Padang,(Antara Sumbar) - Gunung Marapi Sumatera Barat merupakan salah satu gunung aktif yang berada di Kabupaten Tanah Datar, Agam dan Kota Padang Panjang dengan sejuta pesonanya yang seolah memanggil-manggil untuk digapai para pecinta alam.
Dengan ketinggian 2.891 meter di atas permukaan laut Gunung Marapi senantiasi ramai dikunjungi para pegiat alam bebas terutama di akhir pekan dan pada hari libur.
Saat pergantian tahun 2016, gunung yang posisinya berada di jalur utama menuju kota wisata Bukittinggi didaki ribuan orang berasal dari Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Bengkulu.
Biasanya para pendaki memilih rute dari Koto Baru Kabupaten Tanah Datar sebabagi titik awal untuk mendaki Marapi dengan waktu tempuh sekitar lima hingga enam jam ke puncak.
Memiliki medan yang cukup terjal, pendaki akan menemui pemandangan hutan yang eksotik dengan lumut hijau serta aroma tanah yang khas. Lazimnya pendaki berangkat sekitar sore hari dan akan sampai di puncak sekitar pukul 22.00 WIB.
Satu jam menjelang puncak para petualang alam akan tiba di kawasan batu cadas dan memilih bermalam untuk kemudian pada paginya melanjutkan perjalanan ke puncak.
Meskipun menjadi primadona para pecinta alam, di sepanjang jalur pendakian hingga ke puncak Gunung Marapi penuh dengan sampah berserakan mulai dari plastik, botol minuman, sandal, hingga bungkus makanan.
Sampah tersebut merupakan ulah para pendaki yang kurang peduli terhadap kebersihan sehingga saat melakukan perjalanan membuang bungkus makanan dan lainnya seenaknya.
Fenomena tersebut membuat salah satu komunitas yang menamakan diri Trashbag Community Daerah Perwakilan Sumbar dari Kabupaten Solok terpanggil untuk membersihkan sampah di gunung dan membawanya turun.
Ketua Trashbag Community DPD Sumbar, Rozi Erdus Chaniago menilai menumpuknya sampah di Gunung Marapi disebabkan rendahnya kesadaran pendaki.
Ia mengatakan masih banyak pendaki yang tidak memiliki kesadaran untuk melakukan kegiatan yang bersifat konservatif. Contoh kecilnya saja tidak mau membawa sampahnya sendiri saat turun gunung.
"Wawasan konservasi dalam pendakian gunung perlu ditingkatkan," kata dia.
Faktor lainnya dari penumpukan sampah di Gunung Marapi disebabkan karena rendahnya keinginan sesama pendaki untuk saling mengingatkan betapa penting membawa sampah turun kembali.
Rozi menyampaikan ada banyak langkah yang dapat dilakukan untuk membersihkan tumpukan sampah itu, mulai dari hal kecil seperti membawa kembali sampah sendiri turun gunung, mengingatkan pendaki gunung lainnya jika membuang atau meninggalkan sampahnya.
"Juga bisa dengan sindiran, ketika mereka membuang sampahnya sembarangan kami langsung memungutnya di depan mereka," kata dia.
Sindiran kecil seperti itu dapat berdampak langsung kepada para pendaki, katanya.
Ia menyebutkan hingga saat ini pihaknya telah melakukan lebih dari 300 kali operasi bersih-bersih di lima gunung yang tersebar di Sumbar, yaitu Gunung Talamau, Marapi, Singgalang, Talang, dan Tandikek.
Operasi bersih-bersih itu ia lakukan bersama komunitasnya yang berjumlah puluhan orang tanpa pamrih dengan harapan seluruh gunung di Sumbar yang menjadi primadona pendaki tidak lagi kotor dan merusak pemandangan.
"Sampah itu tidak hanya merusak pemandangan, namun juga mencemari sumber air dan tumbuhan," ujarnya.
Seharusnya ketika memutuskan mendaki suatu gunung, semuanya harus dipersiapkan secara matang mulai dari fisik hingga hati. Sebab banyak yang harus ditahan, seperti membuang sampah sembarangan, buang air sembarangan, vandalis dan berbicara sembarangan.
Untuk itu ia mengimbau seluruh pendaki gunung di Sumbar dan Indonesia untuk terus menjaga kebersihan, membawa turun sampah dan peduli terhadap lingkungan.
Mari sama-sama kita untuk mengembalikan kelestarian gunung tanpa sampah, membawa sampah turun kembali karena gunung bukan tempat sampah, katanya.
Kesadaran Pribadi
Salah seorang pendaki asal Kabupaten Agam yang telah melakukan aktivitas mendaki sejak Madrasah Aliyah Negeri (MAN) tergabung dalam organisasi Pelajar Islam Pecinta Alam (Pipala) kemudian bergabung dengan kelompok pecinta alam, Yulia Gustina (24) mengatakan, persoalan sampah merupakan masalah bersama. Tidak hanya petugas posko pendakian saja namun juga pendaki yang hampir setiap Sabtu dan Minggu memadati Gunung Marapi.
Yulia menilai selama ini sebagian dari pendaki mempunyai pikiran, sampah adalah tanggung jawab petugas posko pendakian karena sudah membayar biaya administrasi.
"Ini hanya sebagian pendaki, tidak semua," katanya.
Untuk mengatasi hal tersebut, katanya, perlu kesadaran diri masing-masing pendaki. "Kalau pendaki tidak sadar akan kesalahannya maka persoalan ini tidak akan habis," ujarnya.
Ia mencontohkan ketika hendak mendaki gunung, para pendaki harus membawa kantong sampah yang nantinya digunakan untuk tempat sampah masing-masing kelompok.
Atau bisa juga, kata dia, pihak petugas posko pendakian yang menyediakan kantong sampahnya untuk masing-masing kelompok. Nantinya setelah turun gunung pihak petugas posko pendakian memeriksa apakah sampahnya dibawa.
Menurutnya saat ini aktivitas pendakian bukan lagi hal yang sulit dilakukan seperti beberapa tahun silam. Hal itu disebabkan oleh banyaknya film yang dibuat dengan tema pendakian. Mempertontonkan keindahan alam tanpa memperlihatkan bagaimana sulitnya perjuangan menggapai puncak gunung.
Melihat hal itu, kata dia, anak muda turut berbondong-bondong menggeluti hobi baru itu tanpa persiapan yang matang.
"Hal itu yang menyebabkan mereka kaget dan tidak siap dengan keadaan di gunung sehingga membuang sampah pun tidak lagi menjadi perhatian," kata Yulia.
Kebanyakan mereka mendaki gunung dengan tujuan mendapatkan foto-foto bagus seperti yang dilihat di media sosial maupun film.
Untuk itu Yulia mengajak semua pendaki agar memiliki kesadaran mulai dari diri sendiri, mempersiapkan perlengkapan dengan baik dan membawa sampah sendiri turun. Jika sudah ada kesadaran itu, maka sampah yang menumpuk di sana cepat atau lambat juga akan berangsur bersih.
"Jangan berikan tanggung jawab kita kepada orang lain dan gunung bukan tempat sampah," tegasnya. (*)