarnya bagi masyarakat yang ingin belajar membudidayakan jamur tiram ini.
Ia pernah menjadi instruktur budidaya jamur tiram di Cabang Rumah Tahanan (Cab Rutan) Muaralabuh, kemudian Sentral Kegiatan Belajar (SKB) Solok Selatan, serta masyarakat umum.
Membuat Bibit Sendiri
Dalam mengembangkan jamur tiram di Solok Selatan tidak seperti membalikan telapak tangan, terutama dalam ketersediaan bibit. Awal-awal membudidayakan jamur tiram, ia kesulitan dalam memperoleh pasokan bibit yang didatangkan langsung dari Jawa Barat.
Terkadang bibit yang dipesan rusak di tengah jalan, terkadang tidak sampai ke rumah, kendati ada sampai pun terlambat. Permasalahan-permasalahan itu membuatnya termotivasi untuk membuat bibit induk (F.1) jamur tiram sendiri.
Ujicoba pembuatan bibit induk dilakukan sejak tahun 2005, bersamaan awalnya membudidayakan jamur tiram. Setidaknya ia memerlukan waktu selama setahun untuk mengetahui hasil uji cobanya layak tidak untuk dikembangkan.
"Tahun-tahun awal saya membuat bibit induk saya benar-benar tidak tahu hasil dari bibit yang sudah terciptakan itu. Dan sampai pada tahun 2007 baru saya bisa yakin bahwa bibit yang saya buat memang bisa untuk dikembangkan," katanya.
Peralatan yang digunakan Pak Adi untuk membuat bibit induk sangatlah sederhana, yakni tabung reaksi lalu disimpan dalam kotak plastik yang dibuat sendiri dengan ukuran 60 sentimeter x 80 sentimeter x 60 sentimeter. Kotak plastik ini digunakan untuk sterilisasi induk bibit agar tidak terkontaminasi oleh spora jamur lain yang dibawa oleh angin.
Bahan untuk membuat bibit induk adalah Potatoes Dextrose Agar (PDA). Setelah berumur 20 hari bibit induk kemudian dipindahkan ke dalam log botol untuk dikembangkan menjadi bibit tebar (F.2).
Dalam membuat bibit tebar diperlukan waktu setidaknya satu bulan. Hasil dari bibit tebar dipindahkan lagi ke log botol untuk membuat bibit produksi (F.3) yang memakan waktu sekitar satu bulan.
"Dari F.3 ini baru bisa kita budidayakan atau istilahnya F.4," kata pria sederhana ini.
Satu bibit induk dalam botol reaksi, katanya, mampu menghasilkan sekitar 5.000-6.000 log F.4. Bibit yang dihasilkannya ini sudah dipasarkan ke Padang dan Solok Selatan.
Meskipun sudah mampu memproduksi bibit dan membudidayakan jamur tiram, tapi sampai saat ini Pak Adi belum disentuh bantuan pemerintah. "Yang diberi baru janji. Katanya akan memberi bantuan pembuatan kumbung yang presentatif," katanya.
Empat kumbung yang ada sekarang terbuat dari kayu saja. Sementara jamur tiram membutuhkan kelembaban untuk berkembang. Agar jamur tiram tidak mati dan rusak, kumbung harus dalam kondisi lembab.
"Biasanya kita siram. Jika kumbung dibangun secara permanen, sangat mudah untuk membuat lembab dengan cara membuat kubangan air di dalam kumbung dan melakukan penyiraman dinding," jelasnya.
Sementara untuk pembuatan kotak untuk membuat induk bibit, Pak Adi mengaku lebih nyaman menggunakan kotak plastik yang ada sekarang. Alasannya, jika diganti dengan kotak yang lebih baik atau dari kaca, maka sedikit masyarakat yang akan mencontohnya karena biayanya tinggi.
"Kalau dengan kotak plastik kan bisa dibikin sendiri dan biayanya ringan," katanya.
Pak Adi bercita-cita menjadikan Solok Selatan sebagai daerah sentra bibit jamur tiram di Sumatera Barat, bahkan di Sumatera. Selama ini bibit jamur tiram yang dibudidayakan di Sumbar masih dipasok dari Jawa. Untuk mewujudkan itu perlu peran serta pemerintah sebagai pihak yang memiliki fasilitas sebagai fasilitator.
Pengembangan ekonomi kerakyatan -- sebagaimana selalu didengungkan oleh pasangan Kepala Daerah Kabupaten Solok Selatan yang baru Muzni Zakaria-Abdul Rahman -- pun bisa dimulai dari memberikan dukungan dan pembinaan bagi masyarakat-masyarakat yang berpotensi seperti Pak Adi ini. Dengan partisipasi aktif pemerintah, tak khayal lagi, ekonomi kerakyatan akan terwujud. (*/wij)