100 hari invasi Rusia di Ukraina, solusi damai kian mengawang

id Konflik Rusia Ukraina,Invasi Rusia,Perang Ukraina Rusia

100 hari invasi Rusia di Ukraina, solusi damai kian mengawang

Seorang tentara Ukraina terlihat dalam posisi siaga tempur di garis depan perang Ukraina-Rusia dekat Bakhmut di Donbas, Ukraina, 5 Juni 2022. ANTARA/REUTERS/GLEB GARANICH

Jakarta (ANTARA) - Jumat 3 Juni pekan lalu invasi Rusia di Ukraina genap 100 hari, tetapi perang belum juga menunjukkan tanda akan berakhir. Justru babak baru yang lebih brutal tengah terjadi di Donbas.

Donbas yang akronim "Donets Basin" atau Cekungan Donets, adalah kawasan budaya dan ekonomi di Ukraina Tenggara yang meliputi dua oblast atau provinsi; Donetsk dan Luhansk.

Pasukan Ukraina yang beroperasi di Donbas berasal dari kesatuan paling terlatih yang membuat pasukan Rusia maju mundur di Donbas. Pendulum perang pun mulai condong ke Rusia sejak Moskow memusatkan energi militernya ke bagian timur Ukraina setelah gagal menduduki Kiev dan menggulingkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.

Namun, jika Rusia berhasil menduduki seluruh Donbas, Presiden Rusia Vladimir Putin diyakini akan mencoba lagi menduduki Kiev dan menggulingkan Zelenskyy.

Solusi diplomatik sendiri semakin sulit, karena baik Putin maupun Zelenskyy tak mau mundur sejengkal pun dari sikapnya. Mereka berusaha menciptakan supremasi teritorial secara militer sehingga skala perang tak kunjung mengecil.

Ukraina memiliki alasan yang bisa dipahami semua negara berdaulat bahwa mereka akan bertempur sampai titik darah penghabisan karena perang ini menyangkut kemerdekaan, kedaulatan dan integritas teritorialnya.

Sementara Putin tak ingin ada pihak yang menyimpulkan Rusia kalah, karena jika ini yang terjadi, sama artinya dengan menciptakan situasi di mana semua tetangga Rusia dan rakyat Federasi Rusia beranggapan Putin tak kompeten sehingga tak perlu lagi digubris.

Alhasil, Rusia dann Ukraina pun all-out mengerahkan sumber dayanya, sembari saling mengukur daya tahan militer dan ekonomi masing-masing.

Dari perspektif ekonomi, Rusia tetap teguh sekalipun dihantam sanksi Barat yang amat keras, sampai harian terkemuka Inggris The Guardian menyimpulkan Rusia telah memenangkan perang ekonomi terkait invasi di Ukraina.

Tiga bulan sejak Rusia pertama kali dijatuhi sanksi begitu menginvasi Ukraina pada 24 Februari, ekonomi Rusia tak begitu terusik, sebaliknya tetap bisa mengongkosi perang di Ukraina.

Tingkat inflasi Rusia tetap terkendali, kendati ditempuh secara artifisial karena hampir sepenuhnya akibat intervensi negara, bukan hasil mekanisme pasar. Pun demikian dengan kurs mata uang, cadangan devisa, dan kemampuan membayar utang luar negeri dan menyelesaikan surat utang.

Sebaliknya sanksi ekonomi membuat harga komoditas ekspor utama Rusia seperti minyak dan gas membumbung tinggi yang membuatnya justru mengalami surplus transaksi berjalan yang pada empat bulan pertama 2022 mencapai 96 miliar dolar AS yang jauh di atas periode sama setahun sebelumnya.

Dihadapkan kepada kenyataan ini, Barat pun kian gencar melancarkan ofensif di dua matra; bantuan militer dan perluasan sanksi ekonomi. Dan mereka kini sepakat mengembargo minyak Rusia serta mengirimkan wahana perang tercanggihnya ke Ukraina.

Embargo minyak itu mencakup pengiriman minyak Rusia dari laut yang mencapai 2/3 ekspor minyak Rusia untuk Uni Eropa. Tapi itu tak termasuk pengiriman minyak lewat jaringan pipa yang melewati Polandia, Jerman, Hungaria, Slovakia dan Republik Ceko. Meski begitu, Polandia dan Jerman telah bersumpah untuk tak lagi menggunakan minyak Rusia.

(Selanjutnya: Membuat Rusia semakin terisolir)

Semakin terisolir

Tahun lalu, Uni Eropa mengimpor minyak mentah Rusia (lewat pengiriman laut) senilai 51 miliar dolar AS dan minyak suling Rusia (lewat pipa) senilai 23 miliar dolar AS.

Tujuan embargo adalah memangkas kemampuan Rusia mengongkosi perang dan sekaligus merusak kemampuan ekonomi rezim Putin sehingga memicu destabilisasi di dalam negeri Rusia.

Sanksi ekonomi itu dibarengi dengan janji mengirimkan senjata berdaya jangkau jauh agar militer Ukraina bisa mengimbangi superioritas militer Rusia. Di sini, AS menyatakan segera memasok sistem peluru kendali presisi tinggi HIMARS (High Mobility Artillery Rocket System) ke Ukraina yang membuat Rusia semakin marah.

Negara-negara Eropa lain mengikuti AS, antara lai Jerman yang segera memasok howitzer berdaya tembak 56 km dan sistem anti pesawat terbang Gepard.

Mereka ingin Ukraina bisa menghancurkan militer Rusia di garis belakang sehingga tak lagi bisa meluncurkan roket dan artileri berat dari jarak jauh untuk menghancurkan kota-kota Ukraina.

Semua itu membuat perang di Ukraina semakin tak bisa diraba epilognya.

Putin yang diisukan tengah mengalami kanker akut diyakini tak akan berhenti sampai mendapatkan sesuatu yang dianggapnya kemenangan untuk menyelamatkan mukanya baik di mata publik domestik maupun luar negeri.

Korban jiwa di pihak Rusia sendiri terus bertambah dan saat bersamaan kemajuan militer Rusia pun tak terlalu signifikan. Dan situasi seperti ini bisa membuat suara yang menentang perang membesar.

Di lain pihak, Rusia semakin terisolasi dengan tak lebih dari lima negara, termasuk Belarus, yang mendukung invasi mereka Tetapi Belarus sendiri menolak aktif berperang di Ukraina, sekalipun menyediakan teritorinya sebagai tempat untuk melancarkan invasi ke Ukraina.

Dua tahun lalu di negeri itu, demonstrasi sipil pecah. Putin lalu menawarkan bantuan finansial dan polisi anti huru hara kepada Presiden Belarus Alexander Lukashenko untuk meredam protes massa ini.

Pada tahun yang sama, Putin mengerahkan pasukan perdamaian ke Nagorno-Karabakh ketika Armenia dan Azerbaijan berperang memperebutkan wilayah ini.

Kemudian, lima bulan lalu Putin mengerahkan pasukan reaksi cepat ke Kazakhstan untuk memastikan rezim di sana meredam gerakan massa yang seketika pecah.

Ironisnya, tak satu pun dari ketiga negara itu aktif mendukung perang Rusia melawan Ukraina.

Di lain pihak, perang yang semakin brutal membuat NATO didekati oleh negara-negara Eropa non anggota pakta pertahanan Atlantik Utara itu.

(Selanjutnya: Ancaman krisis pangan)

Krisis pangan

Alih-alih mengingatkan NATO agar berhenti memperluas keanggotaan ke timur dan mendorong Eropa Timur agar jangan terpikir berpaling dari Rusia, perang Ukraina justru membuat sejumlah negara Eropa mendekati NATO, salah satunya Finlandia yang berbatasan langsung dengan Rusia.

Bersama Swedia yang bertradisi netral dan dipisahkan dari Rusia oleh Laut Baltik, Finlandia melamar menjadi anggota NATO pada 18 Mei.

Bahkan dalam situasi ini tak membuat Putin surut melangkah. Dia tampaknya sudah siap menghadapi perang yang berlarut-larut sekalipun nasib politiknya dan juga nasib negara-negara lain di dunia dipertaruhkan.

Dia menunggu koalisi internasional anti-Rusia tercerai berai. Dia terlihat tak terlalu ambil pusing bahwa perang yang dia prakarsai membuat dunia dihantam krisis pangan setelah blokade Laut Hitam membuat arus pangan dunia terganggu untuk kemudian menggerogoti tingkat harga.

Ukraina dan Rusia memasok 24 persen gandum dunia, 57 persen minyak biji bunga matahari dan 14 persen kebutuhan jagung dunia. Menurut badan pangan PBB (WFP) delapan bulan sebelum invasi, 51 juta metrik ton biji-bijian telah disalurkan via tujuh pelabuhan Ukraina di Laut Hitam.

Krisis pangan itu sendiri nyata menyiksa sejumlah negara, termasuk Sri Lanka di mana krisis pangan dan energi memicu krisis finansial yang membuat negara itu gagal membayar utangnya (default).

Ada banyak negara seperti Sri Lanka di mana jutaan orang sangat tergantung kepada pangan impor.

Walaupun tak semua dipenuhi Ukraina atau Rusia, perang telah merusak keseimbangan pasokan pangan yang kemudian mengguncang stabilitas harga pangan sehingga sejumlah negara miskin semakin tak mampu membeli pangan sampai kemudian menciptakan krisis di dalam negeri.

Menurut WFP, 811 juta orang tengah mengalami masalah pangan yang kronis. 49 juta orang di antaranya yang berada di 43 negara, di ambang mengalami bencana kelaparan.

Namun, mustahil berharap Putin mengakui kalah, yang sama mustahilnya dengan mengharapkan Ukraina menggadaikan kedaulatannya. Sementara AS dan Eropa sudah tak bisa menarik komitmennya karena aksi Putin kian meyakinkan mereka untuk lebih aktif lagi dalam tata keamanan global.

Semua itu membuat upaya-upaya damai yang diinisiasi banyak kalangan, mulai PBB sampai Turki, semakin pelik. Segala forum digunakan termasuk G20 yang tengah diketuai Indonesia di mana Presiden Joko Widodo telah mengundang baik Putin maupun Zelenskyy untuk menghadiri KTT G20 di Bali pertengahan November tahun ini.

Tetapi Zelenskyy menyatakan hanya bisa menghadiri KTT ini secara daring karena tak mau meninggalkan rakyatnya yang lagi melawan Rusia.

Masih perlu dilihat apa yang bakal terjadi dalam beberapa bulan ke depan, apakah prakarsa Presiden Jokowi mempertemukan Putin dan Zelenskyy dalam forum G20 terlaksana. Upaya diplomatik yang kuat dan simultan sudah pasti dibutuhkan guna mewujudkan prakarsa itu.

Tapi solusi damai untuk perang Ukraina mungkin lebih dari sekadar itu. Mungkin saatnya pula menawarkan prakarsa yang jauh lebih kolaboratif dan terkoordinasi dengan melibatkan seluruh kekuatan dunia, mulai AS, Uni Eropa, Turki, G20, China, Indonesia, India, sampai banyak lagi. Memang sulit, tapi tidak mustahil.