DPR ubah pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden menjadi delik aduan

id Arsul Sani

DPR ubah pasal penghinaan  terhadap presiden dan wakil presiden menjadi delik aduan

Anggota Panja RKUHP, Arsul Sani. (Antara)

Ketika penerapannya harus dilihat penjelasan dari pasal tersebut, lihat risalah pembahasan, dan diperkuat doktrin hukum pidana
Jakarta, (Antaranews Sumbar) - Panitia Kerja Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Komisi III DPR tetap memasukkan pasal mengenai penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dengan delik aduan, berbeda dengan pasal yang sudah ada di KUHP lama dan sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

"Yang berbeda itu sifat deliknya, sebelumnya delik umum dan biasa menjadi delik aduan," kata anggota Panja RKUHP Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin.

Arsul mengatakan pasal penghinaan pada presiden dan wakil presiden perlu dijelaskan kepada masyarakat secara jelas bahwa secara norma dasar akan menjadi sesuatu yang berbeda dengan pasal di KUHP sekarang yang sudah dibatalkan MK.

Dia mengatakan kalau tuntutan pasal tersebut harus dihilangkan, maka hal itu tidak masuk akal karena ada bagian lain dari KUHP yang mengatur mengenai pemidanaan terhadap kepala negara atau kepala pemerintahan negara asing yang sedang berkunjung ke Indonesia.

"Kalau menghina kepala negara atau kepala pemerintahan negara lain saja dipidana, lalu (masak,red) menghina kepala negara sendiri diperbolehkan," ujarnya.

Sekretaris Jenderal PPP itu mengatakan, perhatian berbagai elemen masyarakat terkait pasal tersebut harus menjadi masukan sehingga tidak menjadi pasal karet dalam penerapannya.

Hal itu menurut dia agar penegak hukum tidak semaunya sendiri menafsirkan pasal tersebut meskipun deliknya bersifat aduan.

"Ketika penerapannya harus dilihat penjelasan dari pasal tersebut, lihat risalah pembahasan, dan diperkuat doktrin hukum pidana," katanya.

Selain itu Arsul mengatakan Panja RKUHP tidak ingin terburu-buru menyelesaikan pembahasannya agar banyak hal yang menjadi sorotan elemen masyarakat diperhatikan dan didengarkan oleh Panja.

Dia menjelaskan beberapa poin yang menjadi sorotan masyarakat namun belum mendapatkan penjelasan secara menyeluruh seperti larangan menyebarkan alat kontrasepsi.

"Saya dapat pertanyaan misalnya pasal mengenai larangan menyebarkan alat kontrasepsi. Para tenaga kesehatan seperti dokter, bidan, dan dokter menilai mereka bisa dipidana karena pasal itu, padahal tidak," katanya.

Dia menegaskan bahwa pasal tersebut tidak akan mengkriminalisasi tenaga kesehatan seperti dokter dan bidan sehingga masyarakat harus membaca penjelasan pasal tersebut dan membaca risalah pembahasannya. (*)