Beralih menangkap ikan bada di Danau Maninjau
Lubukbasung,- (ANTARA) - Rinuak (Psilopsis sp) merupakan ikan khas di Danau Maninjau, Kecamatan Tanjungraya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, yang selama ini menjadi andalan pelaku usaha sebagai bahan baku makanan olahan.
Ikan berukuran kecil itu hanya bisa dijumpai di Danau Maninjau yang memiliki luas 99,5 kilometer persegi dengan panjang sekitar 16 kilometer dan lebar 7 kilometer. Kedalaman rata-rata adalah 105 meter dengan kedalaman maksimum 165 meter.
Ukuran ikan rinuak yang sangat kecil dengan warna putih kekuningan, membuatnya mirip dengan ikan teri Medan.
Ikan rinuak biasanya diolah menjadi berbagai jenis makanan khas Minangkabau, seperti palai, salai, peyek, dendeng, rendang, dan lainnya.
Ikan ini sangat istimewa karena merupakan satwa endemik Danau Maninjau. Dengan kata lain, rinuak hanya bisa hidup di tempat itu.
Namun, ikan yang menjadi ciri khas danau itu sejak November 2022 sulit diperoleh. Diduga karena kualitas air Danau Maninjau yang buruk akibat cemaran belerang dan sisa pakan keramba jaring apung.
Nelayan di Danau Maninjau, Johanes (42) di Lubukbasung, mengatakan ikan rinuak tersebut tidak ditemukan atau punah di perairan danau vulkanik tersebut setelah terjadinya kematian ikan di keramba jaring apung milik petani.
Kematian ikan tersebut dampak dari tingginya curah hujan disertai angin kencang yang melanda daerah tersebut sehingga oksigen berkurang di Danau Maninjau.
Dengan kondisi seperti itu, ikan rinuak yang kali pertama mati massal dan setelah itu baru ikan lainnya, seperti majalaya, nila, dan lainnya.
Biasanya dalam hitungan bulan, ikan rinuak kembali muncul di Danau Maninjau, namun sampai saat ini ikan mungil ini tidak ditemui di perairan danau itu.
Kondisi seperti itu pernah terjadi pada 2017. Kala itu ikan rinuak kembali muncul 2 tahun berikutnya, tepatnya pada 2019, di Danau Maninjau.
Saat ini, hasil tangkapan ikan rinuak tidak ada. Kalaupun ada, itu sisa stok lama yang disimpan di lemari pendingin sehingga harganya pun mencapai ratusan ribu rupiah. Ia pernah menjual ikan rinuak dengan harga Rp100 ribu per kilogram menjelang Ramadhan 1444 Hijriah.
Padahal ketika ikan rinuak masih ada, harga jualnya hanya Rp15 ribu sampai Rp20 ribu per kilogram.
Adapun hasil tangkapan menggunakan jaring berukuran kecil sekitar 10-15 kilogram setiap harinya.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan Agam, Rosva Deswira, mengatakan Pemkab Agam memang belum memiliki balai konservasi ikan endemik dan hanya memiliki Balai Benih Ikan (BBI).
BBI tersebut berada di Gumarang dan Lubukbasung dengan fokus mengembangkan ikan nila, mas, lele, dan lainnya.
Khusus untuk ikan endemik di Danau Maninjau, sebelumnya dibudidayakan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Tanjungraya dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumbar.
Pada 2022, DKP Sumbar membangun dua kawasan konservasi ikan endemik di danau vulkanik itu dalam upaya melestarikannya.
Lokasi itu berada di Jorong Pandan dan Jorong Sigiran Kecamatan Tanjung Sani, Kecamatan Tanjungraya. Daerah itu milik kelompok tani.
Kawasan konservasi untuk melestarikan ikan endemik di Danau Maninjau. Di lokasi tersebut tidak boleh ada aktivitas eksploitasi, penangkapan ikan, dan lokasi budi daya ikan.
Dengan cara itu, ikan asli danau yang ada di kawasan itu akan membesar dan berkembang biak.
Ikan rinuak biasanya diolah menjadi berbagai jenis makanan khas daerah itu, seperti palai, salai, peyek, dendeng, rendang, dan lainnya.
Pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) di Kabupaten Agam tidak bisa memproduksi makanan olahan dampak dari kelangkaan ikan rinuak setelah kematian massal ikan di Danau Maninjau pada November 2022.
Wakil Ketua UMKM Kabupaten Agam, Fitria Amrina, bersama pelaku usaha lainnya tidak bisa memproduksi pepes, peyek, dendeng dari bahan baku ikan rinuak.
Di wilayah itu terdapat 15 pelaku usaha serupa yang tergabung dalam forum UMKM Kecamatan Lubukbasung.
Para pelaku usaha terpaksa menghentikan sementara produksinya lantaran ketiadaan bahan baku rinuak.
Pelaku UMKM lainnya, Rosi, bersedia membeli ikan rinuak dengan harga berapa pun karena banyak permintaan dari konsumen. Karena tidak ada, ia terpaksa mengalihkan bahan baku dengan udang.
Namun permintaan tidak begitu banyak karena rasanya jauh berbeda dengan menggunakan ikan rinuak.
Fokus ikan bada
Dalam kondisi air Danau Maninjau yang kekurangan oksigen dampak dari tercemar, bisanya ikan rinuak bermigrasi ke lokasi air bersih di anak sungai dan muara.
Namun sejak November 2022, ikan rinuak tidak ada di lokasi tersebut sehingga nelayan mengalihkan tangkapan ke ikan bada.
Ikan bada itu dipasarkan ke Kota Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota dengan harga Rp15 ribu per kilogram.
Salah seorang nelayan di Danau Maninjau, Johanes (42) mengakui hasil tangkapan ikan bada tersebut mencapai 5-10 kilogram per hari dan lumayan untuk biaya kebutuhan keluarga. Cara menangkap ikan bada hampir sama dengan ikan rinuak, menggunakan jaring.
Selain ikan bada, nelayan juga berburu ikan nila dengan hasil tangkapan 5 kilogram setiap hari dan harga jual Rp25 ribu per kilogram.
Hasil tangkapan tersebut langsung dijemput pedagang pengumpul ke rumahnya setiap hari.
Ia mengakui jumlah nelayan tangkap di Danau Maninjau meningkat setelah kondisi air danau tercemar. Nelayan tangkap tersebut merupakan petani keramba jaring apung yang beralih profesi karena usaha budi daya ikan tidak bisa lagi di danau.
Saat ini, keramba jaring apung yang beroperasi hanya sekitar 40 persen dari 23.359 petak.
Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan (DKPP) Kabupaten Agam mengajak para petani mengembangkan budi daya ikan air deras dan air tenang guna memenuhi produksi mengingat populasi ikan di Danau Maninjau anjlok.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan Agam, Rosva Deswira, mengatakan kolam aliran air deras itu bisa dikembangkan di sepanjang aliran Sungai Batang Antokan yang merupakan aliran Danau Maninjau.
Di aliran Sungai Batang Antokan tersebut berpotensi dikembangkan kolam air deras dan saat ini sudah bermunculan di lokasi itu, mulai dari Muko-Muko, Kecamatan Tanjungraya sampai Siguhung, Kecamatan Lubukbasung.
Untuk kolam air tenang bisa dikembangkan di lokasi lahan sawah di 16 kecamatan. Ini upaya DKPP Agam untuk mengalihkan ketergantungan petani ikan dari Danau Maninjau ke daratan setelah air danau vulkanik tersebut tercemar.
Ikan berukuran kecil itu hanya bisa dijumpai di Danau Maninjau yang memiliki luas 99,5 kilometer persegi dengan panjang sekitar 16 kilometer dan lebar 7 kilometer. Kedalaman rata-rata adalah 105 meter dengan kedalaman maksimum 165 meter.
Ukuran ikan rinuak yang sangat kecil dengan warna putih kekuningan, membuatnya mirip dengan ikan teri Medan.
Ikan rinuak biasanya diolah menjadi berbagai jenis makanan khas Minangkabau, seperti palai, salai, peyek, dendeng, rendang, dan lainnya.
Ikan ini sangat istimewa karena merupakan satwa endemik Danau Maninjau. Dengan kata lain, rinuak hanya bisa hidup di tempat itu.
Namun, ikan yang menjadi ciri khas danau itu sejak November 2022 sulit diperoleh. Diduga karena kualitas air Danau Maninjau yang buruk akibat cemaran belerang dan sisa pakan keramba jaring apung.
Nelayan di Danau Maninjau, Johanes (42) di Lubukbasung, mengatakan ikan rinuak tersebut tidak ditemukan atau punah di perairan danau vulkanik tersebut setelah terjadinya kematian ikan di keramba jaring apung milik petani.
Kematian ikan tersebut dampak dari tingginya curah hujan disertai angin kencang yang melanda daerah tersebut sehingga oksigen berkurang di Danau Maninjau.
Dengan kondisi seperti itu, ikan rinuak yang kali pertama mati massal dan setelah itu baru ikan lainnya, seperti majalaya, nila, dan lainnya.
Biasanya dalam hitungan bulan, ikan rinuak kembali muncul di Danau Maninjau, namun sampai saat ini ikan mungil ini tidak ditemui di perairan danau itu.
Kondisi seperti itu pernah terjadi pada 2017. Kala itu ikan rinuak kembali muncul 2 tahun berikutnya, tepatnya pada 2019, di Danau Maninjau.
Saat ini, hasil tangkapan ikan rinuak tidak ada. Kalaupun ada, itu sisa stok lama yang disimpan di lemari pendingin sehingga harganya pun mencapai ratusan ribu rupiah. Ia pernah menjual ikan rinuak dengan harga Rp100 ribu per kilogram menjelang Ramadhan 1444 Hijriah.
Padahal ketika ikan rinuak masih ada, harga jualnya hanya Rp15 ribu sampai Rp20 ribu per kilogram.
Adapun hasil tangkapan menggunakan jaring berukuran kecil sekitar 10-15 kilogram setiap harinya.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan Agam, Rosva Deswira, mengatakan Pemkab Agam memang belum memiliki balai konservasi ikan endemik dan hanya memiliki Balai Benih Ikan (BBI).
BBI tersebut berada di Gumarang dan Lubukbasung dengan fokus mengembangkan ikan nila, mas, lele, dan lainnya.
Khusus untuk ikan endemik di Danau Maninjau, sebelumnya dibudidayakan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Tanjungraya dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumbar.
Pada 2022, DKP Sumbar membangun dua kawasan konservasi ikan endemik di danau vulkanik itu dalam upaya melestarikannya.
Lokasi itu berada di Jorong Pandan dan Jorong Sigiran Kecamatan Tanjung Sani, Kecamatan Tanjungraya. Daerah itu milik kelompok tani.
Kawasan konservasi untuk melestarikan ikan endemik di Danau Maninjau. Di lokasi tersebut tidak boleh ada aktivitas eksploitasi, penangkapan ikan, dan lokasi budi daya ikan.
Dengan cara itu, ikan asli danau yang ada di kawasan itu akan membesar dan berkembang biak.
Ikan rinuak biasanya diolah menjadi berbagai jenis makanan khas daerah itu, seperti palai, salai, peyek, dendeng, rendang, dan lainnya.
Pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) di Kabupaten Agam tidak bisa memproduksi makanan olahan dampak dari kelangkaan ikan rinuak setelah kematian massal ikan di Danau Maninjau pada November 2022.
Wakil Ketua UMKM Kabupaten Agam, Fitria Amrina, bersama pelaku usaha lainnya tidak bisa memproduksi pepes, peyek, dendeng dari bahan baku ikan rinuak.
Di wilayah itu terdapat 15 pelaku usaha serupa yang tergabung dalam forum UMKM Kecamatan Lubukbasung.
Para pelaku usaha terpaksa menghentikan sementara produksinya lantaran ketiadaan bahan baku rinuak.
Pelaku UMKM lainnya, Rosi, bersedia membeli ikan rinuak dengan harga berapa pun karena banyak permintaan dari konsumen. Karena tidak ada, ia terpaksa mengalihkan bahan baku dengan udang.
Namun permintaan tidak begitu banyak karena rasanya jauh berbeda dengan menggunakan ikan rinuak.
Fokus ikan bada
Dalam kondisi air Danau Maninjau yang kekurangan oksigen dampak dari tercemar, bisanya ikan rinuak bermigrasi ke lokasi air bersih di anak sungai dan muara.
Namun sejak November 2022, ikan rinuak tidak ada di lokasi tersebut sehingga nelayan mengalihkan tangkapan ke ikan bada.
Ikan bada itu dipasarkan ke Kota Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota dengan harga Rp15 ribu per kilogram.
Salah seorang nelayan di Danau Maninjau, Johanes (42) mengakui hasil tangkapan ikan bada tersebut mencapai 5-10 kilogram per hari dan lumayan untuk biaya kebutuhan keluarga. Cara menangkap ikan bada hampir sama dengan ikan rinuak, menggunakan jaring.
Selain ikan bada, nelayan juga berburu ikan nila dengan hasil tangkapan 5 kilogram setiap hari dan harga jual Rp25 ribu per kilogram.
Hasil tangkapan tersebut langsung dijemput pedagang pengumpul ke rumahnya setiap hari.
Ia mengakui jumlah nelayan tangkap di Danau Maninjau meningkat setelah kondisi air danau tercemar. Nelayan tangkap tersebut merupakan petani keramba jaring apung yang beralih profesi karena usaha budi daya ikan tidak bisa lagi di danau.
Saat ini, keramba jaring apung yang beroperasi hanya sekitar 40 persen dari 23.359 petak.
Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan (DKPP) Kabupaten Agam mengajak para petani mengembangkan budi daya ikan air deras dan air tenang guna memenuhi produksi mengingat populasi ikan di Danau Maninjau anjlok.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan Agam, Rosva Deswira, mengatakan kolam aliran air deras itu bisa dikembangkan di sepanjang aliran Sungai Batang Antokan yang merupakan aliran Danau Maninjau.
Di aliran Sungai Batang Antokan tersebut berpotensi dikembangkan kolam air deras dan saat ini sudah bermunculan di lokasi itu, mulai dari Muko-Muko, Kecamatan Tanjungraya sampai Siguhung, Kecamatan Lubukbasung.
Untuk kolam air tenang bisa dikembangkan di lokasi lahan sawah di 16 kecamatan. Ini upaya DKPP Agam untuk mengalihkan ketergantungan petani ikan dari Danau Maninjau ke daratan setelah air danau vulkanik tersebut tercemar.