Jakarta, (Antaranews Sumbar) - Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin menilai, hasil survei yang menyimpulkan elektabilitas Partai Nasdem hanya 2,1 persen menunjukkan partai tersebut gagal meraih "Jokowi effect".
"Padahal, Partai Nasdem gencar memasang sejumlah reklame yang berupaya mengidentikan partai dengan Jokowi," kata Ujang Komarudin, melalui telepon selulernya, di Jakarta, Jumat, menanggapi hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terkait elektabilitas 15 partai politik peserta Pemilu 2019.
Menurut Ujang Komaruddin, upaya Partai Nasdem meningkatkan elektabilitasnya dengan "menjual" popularitas Joko Widodo ternyata tidak memberikan pengaruh apa-apa.
"Jokowi sudah terlanjur identik dengan PDI Perjuangan. Jadi ruang Nasdem untuk mengidentifikasi diri dengan Jokowi menjadi sulit. Karena itu, tidak ada linieritas antara kampanye Partai Nasdem untuk Jokowi, terhadap elektabilitas Nasdem," tuturnya,
Sebaliknya, ucap dia, PDI Perjuangan selaras dengan Joko Widodo yang sama-sama memperjuangkan aspirasi rakyat kecil. "Jokowi juga sering 'blusukan' mendekati wong cilik, sedangkan Nasdem masih terlihat elitis dan tidak identik dengan Jokowi," ujarnya.
Menurut dia, Nasdem menyadari strateginya melalui iklan, misalnya, baliho "Jokowi Presidenku Nasdem Partaiku", tidak berpengaruh terhadap elektabiltas partai. Karena itu, Partai NasDem melakukan strategi lain, yakni merekrut para artis dan membajak kader partai lain yang sudah berada di Senayan.
"Salah satu cara efektif untuk menaikan elektabilitas partai adalah dengan cara merekrut artis sebagai politisi yang sudah populer. Hal itu menjadi wajar karena Nasdem harus lolos lagi ke Senayan," jelasnya.
Ujang menilai, perpindahan politisi ke partai lain itu hal biasa, sehingga banyak artis yang direkrut menjadi caleg dan politisi partai lain ditawari untuk pindah menjadi caleg.
"Hal itu dilakukan karena proses kaderisasi di partai politik tidak berjalan dengan baik. Di sisi lain, pesta demokrasi di Indonesia, seperti pilkada, pemilu legislatif, dan pemilu presiden berbiaya mahal, maka yang dibutuhkan partai adalah figur yang populer dan banyak uang," imbuhnya.
Sebelumnya, LIPI mengumumkan hasil surveinya di Jakarta, Kamis (19/7), terkait elektabilitas 15 partai politik peserta pemilu 2019. Peneliti senior Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, Wawan Ichwanuddin menjelaskan, survei dilakukan pada 19 April hingga 5 Mei 2018 dengan melibatkan sebanyak 2.100 responden di seluruh Indonesia.
"Margin of Error" (MoE) survei plus-minus 2,14 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Hasil survei: 1. PDI Perjuangan 24,1 persen, 2. Golkar 10,2 persen, 3. Partai Gerindra 9,1 persen, 4. PKB 6 persen, 5. PPP 4,9 persen, 6. Partai Demokrat 4,4 persen, 7. PKS 3,7 persen, 8. Perindo 2,6 persen, 9. PAN 2,3 persen, 10. NasDem 2,1 persen, 11. Hanura 1,2 persen, 12. PBB 0,7 persen, 13. Partai Garuda 0,2 persen, 14. PSI 0,2 persen, 15. Partai Berkarya 0,2 persen. (*)
Pengamat nilai partai Nasdem telah gagal meraih "Jokowi effect"
Jokowi sudah terlanjur identik dengan PDI Perjuangan. Jadi ruang Nasdem untuk mengidentifikasi diri dengan Jokowi menjadi sulit. Karena itu, tidak ada linieritas antara kampanye Partai Nasdem untuk Jokowi, terhadap elektabilitas Nasdem