Padang (ANTARA) - Ketua Pengadilan Tinggi Padang, Sumatera Barat, Budi Santoso menyarankan agar cakupan penerapan deferred prosecution agreement (DPA) atau kesepakatan penundaan penuntutan lebih luas dari yang tercantum dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
"Dalam Rancangan KUHAP, DPA ini khusus menyasar ke korporasi tapi pemikiran saya harusnya lebih luas lagi," kata Ketua Pengadilan Tinggi Padang Budi Santoso di Padang, Senin.
Hal tersebut disampaikan Budi Santoso pada kuliah umum bertajuk "Optimalisasi pendekatan follow the asset dan follow the money melalui deferred prosecution agreement dalam penanganan perkara pidana" yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Andalas, sekaligus memperingati rangkaian HUT Kejaksaan RI.
DPA atau perjanjian penangguhan penuntutan merupakan mekanisme hukum melalui negosiasi antara jaksa dengan terdakwa (korporasi) dalam upaya mengalihkan tuntutan dari proses pengadilan, melalui prosedur pemulihan administratif selama korporasi memenuhi persyaratan.
Menurut Budi, implementasi DPA bisa menyasar kepada tindak pidana yang korbannya meliputi negara maupun kepentingan umum, seperti narkotika, karena korban narkotika merupakan bagian dari kepentingan umum.
Pada kesempatan itu, Budi turut menjelaskan alur pengaturan DPA dalam RKUHAP, termasuk ketika nantinya sudah bermuara ke ranah pengadilan. Para hakim wajib mengadakan sidang pemeriksaan untuk menilai kelayakan dan keabsahan DPA.
Setelah itu, hakim wajib mempertimbangkan kesesuaian DPA dengan peraturan perundang-undangan, proporsionalitas sanksi administrasi, atau kewajiban lain yang diberikan kepada tersangka atau terdakwa.
Para hakim juga wajib mempertimbangkan dampak terhadap korban, masyarakat, negara, lingkungan perekonomian hingga sistem peradilan pidana hingga kemampuan tersangka dalam memenuhi syarat yang ditetapkan.
Sementara itu, Wakil Rektor III Universitas Andalas Prof. Kurnia Warman mengatakan bagi pihak-pihak yang belajar hukum di Indonesia, penerapan DPA merupakan sesuatu yang baru bahkan tergolong tidak lazim di ranah civil law.
"Meskipun tidak lazim, tetapi ini sesuatu pendekatan yang penting untuk dibahas terutama untuk pengajaran hukum," kata Prof. Warman.
