Jangan coblos eks koruptor

id PKPU larangan bekas koruptor ikut pileg,Koruptor kok dibela

Jangan coblos eks koruptor

Ilustrasi - Stop Korupsi (Larasati)

Apabila rakyat mendengar nama Senayan, mungkin yang terbayangkan adalah nama-nama orang "terkenal", seperti Setya Novanto, Irman Gusman, Anas Urbaningrum, Mohammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, serta sejumlah nama lainnya yang terkait dengan masalah korupsi ataupun gratifikasi.

Irman Gusman yang dikenal sebagai mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diseret ke meja hijau oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terbukti menerima uang Rp100 juta dari seseoprang pengusaha yang ingin juga menjadi agen resmi pengimpor gula.

Angelina, Anas, serta Nazaruddin terlibat dalam berbagai kasus proyek "raksasa", seperti pembangunan sarana olahraga di Hambalang, Bogor, Jawa Barat.

Tanpa terasa pada bulan April 2019 akan berlangsung pemilihan anggota DPD, DPR RI, DPRD tingkat I dan II hingga pemilihan presiden wakil presiden yang bakal sangat seru.

Orang-orang yang merasa pantas menjadi wakil rakyat di tingkat nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota mulai "menjajakan diri" agar terpilih ke dalam dalam daftar calon tetap.

Bisa dibayangkan bahwa calon-calon wakil rakyat itu harus memanfaatkan berbagai cara agar tujuan mereka tercapai karena sudah membayangkan betapa empuknya kursi wakil rakyat. Mereka akan mendapat gaji yang jutaan rupiah tiap bulannya, ditambah berbagai fasilitas lainnya yang amat menggiurkan seperti bisa pergi ke luar negeri berkali-kali atau ke daerah-daerah lainnya di Tanah Air.

Akan tetapi, Ketua KPU RI Arief Budiman baru-baru ini telah mengumumkan bahwa orang-orang yang pernah menjadi narapidana korupsi dilarang untuk mencalonkan diri dalam pesta demokrasi tahun depan. Hal tersebut diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.

Yang menarik atau malahan luar biasa anehnya peraturan ini menimbulkan sikap pro dan kontra, artinya ada yang mendukung. Namun, sebaliknya ada juga yang menentang dengan berbagai dalih atau alasan, seperti melanggar hak asasi setiap warga negara Indonesia.

Wakil Ketua KPK RI Basaria Pandjaitan, misalnya, adalah salah satu tokoh masyarakat yang mendukung keluarnya PKPU tersebut. Alasan inspektur jenderal polisi punawirawan itu adalah untuk mencari pekerjaan yang biasa-biasa saja, siapa pun juga orangnya harus mencari surat keterangan berkelakuan baik.

Sebagai seorang jenderal polisi purnawirawan, Basaria sudah berpengalaman tentang masalah pelanggaran hukum oleh siapa pun. Oleh karena itu, tidak heran jika dia menekankan agar orang-orang yang pernah, termasuk dalam kelompok eks koruptor, untuk tidak usah mencoba-coba mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Seorang wakil rakyat tentulah pribadi yang harus lebih baik daripada orang yang diwakilinya.

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Syuro Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid juga melontarkan sikap yang kurang lebih sama. Hidayat yang juga amat dikenal sebagai ulama yang santun dan terhormat mengatakan bahwa PKPU itu dikeluarkan sebagai tindakan pencegahan atau preventif agar tidak terjadi lagi tindakan-tindakan yang amat merugikan rakyat.

Akan tetapi, sebaliknya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Bambang Soesatyo mempunyai sikap atau pandangan yang jauh berbeda dengan Basaria Pandjaitan dan Hidayat Nur Wahid. Bambang Soesatyo mengatakan bahwa KPU seharusnya tidak usah mengeluarkan PKPU larangan tersebut sehingga biarkan rakyat yang menentukan pilihan mereka.

Bambang Soesatyo yang menggantikan Setya Novanto yang terkait kasus korupsi KTP elektronik yang merugikan rakyat tidak kurang dari Rp2,3 triliun mengatakan bahwa rakyat Indonesi adalah orang-orang yang sudah cerdas sehingga KPK tidak perlu mengeluarkan larangan apa pun.

Tentu sah-sah saja jika Bambang Soesatyo dan siapa pun juga mempunyai sikap yang "aneh-aneh" sehingga bertentangan atau berlawananan dengan Basaria ataupun Hidayat Nur Wahid. Akan tetapi, dia lupa bahwa sekitar 69 persen rakyat Indonesia hanya berpendidikan SMP atau bahkan tidak tamat SMP.

Tanpa bermaksud sedikitpun merendahkan atau menganggap enteng mayoritas rakyat Indonesia yang sesama satu bangsa Indonesia itu, perlu disadari oleh Bambang Soesatyo bahwa mayoritas masyarakat Indonesia masih hidup pas-pasan di bidang ekonomi. Mereka harus pontang-panting mencari uang ala kadarnya demi menghidupi keluarganya.

Jika pilkada serentak, 27 Juni 2018, diikuti sekitar 152 juta jiwa, tentu pemilu anggota badan legislatif dan Pilpres 2019 bakal diikuti jauh lebih banyak warga negara Indonesia. Sekali lagi tanpa bermaksud memandang sebelah mata terhadap mayoritas rakyat di Tanah Air, bisa dibilang mereka "tidaklah sepintar atau sehebat" Bambang Soesatyo dan orang- orang lainnya yang menentang PKPU 20/2018.

Koruptor Kok Dibela?

Pemilihan wakil rakyat ataupun pemilihan presiden dan wakil presiden hanya berlangsung setiap 5 tahun sehingga hasil pemilihan itu harus benar-benar menghasilkan anggota DPD, DPR, dan DPRD serta presiden dan wakil presiden yang benar-benar ingin memperjuangkan konstituen atau rakyat yang diwakilinya. Bukan sebaliknya, untuk mencari gaji, apalagi makan "uang haram" dari masyarakat.

Para wakil rakyat ataupun calon pemimpin masa depan perlu menyadari bahwa ekonomi Indonesia selama beberapa tahun mendatang akan masih menghadapi tantangan yang berat mulai dari harga minyak mentah di dunia internasional yang terus bergejolak sehingga sangat memengaruhi ekonomi Indonesia yang kini terpaksa harus mengimpor sekitar 800.000 hingga satu juta barel/hari sehingga disebut "net importir" hingga dolar yang bergejolak hampir setiap saat.

Belum lagi, situasi di dalam negeri sendiri yang kadang kala bergejolak, terutama di bidang politik, sosial, serta adanya gangguan keamanan di beberapa daerah, seperti Provinsi Papua dan Papua Barat.

Apabila nama-nama tokoh wakil rakyat, seperti Setya Novanto, Irman Gusman, Anas Urbaningrum, dan Angelina Sondakh masih terus dikenang masyarakat di Tanah Air hingga hari pencoblosan yang dijadwalkan berlangsung 17 April 2019, bisa saja banyak pemilih yang merasa ragu untuk menggunakan hak pilihnya yang amat konstitusional itu. Belum lagi, kalau nanti ada eks narapidana korupsi yang ingin "melamar" menjadi wakil-wakil rakyat.

Oleh karena itu, PKPU Nomor 20 Tahun 2018 perlu didukung oleh mayoritas rakyat Indonesia, terutama oleh para pemilih pemilu anggota badan legislatif dan Pilpres 2019 karena bisa menjadi titik tolak untuk memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar bersih, dalam arti tidak pernah melakukan korupsi atau "makan" uang rakyat serta juga tidak pernah menerima uang sogokan, misalnya dari pengusaha-pengusaha "nakal".

Bambang Soesatyo dan orang-orang yang menentang PKPU 20 perlu atau bahkan harus menyadari bahwa rakyat ingin memilih wakil-wakil mereka yang amanah, yaitu benar-benar mau mewakili setidaknya 262 juta orang Indonesia dan bukannya eks narapidana korupsi yang pada saat mereka berkuasa tidak memikirkan rakyat tetapi cuma berupaya keras menikmati uang rakyat dan negara dengan cara tidak halal. (*)