Jakarta, (Antaranews Sumber) - Asian Games ke 18 di cabang Tenis Meja memang masih akan berlangsung hingga Sabtu (1/9), namun petenis meja Indonesibaik di kelompok putra maupun putri kalah jauh kemampuannya dibanding petenis meja dari negara kuat di Asia seperti China, Korea Selatan, Korea Utara, Chinese Taipei, Jepang, India dan Hongkong.
Bahkan di level Asia Tenggara sekalipun, petenis meja Indonesia masih tertinggal dibanding Singapura, Thailand dan Vietnam. Untuk dilevel Asia Tenggara Indonesia hanya sedikit lebih baik dibanding Laos, Myanmar dan Kamboja.
Bila dirunut ke belakang, Indonesia pernah punya pemain hebat di tahun 1970-an yaitu Sugeng Utomo, pemain dengan tipe bertahan ini pernah masuk peringkat 16 besar dunia, begitu juga di kelompok putri ada Beatrix Pieters. Pada tahun 1980-an ada Anton Suseno, petenis meja setipe dengan Sugeng sukses bermain di liga tenis meja Swedia sebagai atlet profesional.
Di tahuan 1990-an petenis meja Indonesia bahkan pernah menyapu bersih tujuh medali emas Sea Games melalui Rossy Pratiwi Dipoyanti dan kawan-kawan. Dominasi itu baru terhenti setelah Singapura mulai melakukan naturalisasi petenis meja China sebagai warga negaranya ditambah negara Asean lainnya terus meningkat kemampuan petenis mejanya.
Di Era kepengurusan PP PTMSI yang dikomandoi oleh Komjen (Pur) Oegroseno, prestasi petenis meja Indonesia sebenarnya secara signifikan mulai menggeliat, meski geliatnya masih malu-malu. Bila prestasi Sea Games yang jadi acuan maka dari sebelumnya nol medali pada Sea Games 2013, pada 2015 pecah telur dengan meraih satu perunggu dan 2017 dengan empat perunggu.
"Tidak dapat dipungkiri, selama era saya petenis meja Indonesia mulai terlihat prestasinya, optimisme atlet dan pengurus ada dan mereka yang meraih medali itu adalah atlet yang turun dalam beberapa kali Sea Games terakhir," ujar Oegroseno diwawancarai usai menyaksikan pertandingan tenis meja Asian Games di JI Expo, Kemayoran Jakarta.
Bahkan di Sea Games 2019 di Filipina, Oegro sudah mewanti-wanti agar Indonesia bisa minimal mendapatkan medali perak atau bahkan minimal satu medali emas.
Lantas bagaimana dengan Asian Games yang tengah berlangsung. Prestasi petenis meja putra Indonesia di nomor beregu putra masih jauh dari harapan. Bahkan Indonesia yang tergabung dalam grup 3 bersama Korea Selatan, Hongkong, Yaman, dan Mongolia gagal keluar grup dan hanya berlabuh di urutan ketiga setelah Korea Selatan dan Hongkong, begitu juga di kelompok putri yang kalah dari Korea, Chinese Taipei dan menang dari Laos.
Kekalahan Indonesia diberegu putra cukup telak dengan hanya mendapat satu set dari 10 set pertandingan saat melawan Korea dan Hongkong, namun dibagian putri bisa sedikit lebih baik dengan keberhasilan Rina Sintya menang dari petenis meja putri Chinese Taipei Lin Chiahui meski secara keseluruhan Indonesia kalah 1-3.
Diganda campuran Indonesia yang menurunkan M Bima Abdinegara/Rina Sintya serta Donny Prasetyo Aji/Lilis Handayani takluk dari lawannya. Bima/Rina sempat mencicipi kemenangan atas Monasangsinh/Southtammavong (Laos) 3-0 sebelum kalah dari Lee ansu/Jeon Jihee (Korea) 0-3. Bahkan, Bima mengalami cedera syaraf belakang hingga ditandu dan mesti dirawat inap di RS Pusat Pertamina Jakarta saat pertandingan masih menyisakan satu set lagi.
Pasangan Dony/Lilis dibabak pertama langsung tbang dari Amalraj Anthony/Patkhar Madhurika (India) dengan skor 1-3.
Di nomor perseorangan kiprah petenis meja Indonesia hanya mampu sebatas di 32 besar atau lolos babak pertama melalui pertandingan sistem gugur. Lawan yang dihadapi petenis meja Indonesia di babak 64 besar minim kualitas dan berasal dari negara kecil yaitu Laos dan Nepal.
Di babak 32 besar, ketika atlet Indonesia yang lolos yaitu Kharisma Nur Hawwa, Rina Sintya dan Ficky Supit Santosa terhenti langkahnya. Kharisma dikalahkan Miyu Kato (Jepang) dengan skor 0-4, Rina Sintya juga kalah dari Suh Yoo Won (Korea Selatan) 0-4 dan Ficky Supit dibabat Gnanasekaran Sathiyan (India) 2-4.
Bila dilihat dari capaian itu, kualitas petenis meja Indonesia baik secara teknik, stamina dan strategi masih tertinggal dibanding banyak negara lain di Asia.
Menurut Oegro waktu enam bulan yang digunakan untuk pemusatan latihan di China dengan berbagai program serta mengikutkan petenis meja uji coba di provinsi seputaran China dan Hongkong serta terakhir mengikuti kejuaraan dunia di Swedia sudah cukup untuk menghasilkan petenis meja dengan kemampuan lebih baik dari sebelumnya.
Hanya saja fakta dilapangan hal itu tidak kelihatan. Petenis meja Indonesia main kurang greget menghadapi lawan. Belum terlihat upaya keras untuk menampilkan permainan yang optimal, boro-boro bisa mengalahkan lawan, meraih satu set pun terkadang tidak mampu diraih saat berhadapan dengan Korea maupun Jepang.
"Penampilan di Asian Games ini kita akan coba tingkatkan spirit mereka. Saya bawa mereka ke komunitas tenis meja kelas dunia agar petenis meja jangan merasa rendah diri, merasa negera lain selalu lebih baik dan bermental kecil," jelas mantan Wakapolri itu.
Tapi apakah memang begitu, fakta dilapangan rasa rendah diri itu masih menggumpal di dada atlet Indonesia manakala bermain disaksikan banyak penonton yang berharap Indonesia bisa menyajikan permainan yang bisa memuaskan penonton meski kalah.
Pelatih petenis meja putri Indonesia di Asian Games Haryono Wong menyatakan ada atletnya yang grogi saat bertanding, hingga sulit membedakan apakah servis lawan kosong atau isi. Otomatis pengembalian dilakukan dengan intuisi dan akhirnya pengembalian servis seringkali nyangkut.
Ada juga petenis meja yang sudah merasa inferior duluan sebelum bertanding dan akhirnya dalam beregu ditempatkan di tunggal ketiga. Bila tunggal pertama dan kedua kalah, maka ia akan dapat pemakluman juga manakala ikut kalah.
Mantan petenis meja nasional itu menegaskan ada banyak hal yang perlu dibenahi dan termasuk persoalan mendasar seperti pengembalian servis dan mempunyai servis yang bervariasi. "Kita ingin agar senior-senior yang memiliki servis bagus ikut membantu petenis meja Indonesia dan dengan begitu kemampuan mereka mendeteksi serta cara pengembaliannya akan lebih baik," ujarnya.
Terapkan "Sport Science"
Mengacu pada output masih relatif minimnya perbaikan prestasi petenis meja Indonesia menurut pengamat tenis meja Hanif Rusdji perlu kiranya diterapkan "sport science". Negara Sakura Jepang merupakan contoh bagaimana sport science diterapkan dengan memunculkan petenis meja andal berusia belasan tahun dengan prestasi dunia seperti Tomokazu Harimoto.
Tomokazu mampu menjadi juara ITTF Jepang terbuka di usia 14 tahun dengan mengalahkan juara dunia dan peraih emas tunggal putera olimpiade 2016 Ma Long. Sementara di bagian puteri Ito Mima yang berusia 15 tahun menjadi juara di event yang sama setelah mematahkan hegemoni juara dunia dari China seperti Wang Mangyu, Liu Shiwen dan Ding Ning.
"Jepang mengembangkan tenis meja menggunakan teknologi, ilmu pengetahuan serta keahlian dengan pola yang bertentangan dengan teori lazimnya. Hasilnya bisa terlihat dengan munculnya petenis meja berusia belasan tahun dengan prestasi dunia," ujar Hanif yang juga mantan petenis meja DKI tersebut.
Jepang menurut Hanif betul-betul menerapkan "sport science". Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi pola latihan, makan, gizi, relaksasi, psikologis dan lainnya digunakan sedemikian rupa untuk mendorong prestasi atlet. Saat ini olahraga modern sudah tidak mungkin lagi lepas dari sport science.
Ia menyatakan penerapan sport science perlu segera dilakukan untuk petenis meja di Indonesia. Persoalannya dualisme di kepengurusan organisasi tenis meja akan menghambat perkembangan tenis meja itu sendiri.
"Petenis meja Jepang sudah mengembangkan pola baru dalam hal melakukan chop serta memblok smes lawan dengan cara yang tak lazim hingga menghasilan poin disaat poin kritis, Indonesia sudah harus menerapkan "sport science" agar maju seperti Jepang," ujarnya.
Dalam pandangan Hanif upaya memajukan prestasi petenis meja di Indonesia menghadapi persoalan komplek tidak hanya masalah teknis namun juga nonteknis, namun ia yakin melalui program pembinaan dan kepengurusan yang tepat Indonesia akan mampu berbicara ditingkat Asia Tenggara dan bahkan Asia.
Perlunya penerapan sport science dalam memajukan prestasi atlet di Indonesia juga menjadi pemikiran dari pemerintah. Bahkan Wapres meminta Menpora melibatkan praktisi untuk menerapkan sport science melalui penggunaan teknologi dan ilmu keolahragaan.
"Pak Wapres ingin betul-betul prestasi ini harus dikeroyok agar penyiapan atlet ini dilihat secara detil dengan pendekatan ilmu pengetahuan keolahragaan dan teknologi," ujar Menpora Imam Nahrowi.
Upaya kearah itu telah dilakukan dengan melibatkan tiga perguruan tinggi, masing-masing dari Universitas Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Negeri Jakarta, untuk merumuskan program sport science.
Tak hanya itu, Imam juga membuka peluang bagi para atlet dari kalangan mahasiswa ikut andil membantu Indonesia bersinar di Asian Games 2018. Namun, diperlukan pemantauan secara berkala mengingat kondisi atlet bisa berubah setiap saat.
Sport science merupakan disiplin ilmu yang mempelajari penerapan dari prinsip-prinsip ilmiah dan teknik-teknik yang bertujuan untuk meningkatkan prestasi olahraga.
Sebagai ketua induk organisasi tenis meja, Oegroseno telah berupaya sekuat tenaga untuk memajukan prestasi petenis meja Indonesia ditengah persoalan dualisme kepengurusan PP PTMSI dan PB PTMSI.
Di kelompok putri untuk pertama kali sejak 16 tahun terakhir Indonesia pada 2018 ini bisa menembus divisi II dunia.
Ia telah berencana menghidupkan Liga Tenis Meja Indonesia (Litmi) sebagai ajang kompetisi bagi atlet senior danyunior dalam mengaplikasikan hasil latihan serta menghidupkan pembinaan di klub-klub.
"Tahun ini kita akan adakan satu atau dua kali liga. Mestinya Litmi sudah dilaksanakan namun urung disebabkan petenis meja menjalani pemusatan latihan dengan waktu relatif panjang di China," ujarnya sambil menjelaskan dengan adanya liga diharapkan regenerasi atlet tidak terputus dan kegiatan pembinaan di klub-klub akan hidup.
Program lain yang akan dilaksanakan kepengurusan Oegro adalah mengirimkan petenis meja nasional ke kejuaraan di Eropa. Beberapa negara Eropa memiliki petenis meja kelas dunia Jerman, Portugal dan Swedia. "Program ini akan jalan kalau ada kepedulian dan peran pihak swasta," jelasnya.
Komitmen Oegroseno dalam memajukan pertenismejaan di Indonesia cukup bagus. Akankah niat baik itu akan didukung pemangku kebijakan, swasta dan masyarakat, hanya waktu yang bisa menjawab sementara penggemar tenis meja sudah berharap lagu Indonesia berkumandang pada olahraga multievent seperti Sea Games dan Asian Games mendatang.