Menurut Wapres, ini beda pemindahan ibu kota Indonesia dengan Malaysia

id ibu kota pindah,Wapres Jusuf Kalla,JK,Putrajaya,malaysia,Kaltim,Jokowi

Menurut Wapres, ini beda pemindahan ibu kota Indonesia dengan Malaysia

Wakil Presiden Jusuf Kalla memberikan pernyataan pers di Kantor Wapres Jakarta, Selasa (27/8/2019). (Fransiska Ninditya)

Jakarta, (ANTARA) - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan pemindahan ibu kota pemerintahan Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur berbeda dengan kondisi Malaysia, yang pusat administrasinya berpindah dari Kuala Lumpur (KL) ke Putrajaya.

"Malaysia itu hanya pindah 20 kilometer, tapi yang lainnya tetap di Kuala Lumpur. Jadi tidak bisa disamakan dengan Malaysia, karena jauh ini, kalau (pindah) di Jonggol mungkin saja Istana (Negara) tetap dipakai. Ini karena di Kaltim, jadi mesti baru semua," kata Wapres JK kepada wartawan di Kantor Wapres Jakarta, Selasa.

Baca juga: Beban di Pulau Jawa terlalu berat, Pemerintah pindahkan ibu kota

Selain persoalan jarak, Wapres menambahkan pemindahan pusat administrasi pemerintahan Malaysia juga relatif tidak serumit Indonesia. Malaysia hanya memiliki 14 kementerian yang dipindahkan ke Putrajaya, sementara Indonesia ada 34 kementerian dan belum termasuk lembaga pemerintahan nonkementerian.

"Jadi simpel sekali Malaysia itu, istananya tetap di Kuala Lumpur, gedung DPR-nya di KL, tentara dan polisinya tetap di KL. Jadi hanya betul-betul kementerian yang pindah, dan kementerian di sana tidak banyak, cuma 14, kita kan ada 34," tambahnya.

Wapres mengatakan semua kementerian harus ikut pindah ke ibu kota baru untuk menunjang proses pemerintahan yang optimal di satu tempat, yakni Kalimantan Timur.

Baca juga: Ini alasan Presiden Jokowi pindahkan ibu kota ke Kaltim

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah resmi memilih Provinsi Kalimantan Timur sebagai ibu kota baru negara Indonesia, yang meliputi sebagian daerah di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara.

Pemerintah punya beberapa alasan dalam rencana pemindahan, antara lain karena krisis ketersediaan air di Pulau Jawa dan konversi lahan terbesar juga terjadi di sana.

Selain itu, tingginya urbanisasi terkonsentrasi di Jakarta dan Jabodetabek, kemacetan dan kualitas udara tidak sehat serta rawan banjir tahunan hingga turunnya tanah dan muka air laut naik, juga menjadi salah satu pertimbangannya. (*)

Baca juga: Jokowi tetapkan Ibu kota baru di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara