Kota Padang (ANTARA) - Seiring terik matahari yang merangkak naik di pesisir Pantai Teluk Buo, Kota Padang, Sumatera Barat, sebuah pemandangan pilu tampak jelas dan menyentak. Ialah seekor penyu (chelonioidea) dewasa yang tergeletak dan membusuk.
Tubuh biota penjelajah samudera itu perlahan membusuk dan mengeluarkan aroma menyengat di sekitar kawasan ekosistem yang seharusnya menjadi rumah bagi satwa tersebut.
Berdasarkan catatan warga setempat dari tahun 2020 hingga akhir 2024, setidaknya sudah empat ekor penyu yang ditemukan mati dan terdampar di kawasan pantai tersebut. Padahal, selama ini kawasan pantai Teluk Buo dikenal sebagai salah satu titik pendaratan penyu untuk bertelur.
Terlebih di kawasan itu, terdapat dua jenis penyu yakni penyu sisik (eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (chelonia mydas) yang selalu membuat sarang dan bertelur di kawasan itu.

Kejadian ini menjadi tanda berbagai masalah, mulai dari interaksi negatif dengan manusia hingga kondisi lingkungan yang buruk salah satunya polusi sampah plastik.
Ini tidak saja menjadi ancaman serius bagi penyu, tetapi juga menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan ekosistem laut yang meliputi flora dan fauna di dalamnya apabila mengonsumsi sampah plastik termasuk mikroplastik.
"Sampah plastik yang termakan oleh penyu menyebabkan malnutrisi. Dampak terhadap proses metabolisme penyu yang terganggu tentu pada akhirnya menyebabkan kematian," Kata peneliti penyu dari Universitas Bung Hatta, Sumatera Barat Harfiandri Damanhuri di Padang.
Selain menjadi ancaman serius bagi kesehatan penyu, sampah plastik juga turut mengganggu proses bertelurnya biota laut yang telah hidup sekitar 250 hingga 350 tahun lalu tersebut. Sebab, satwa yang dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, hanya mau bertelur di kawasan pantai yang bersih dan halus.
"Sampah-sampah plastik ini mengganggu proses penyu yang ingin membentuk sarang untuk bertelur," kata dia.
Hilangnya Garis Pantai
Selain mengurangi dampak abrasi, keberadaan jejeran batu grip atau batu pemecah ombak yang dipasang sepanjang kawasan Pantai Padang menambah estetika penataan kawasan pantai.
Selain alat mitigasi dampak abrasi, batu grip yang terpasang hingga beberapa meter ke dalam laut dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pariwisata di sekitar lokasi itu.
Namun di balik manfaat batu grip tadi, tersimpan ancaman nyata bagi keberlangsungan ekosistem penyu di sekitar kawasan Pantai Padang. Perlahan namun pasti, penyu yang biasanya mendarat dan bertelur di kawasan itu mulai jarang dijumpai.
Harfiandri menjelaskan penyu membutuhkan pantai yang cukup luas untuk membuat sarang, sehingga kawasan pantai yang terdapat batu grip justru membuat penyu tidak ingin mendarat di pantai tersebut.
Sebab, dalam membuat sarang untuk bertelur, penyu yang telah berusia 30 hingga 40 tahun selalu menempatkan sarangnya pada posisi pasang tertinggi agar dapat membuat sarang dengan kedalaman hingga 60 sentimeter. Tujuannya ketika masa inkubasi yang berlangsung 50 hingga 60 hari tidak menyebabkan telur-telur penyu membusuk akibat terendam air laut.
Sayangnya, garis pantai yang rusak ditambah jejeran batu pemecah ombak turut mempengaruhi banyak populasi penyu yang seharusnya bertelur di Pantai Padang justru memilih bermigrasi ke pulau kecil yang pernah dilaluinya.
"Misalnya Jepang itu sudah kehilangan tempat pendaratan penyu, karena pantainya di dinding dibuat sea wall, dibuat beton," katanya.
Kondisi ini lanjut Harfiandri, jika dibiarkan tentu merugikan Kota Padang karena kehilangan salah satu pesona pariwisata bahari yang dulu sangat acap kali ditemui kala musim penyu bertelur.
"Jadi penyu ini seperti filosofi Minangkabau, dimana dia lahir di sana dia akan kembali untuk bertelur. Ya catatannya itu tadi tidak terganggu, kalau terganggu maka akan pindah ke lokasi lain yang jaraknya 4,5 kilometer dari lokasi awal lahir," lanjut dia.
Meski seekor penyu mampu bertelur hingga ratusan butir dalam satu musim bertelur. Jumlah itu tidak menjadi jaminan populasi biota penjelajah samudra tersebut melonjak.
Sebab, dari ratusan butir telur yang ditetaskan dan berhasil hidup menjadi anak penyu atau tukik, hanya satu hingga dua ekor saja yang dapat bertahan hingga dewasa dan kembali untuk bertelur.
"Jadi tingkat survival rate-nya itu rendah, dari 1.000 tukik yang menetas, yang bisa bertahan menjadi penyu dewasa paling hanya 1 atau 2 saja," sebut dia.
Harfiandri memperkirakan saat ini hanya terdapat 30 ribu ekor penyu di sekitar kawasan perairan Sumatera Barat. Perkiraan populasi penyu itu diketahui dari hasil penelitian yang dilakukan pada 120 lokasi berbeda di Ranah Minang.
E-Katuang
Siapa yang tidak kenal dengan penyu? Salah satu spesies hewan laut yang dapat berusia puluhan bahkan ratusan tahun. Kendati menjadi spesies yang dilindungi undang-undang, tetapi tidak semua masyarakat memahami bahwa salah satu jenis hewan purba ini masuk dalam kategori satwa yang terancam punah.
Upaya penyelamatan terus dilakukan berbagai pihak, salah satunya Komunitas Raja Samudera bersama PT Pertamina Patra Niaga Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) Aviation Fuel Terminal (AFT) Minangkabau di Pulau Bando, Sumatera Barat.
Irnal, enumerator konservasi penyu di Pulau Bando mengatakan pada musim bertelur ia bisa menemukan hingga 200 butir telur penyu dalam satu lubang. Ratusan butir telur itu kemudian dipindahkan ke sebuah penangkaran khusus untuk melindunginya dari predator seperti biawak, semut, ular hingga pemburu telur penyu.

Hal itulah yang diselesaikan PT Pertamina Patra Niaga Sumatera Bagian Utara Aviation Fuel Terminal Minangkabau lewat alat inkubasi bernama Elektronik Katuang atau E-Katuang.
Community Development Officer AFT Minangkabau Wahyu Hamdika mengatakan inovasi penetasan telur penyu menggunakan E-Katuang diciptakan untuk menyelesaikan permasalahan konservasi penyu yang digagas Komunitas Raja Samudera dalam upaya penyelamatan dan penetasan telur penyu yang belum maksimal.
Alat tersebut tidak saja meningkatkan penetasan hingga 100 persen, tetapi juga dapat melakukan rekayasa genetik atau penentuan jenis kelamin penyu yang akan menetas selama masa inkubasi 50 hingga 60 hari.
"Jadi semuanya tergantung pada pengaturan suhu. Jika ingin penyu jantan semua maka cukup atur suhu pada rentang 27 hingga 29 derajat celcius dengan tingkat kelembaban 68 persen," sebut dia.
Sementara, apabila enumerator menginginkan penyu betina maka petugas cukup menaikkan suhu 30 hingga 31 derajat celcius dengan tingkat kelembapan 75 persen.
Energi Terbarukan
Berjarak sekitar 11 mil laut dari Pantai Kota Pariaman, membuat perusahaan negara yang bergerak di bidang energi itu harus memutar otak agar E-Katuang dapat beroperasi dengan maksimal tanpa khawatir akan kebutuhan listrik.
Dengan potensi cahaya matahari dan angin yang tergolong besar, mendorong Pertamina Patra Niaga memasang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB).
Penggunaan PLTS dan PLTB ini juga dilatarbelakangi besarnya potensi energi angin dan tenaga surya di kawasan itu yang sama sekali belum dimanfaatkan. Berangkat dari potensi itu, Pertamina mulai membuat dan memasang PLTB dan PLTS di Pulau Bando di awal 2024.
PLTS yang menggunakan empat panel surya itu mampu menghasilkan kapasitas listrik hingga 2.300 Watt Peak. Sementara, untuk PLTB tipe H-Darrieus itu, memiliki kemampuan menghasilkan energi listrik hingga 500 Watt.

"Sebelumnya konservasi ini masih dijalankan dengan cara-cara konvensional tanpa dukungan energi terbarukan. Jadi para enumerator masih menggunakan mesin genset berbahan bakar solar." kata Wahyu.
Penerapan energi bersih dan hijau ini diharapkan menjadi percontohan bagi kawasan konservasi lain, sehingga transisi energi fosil ke energi terbarukan dapat terealisasi dengan maksimal.
Digitalisasi Konservasi
Secara umum langkah konservasi ramah lingkungan tersebut terangkum dalam sebuah program Sistem Informasi Pemberdayaan Nagari Berbasis Konservasi atau lebih dikenal dengan Si Rancak Ulakan.
Inovasi sosial ini merupakan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang bertujuan memberikan dampak positif terhadap kawasan konservasi dan lingkungan sekitar.
Si Rancak Ulakan merupakan aplikasi berbasis website dan android yang menyediakan analisis, profil, informasi, pemantauan, dan edukasi serta evaluasi untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi di Pulau Bando.
Aplikasi tersebut lahir sebagai inovasi perbaikan pengelolaan kawasan konservasi berbasis masyarakat melalui informasi bank data flora dan fauna di kawasan itu.
Keunggulan aplikasi tersebut ialah analisis dan monitoring penyu yang dapat dilakukan secara langsung (real time), termasuk promosi paket wisata yang terintegrasi, hingga sarana edukasi penyu dengan teknologi baru.
Program itu berisi beragam informasi seputar kawasan konservasi nasional yang meliputi pelestarian populasi penyu, terumbu karang, pengelolaan sampah plastik maupun non plastik, hingga informasi wisata bertahan (survival) Pulau Bando.
Program Si Rancak Ulakan sendiri mempunyai roadmap jangka panjang hingga 2026. Dimana pada 2022 gagasan ini menyasar budi daya mangrove yang kemudian pada 2023 Si Rancak Ulakan memfokuskan sisi penguatan kelembagaan yang meliputi penanaman mangrove di kawasan wisata, penguatan kelompok, dan pengembangan konservasi penyu dan terumbu karang.
Selanjutnya pada 2024 Pertamina berfokus pada digitalisasi pengelolaan konservasi yang terdiri dari beberapa sasaran utama, di antaranya pengembangan sistem terpadu dalam kawasan konservasi serta pelestarian pesisir dan pengelolaan kawasan konservasi alam.
Sementara pada 2025 ini, Pertamina menyasar sentra produksi olahan nipah, pengembangan kampung edu ekowisata, dan pusat konservasi terpadu. Dan pada 2026 nantinya ditargetkan dapat menjadi learning center konservasi di Ranah Minang.
Si Rancak Ulakan merupakan program tanggung jawab sosial lingkungan PT Pertamina Patra Niaga AFT Minangkabau yang berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk menjaga kelestarian kawasan konservasi nasional.
Untuk mendukung program itu, Pertamina juga memasang internet Starlink. Internet tanpa batas ini memiliki jarak jangkau hingga 10 meter sehingga benar-benar membantu dan mendukung program tersebut di Pulau Bando.
