Dalam dua pekan terakhir media massa dihebohkan dengan pemberitaan terkuaknya prostitusi daring yang melibatkan beberapa artis dan model.
Pemberitaan lebih riuh karena yang terciduk adalah VA, seorang artis yang kini telah berstatus tersangka dengan tarif mencapai Rp80 juta sekali kencan berdasarkan keterangan polisi.
Bahkan, sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa media, tarif artis dalam jaringan prostitusi online tersebut bahkan bisa menembus angka Rp100 juta.
Fenomena Gunung Es
Jika kita jujur terhadap apa yang terjadi, kasus VA hanyalah simbolik dari apa yang terjadi sesungguhnya di masyakat. Prostitusi mulai dari level rendah dan jalanan sampai level kelas hotel berbintang, nyata adanya di tengah-tengah masyarakat .
Mulai dari tawar-menawar lewat jendela kaca mobil, hingga berbasis aplikasi web dan praktik jual beli seksual bisa ditemukan di negeri ini. Seakan-akan bisnis dan transaksi seksual mengikuti tren global industri 4.0.
Negeri kita yang mengedepankan nilai-nilai agama dan beradab, secara eksplisit dan tertulis menyatakan bahwa prostitusi dan segala bentuk yang mengarah kepadanya adalah sesuatu yang dibenci dan terlarang.
Namun anehnya, praktik prostitusi ditemukan ditemukan hampir di semua daerah di Indonesia. Bahkan daerah-daerah yang dikenal sebagai basis kuat beragama atau daerah religius, sering juga terjadi penggerebekan praktik prostitusi . Sebut saja misalnya di Aceh, juga terjadi penangkapan Wanita Pekerja Seks (WPS) online.
Di Padang, Sumatera Barat, juga sudah berkali-kali penggerebekan dilakukan di Atom Center, yang dijadikan tempat praktik prostitusi terselubung. Bahkan tahun-tahun sebelumnya, kota ini sempat dihebohkan dengan adanya praktik taksi gelap yang menawarkan jasa layanan mesum.
Apalagi, jika kita lihat di kota-kota besar lainnya, yang sudah sering di beritakan di media massa bahwa lokalisasi itu ada, padahal ilegal secara hukum dan tidak sesuai dengan norma yang berlaku.
Sehingga, sudah sudah menjadi rahasia umum adanya lokalisasi di Gang Dolly di Surabaya yang sudah ditutup, Kali Jodo di Jakarta Barat, daerah Saritem di Bandung, Pasar Kembang (Sarkem) Yogyakarta, Limusnunggal di Cileungsi Bogor, daerah Sintai Batam, dan tentu masih banyak lagi.
Tidak hanya berhenti di situ, praktik prostitusi juga ibarat sebuah warung usaha, ada yang buka di pusat perbelanjaan (lokalisasi) ada yang buka warung di rumah. Penangkapan praktik prostitusi juga sudah terjadi di bebeberapa perumahan di wilayah Jabodetabek, seperti Margonda Residence Depok, Bogor Valley, dan Apartemen Kalibata City Jakarta.
Hipokrit Sosial
Lalu apakah yang sesungguhnya terjadi dengan masyarakat kita? Secara hukum dan tertulis semuanya menyatakan melarang dan membenci. Namun kenyataan, prostitusi atau jual beli layanan mesum itu terpampang di depan mata. Inilah yang bisa kita sebut sebagai hipokrit sosial.
Jika kita lakukan sedikit analisis saja, ada dua hal yang bisa kita dapatkan. Pertama, secara sosial masyarakat kita mulai permisif dengan basa-basi dan diam-diam, namun tidak ingin terlihat bahwa mereka menyetujui dan tidak mau mereka terlihat sebagai bagian dari hal itu.
Permisif terhadap praktik prostitusi mungkin tidak akan pernah diakui secara gamblang. Namun eksploitasi seksual dan mengumbar aurat wanita terhadap sessuatu yang tidak relevan sudah menjadi hal biasa.
Sebut saja misalnya adanya pameran motor dan mobil atau produk teknologi lainnya yang tidak ada kaitannya dengan ‘kemolekan’ tubuh wanita. Tetapi wanita dengan pakaian sensual sengaja ditampilkan untuk menarik mata pengunjung.
Begitu juga dengan pornografi, sebagai bentuk lembah gunung es dan turunan fenomena ini. Ketika CD dan DVD masih primadona di masyarakat, ketersediaan VCD dan DVD porno pun menjamur di masyarakat.
Ketika era internet situs online pornografi termasuk yang paling tinggi diakses di Indonesia, jauh mengalahkan akses-akses pencairan jurnal ilmiah dan situs-situs ilmiah dan pendidikan.
Bahkan, meskipun akses terhadap pornografi online telah diblokir oleh pemerintah sebagai amanat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Internet dan Transaksi Elektronik (UU ITE), selalu saja ada cara para penikmat tontonan mesum itu untuk mendapatkannya.
Kedua, adanya praktik prostitusi telah melibatkan semua lapisan masyarakat, mulai dari kelas bawah hingga kelas atas. Praktik prostitusi kelas bawah tentu konsumennya adalah masyaralat kelas bawah pula. WPS kelas tinggi, sudah pasti pelanggannya kelas kakap pula, yang penghasilannya puluhan hingga ratusan juta.
Orang yang berpenghasilan puluhan hingga ratusan juta sudah pasti bukan orang sembarangan. Jika tidak pejabat kelas tinggi pastilah konglomerat atau bisnisman yang mapan. Hal ini juga telah dibenarkan oleh Kapolda Jawa Timur tatkala menjawab pertanyaan wartawan terkait kasus kasus prostitusi daring di Surabaya yang melibatkan para artis tersebut. Lalu tatkala WPS kelas kakap ditangkap, tidak terdengar suara-suara siapa saja mereka yang ada dibelakangnya.
Secara sosial masyarakat manapun tidak ada yang mau menerima prostitusi sebagai bagian dari mereka. Bahkan di negara-negara maju seperti Australia dan Amerika sekalipun, keterlibatan publik figur, pejabat publik, atau orang yang diharapkan menjadi teladan di masyarakat diharapkan bersih dari keterkaitan dengan prostitusi atau bahkan yang diduga dapat bersinggungan dengannya.
Kevin Rudd, mantan Perdana Menteri Australia, saat maju menjadi pimpinan Labour Party di Asutralia, yang sekaligus akan bersaing menjadi Perdana Menteri 2007 isu-isu tentang ia pernah menikmati hiburan striptease di New York US tetap bisa digunakan sebagai wacana untuk menjatuhkan dan menggerus suara pemilih.
Bagi Amerika Serikat juga sama, tahun 2012 Top Leader Secret Service Amerika Serika langsung diberhentikan karena terlibat prostitusi di Kamboja. Hal yang sama juga terjadi pada seorang komandan kapal selam pertahanan Amerika Serikat di Filipina karena menggunakan jasa penari striptease sebagai penghibur di kapal yang dipimpinnya.
Artinya data-data ini menunjukkan bahwa secara global pun meski prostitusi dan segala bentuk transaksi mesum dan seksual terjadi, namun tidak ada kelompok sosial yang mau menerimanya dan mengakui bahwa mereka bagian dari pendukungnya.
Dampak Sosial dan Penyakit Biologis
Prostitusi telah meresahkan masyarakat dan merusak tatanan sosial. Dalam perspektif kesehatan, prostitusi juga telah berperan dalam menularkan penyakit kelamin dan HIV/AIDS. Data-data terakhir Kemenkes tahun 2016 dan 2017 menyebutkan bahwa terjadi peningkatan kasus HIV/AIDS di Indonesia, terutama pada populasi kunci WPS dan pelanggannya.
Maraknya pornografi, secara tidak langsung meningkatkan jumlah pelanggan WPS, karena dengan pornografi telah meningkatkan hasrat seksual dan mencari WPS sebagai pelampiasannya.
Banyak penelitian, dan juga yang penulis lakukan menunjukkan WPS umumnya tergantung secara ekonomi dengan transaksi seksualnya, sehingga posisi tawarnya menjadi rendah dan hubungan seksual pada prostitusi umumnya tidak aman dan beresiko sebagai penularan penyakit.
Penulis adalah Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (Unand) Padang