Jakarta, (ANTARA) - Jaksa penuntut umum KPK menyebut mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi mengacuhkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai penggunaan anggaran Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) yang tidak dapat dipertanggungjawabkan senilai Rp11 miliar.
"Telah terungkap juga di persidangan mengenai pengetahuan terdakwa Imam Nahrawi terkait dengan adanya permintaan Miftahul Ulum yang mengatasnamakan terdakwa, yaitu ketika Gatot Dewa Broto dan Lina Nurhasanah menghadap terdakwa di ruang kerjanya untuk menyampaikan adanya temuan BPK mengenai dana akomodasi yang dikelola oleh Lina Nurhasanah tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk anggaran tahun 2016 sekitar Rp11 miliar," kata JPU KPK Ronald Worotikan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.
Imam Nahrawi dituntut 10 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp19,154 miliar dan pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun.
JPU KPK menilai Imam Nahrawi bersama-sama dengan Miftahul Ulum terbukti menerima suap senilai Rp11,5 miliar dan gratifikasi sebesar Rp8,648 miliar.
Lina Nurhasanah adalah Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora 2015—2016, sedangkan Gatot S. Dewa Broto menjabat sebagai Sekretaris Menpora (Sesmenpora).
"Lina Nurhasanah menyampaikan kepada terdakwa dari temuan BPK tersebut sejumlah Rp6.948.435.682 dipergunakan untuk mendukung kegiatan operasional terdakwa selaku Menpora, yaitu sebesar Rp4.948.435.682 untuk tambahan operasional perjalanan dinas dan sejumlah Rp2 miliar untuk pembayaran keperluan rumah terdakwa yang diserahkan melalui Miftahul Ulum," ungkap jaksa Budhi Sarumpaet.
Namun, setelah Imam menerima laporan dari Lina, menurut JPU KPK, Imam sama sekali tidak mengambil langkah perbaikan terhadap adanya permintaan uang dari Miftahul Ulum untuk kepentingan Imam yang menyebabkan adanya temuan BPK RI tersebut.
"Bahkan, terdakwa selaku Menpora cenderung acuh dan melakukan pembiaran terhadap perbuatan Miftahul Ulum selaku asisten pribadi terdakwa. Hal ini bertolak belakang dengan pengakuan terdakwa di persidangan yang menyatakan telah menyampaikan kepada jajaran pegawai Kemenpora RI agar memberitahukannya jika ada pihak-pihak yang meminta sejumlah uang mengatasnamakan terdakwa selaku Menpora," kata jaksa Budhi menambahkan.
Jaksa KPK juga mempertanyakan sikap Imam yang tidak pernah memberikan sanksi administratif maupun pemecatan terhadap Ulum sejak Imam mengetahui laporan tersebut.
"Miftahul Ulum baru diberhentikan selaku asisten pribadi terdakwa jauh setelahnya, yaitu pada tahun 2019 setelah dilakukan OTT oleh KPK," ungkap jaksa Budhi.
Terhadap persoalan temuan BPK itu, menurut JPU KPK, Imam membenarkan adanya pertemuan dengan Gatot Dewa Broto.
"Yang pada pokoknya Gatot dan Lina Nurhasanah ingin melaporkan terkait dengan dengan temuan BPK tersebut. Namun, terdakwa dengan beralasan karena sudah malam maka tidak jadi dilakukan pembahasan tersebut," kata jaksa Budhi.
Dalam persidangan, Ulum juga menyatakan bahwa selain adanya penerimaan uang gratifikasi tersebut, ternyata Ulum juga pernah menerima sejumlah uang dari Dwi Satya untuk diberikan kepada pihak Kejaksaan Agung Adi Toegarisman dan pihak BPK Achsanul Qosasi.
"Terkait dengan keterangan tersebut, perlu kiranya untuk mendalami keterangan Miftahul Ulum lebih lanjut karena keterangan tersebut adalah keterangan yang berdiri sendiri dan di luar dari materi dakwaan yang harus dibuktikan oleh penuntut umum. Namun, keterangan Ulum tersebut menambah keyakinan penuntut umum bahwa penerimaan uang tidak sah dari pihak lain untuk kepentingan Menpora Imam Nahrawi melalui Miftahul Ulum selaku asisten pribadi Menpora telah berulang kali terjadi di lingkungan Kemenpora," kata jaksa.
Dalam surat tuntutan disebutkan bahwa Ulum sempat menyatakan anggota BPK Achsanul Qosasi menerima Rp3 miliar dan mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Adi Toegarisman menerima Rp7 miliar terkait dengan kasus penyaluran dana hibah dari Kemenpora ke KONI.
Dwi Satya yang dimaksud Ulum adalah teman kuliah Ulum dan merupakan pengusaha alat perang. Dwi Satya, menurut Ulum, mengumpulkan uang sekitar Rp3 miliar sampai Rp5 miliar karena kebutuhan ke Kejagung waktu itu sebesar Rp7 miliar.
Terkait dengan perkara ini, Ulum dituntut 9 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan karena dinilai terbukti menjadi operator lapangan aktif penerimaan suap dan gratifikasi. (*)