Pakar hukum Unand optimistis penerapan DPA majukan peradilan Indonesia

id edita elda,penerapan dpa,deferred prosecution agreement,kuhap,rancangan kuhap,pakar hukum unand,kesepakatan penundaan penuntutan

Pakar hukum Unand optimistis penerapan DPA majukan peradilan Indonesia

Pakar hukum pidana dari Universitas Andalas (Unand), Sumatera Barat Edita Elda. Antara/HO-Dokumentasi pribadi

Padang (ANTARA) - Pakar hukum pidana dari Universitas Andalas (Unand), Sumatera Barat Edita Elda optimistis penerapan deferred prosecution agreement (DPA) atau kesepakatan penundaan penuntutan yang tercantum dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) akan memajukan dunia peradilan Indonesia.

"Ketika ini (DPA) terlaksana kita optimis bahwa ujung dari proses peradilan ini kan sebenarnya proses peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan," kata pakar hukum pidana dari Fakultas Hukum Unand Edita Elda di Padang, Selasa.

Sebab, kata Elda, yang terjadi saat ini ialah penumpukan berkas perkara baik itu di kejaksaan maupun pengadilan. Oleh karena itu butuh semacam langkah konkret agar proses peradilan di Tanah Air semakin baik terutama meminimalisir kerugian negara atas proses sidang yang memakan waktu dan anggaran yang tidak sedikit.

Pada dasarnya, lanjut dia, DPA bukanlah mekanisme hukum yang baru. Hal ini sudah diterapkan di negara-negara common law termasuk di beberapa negara civil law. Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan Kanada merupakan contoh sukses penerapan kebijakan ini yang dinilai layak menjadi percontohan bagi peradilan Indonesia.

Ia mengatakan penerapan DPA juga sejalan dengan pergeseran paradigma hukum modern yang tidak lagi menyasar kepada keadilan retributif tetapi lebih kepada keadilan restitutif atau restoratif.

"Jadi, dalam KUHP nasional pun itu sudah lebih humanis dan mengedepankan hak asasi manusia," ujarnya.

Dosen pada Fakultas Hukum Unand itu menerangkan bahwa DPA merupakan sebuah mekanisme hukum yang sederhananya melakukan penundaan penuntutan kepada korporasi atas kejahatan yang dilakukan. Kebijakan ini dapat diterapkan dengan sejumlah syarat ketat yang wajib dipenuhi korporasi.

Hal ini dilakukan sebagai langkah untuk mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi. Sasarannya ialah pengembalian berupa uang atau aset milik korporasi. Hal ini misalnya berkaitan dengan tindak pidana korupsi atau tindak pidana ekonomi.

"Jadi, ada kesepakatan yang disepakati dan wajib dipenuhi oleh korporasi terutama pembayaran denda agar kasus ini tidak lanjut ke persidangan," ujarnya.

Terakhir, Edita menyampaikan bahwa sebelum metode DPA diterapkan dalam KUHAP maka pihak terkait terlebih dahulu perlu mencatumkannya pada ketentuan umum rancangan KUHAP yang kemudian membahas atau memikirkan peraturan turunannya.

Pewarta :
Editor: Syarif Abdullah
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.