MHKI: Hingga kini pemerintah belum ganti pembiayaan pasien COVID-19 di RS

id Pembiayaan pasien COVID-19,penanganan corona,virus corona,corona,covid-19,2019-ncov,novel coronavirus 2019

MHKI: Hingga kini pemerintah belum ganti pembiayaan pasien COVID-19 di RS

Ilustrasi - Seorang dokter dengan pakaian pelindung mengunjungi seorang warga terinfeksi COVID-19 di rumahnya, Bergamo, pusat penyebaran penyakit virus corona di Italia, Kamis (16-4-2020). Pasien dengan gejala yang tidak terlalu berat dirawat di rumah di Bergamo untuk menghindari rumah sakit yang terlalu penuh sesak yang sudah kewalahan menangani pasien dengan perawatan intensif. ANTARA/REUTERS/Flavio Lo Scalzo

Hingga hari ini, pembiayaan pasien COVID-19 di RS maupun di FKTP belum mendapat penggantian (dari pemerintah),
Jakarta (ANTARA) - Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) mengungkapkan bahwa hingga kini pemerintah belum mengganti pembiayaan pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit (RS) maupun di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP).

"Hingga hari ini, pembiayaan pasien COVID-19 di RS maupun di FKTP belum mendapat penggantian (dari pemerintah)," kata Ketua Umum DPP MHKI dr. Mahesa Paranadipa Maikel dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

Mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU No. 36/2009 tentang Kesehatan, dana UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, kata Mahesa, pembiayaan penyakit yang telah ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB) atau wabah sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah.

Hal ini, kata dia, telah ditegaskan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 104 Tahun 2020 yang ditetapkan pada tanggal 14 Februari 2020.

Kementerian Kesehatan juga telah menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 238 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Klaim Pembiayaan yang ditandatangani pada tanggal 6 April 2020.

Dari Kepmenkes ini, kata Mahesa, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 1116 Tahun 2020 pada tanggal 9 April 2020 yang ditujukan kepada dinas kesehatan dan direktur rumah sakit seluruh Indonesia perihal wajib lapor kasus COVID-19.

Namun, lanjut Mahesa, di tengah berjalannya proses klaim tersebut, rumah sakit maupun FKTP belum memperoleh penggantian pembiayaan pasien COVID-19 dari pemerintah.

Padahal, kata dia, beban rumah sakit dan FKTP selama wabah corona cukup berat. Hal ini disebabkan penurunan kunjungan jumlah pasien ke fasilitas kesehatan.

Ditambah lagi, adanya surat edaran dari Dirjen Pelayanan Kesehatan Nomor 1118 tertanggal 9 April 2020 yang berisi imbauan untuk tidak praktik rutin, kecuali emergency. Akhirnya pemasukan fasilitas kesehatan, khususnya rumah sakit dari klaim ke BPJ Kesehatan maupun dari pasien umum, menurut dia, menurun drastis.

"Bagi FKTP yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan tidak memiliki banyak pengaruh karena ditopang dengan dana kapitasi. Namun, problem di FKTP adalah belum jelasnya mekanisme klaim pelayanan pasien COVID," katanya.

Akibat situasi tersebut, lanjut dia, beberapa rumah sakit akhirnya terpaksa memungut biaya dari pasien, termasuk pasien tergolong tidak mampu.

Bahkan, kata dia, terdapat rumah sakit yang mewajibkan setiap pasien, tidak hanya pasien suspek, melakukan pemeriksaan rapid test maupun polymerase chain reaction (PCR). Hal tersebut makin memberatkan pasien ketika ingin mendapatkan layanan di rumah sakit.

Pasien jaminan BPJS Kesehatan yang keluhan sakitnya tidak berkenaan dengan COVID-19, menurut dia, seharusnya tidak dibebankan biaya tambahan karena telah dijamin dengan dana JKN.

Oleh karena itu, Mahesa meminta Pemerintah untuk mengatasi masalah pembiayaan ini, mengingat makin bertambahnya kasus COVID-19 sehingga rumah sakit dan FKTP tetap bisa melayani masyarakat.

"Selain itu, perlindungan bagi seluruh petugas kesehatan harus juga diperhatikan dengan serius. Jika rumah sakit tidak lagi mampu membayar gaji dan jasa medik, dikhawatirkan pelayanan akan terhenti. Tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah harus benar-benar dijalankan," kata Mahesa.