Semarang, (ANTARA) - Belakangan ini, warga dunia tengah dihebohkan dengan kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh Reynhard Sinaga terhadap 195 laki-laki di Manchester, Inggris. Kasus tersebut sekaligus mematahkan mitos bahwa laki-laki tidak dapat diperkosa.
Polisi Inggris telah menyatakan terdapat sekitar 195 korban Reynhard berdasarkan bukti rekaman video. Dari jumlah tersebut, 70 korban di antaranya belum dapat diidentifikasi.
Atas perbuatannya, pemuda kelahiran Jambi kelahiran tahun 1983, kini dihukum seumur hidup dengan masa hukuman minimal 30 tahun berada di penjara oleh Pengadilan Manchester, Inggris, Senin (6/1).
Kejahatan seksual yang dilakukan Reynhard Sinaga tentu saja mencoreng nama bangsa Indonesia. Terlebih lagi, kejahatan yang dilakukannya diklaim oleh kepolisian dan kejaksaan Inggris sebagai kasus perkosaan terbesar dalam sejarah Inggris, dalam empat tahap, sejak Juni 2018 sampai putusan pada tanggal Senin (6/1).
Sebagian besar korban Reynhard Sinaga merupakan pria heteroseksual. Berdasarkan keterangan dari persidangan, diketahui bahwa Reynhard mengalami "kenikmatan" lebih ketika memerkosa pria heteroseksual.
Sasaran Reynhard adalah pria muda di klub-klub malam. Di sebagian rekaman, Reynhard tampak meniduri para pria muda yang tidak sadar, di sebagian rekaman lainnya terlihat ada korban yang muntah, sementara Reynhard terus menjalankan aksinya.
Terungkap bahwa selama ini aksi Reynhard dapat berjalan begitu lama karena ia menutupinya dengan mengatakan kepada sejumlah rekannya bahwa hubungan yang dilakukan atas dasar suka sama suka (sexual consent), bukan pemerkosaan.
Istilah hubungan suka sama suka juga dilontarkan oleh Reynhard saat memberikan pembelaannya pada sidang pertama, Juni 2018. Pada sidang keempat, Desember 2019, Reynhard juga menyatakan aksi yang dilakukannya merupakan hubungan suka sama suka, bukan pemerkosaan.
Reynhard menyebut setiap korban setuju dipenetrasi sambil berpura-pura tidur. Atas pernyataan tersebut, hakim menolak dan menyatakan pembelaan Reynhard sebagai "pembelaan yang tidak masuk akal".
Berdasarkan keterangan dari St. Mary's Sexual Assault Referral Centre, Pusat Bantuan Serangan Seksual St. Mary, di Manchester, diketahui bahwa para korban tidak mengingat apa yang telah terjadi saat mereka bangun keesokan harinya walaupun mereka terbangun dalam keadaan telanjang di flat Reynhard. Dalam hal ini, para pria yang menjadi korban tidak tahu bahwa mereka telah mengalami kekerasan seksual.
Setelah diberi tahu oleh kepolisian bahwa mereka telah diperkosa oleh Reynhard, mereka sangat terkejut dan sebagian besar mengalami trauma. Sebagian korban pada akhirnya memilih untuk tidak memberi tahu siapa pun karena berbagai alasan, termasuk untuk melindungi kejiwaan mereka, malu, bahkan takut untuk menghadapi tanggapan orang. Bahkan, dua korban dilaporkan berusaha bunuh diri setelah polisi memberi tahu mereka bagaimana Reynhard memerkosa mereka.
Menelaah Korban
Kita belum dapat berlega hati walaupun Reynhard telah mendapatkan ganjaran setimpal atas perbuatannya. Trauma dan luka batin para pria korban pemerkosaan Reynhard belum tentu dapat pulih seperti sediakala. Kendati dalam hal ini media di Inggris tidak membocorkan siapa saja yang telah menjadi korban Reynhard dan bagaimana detail pemerkosan yang dilakukan Reynhard terhadap para korbannya.
Berkebalikan dengan pemberitaan kasus pemerkosaan yang korbannya adalah perempuan. Media di Indonesia, terutama, justru akan lebih fokus memberitakan mengenai identitas korban, baju yang dikenakan korban, bahkan detail peristiwa traumatis yang dialami korban. Sementara itu, sang predator seksual justru tidak diekspose identitas dan kejahatannya.
Dalam banyak kasus pemerkosaan yang dialami perempuan, sering kali korban dinyatakan bertanggung jawab atas kekerasan seksual yang menimpanya lantaran korban memakai rok mini, korban naik kendaraan umum tengah malam, atau korban yang dinilai turut menikmati hubungan seksual dengan predator seksual (sexual consent). Artinya, perempuan korban pemerkosaan yang melapor justru disalahkan (blaming the victim).
Selain itu, sering kali kesaksian perempuan korban perkosaan ditolak oleh hukum di Indonesia. Pihak-pihak yang memiliki otoritas hukum lebih memercayai kesaksian predator seksual bahwa hubungan terjadi atas dasar rasa suka (sexual consent). Kesaksian korban bahwa ia mengalami trauma dan kerusakan organ seksual seolah belum cukup membuktikan bahwa peristiwa yang dialami merupakan pemerkosaan.
Ditambah lagi, media di Indonesia, terutama, dan luar negeri, memberitakan kasus pemerkosaan yang dialami perempuan secara sensasional untuk menarik pembaca dengan menyorot identitas dan kengerian yang dialami korban secara detail.
Korban dan keluarga korban, tentu saja, harus menanggung malu atas pemberitaan yang meluas mengenai anak gadisnya yang telah diperkosa. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap masa depan perempuan korban pemerkosaan (penyintas) yang akan memeroleh stigma negatif dari masyarakat sepanjang hidupnya sebagai gadis yang "tidak suci" lagi.
Perempuan korban pemerkosaan yang melaporkan peristiwa yang dialami justru "diperkosa" berkali-kali oleh media karena terus mengulang mengulas pengalaman traumatis yang dialami korban.
Pemberitaan Sensistif Gender
Pemberitaan kasus pemerkosaan terhadap perempuan perlu mencontoh pemberitaan dari kasus Reynhard Sinaga di bebrerapa media asing. Media-media tersebut fokus pada peristiwa kekerasan seksual dan tindakan kriminal yang dilakukan oleh Reynhard.
Selain itu, pemberitaan di sebagian besar media asing sangat melindungi korban dengan tidak membeberkan identitas, alamat korban, dan detail proses Reynhard memerkosa korban.
Narasi berita di sejumlah media asing justru lebih banyak menyorot secara detail mengenai kejahatan seksual Reynhard dan memajang fotonya secara jelas agar bisa dikenali masyarakat secara luas. Artinya, predator seksual diungkapkan identitasnya secara jelas kepada masyarakat agar menjadi efek jera bagi predator seksual di luar sana apabila ingin melakukan kejahatan yang sama dikarenakan predikat "pemerkosa" akan melekat dalam dirinya seumur hidup.
Namun, kembali lagi, dalam banyak kasus perempuan korban pemerkosaan, malah korban harus menanggung predikat "tidak suci" atau "kotor" sepanjang hidupnya. Hal ini tentu saja salah.
Seharusnya, pemberitaan kasus pemerkosaan yang dialami perempuan lebih menyoroti secara detail identitas pelaku dan memajang fotonya secara luas agar dikenali oleh masyarakat sehingga predator seksual akan mendapat efek jera.
Apabila pemberitaan media menganut prinsip ini, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan laki-laki akan menurun. Hal ini dikarenakan predator seksual di luar sana takut terhadap superioritas media sebagai moral guardians (penjaga moral) sebagaimana termaktub dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
*) Penulis adalah pengamat gender dan dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI).