Jalan Sudirman, Kota Payakumbuh macet total pada Senin dini hari (11/7). Jalan dua arah yang dipisahkan oleh pembatas menuju Riau itu tidak bergerak.
Kendaraan kini berhimpit jadi tiga lajur. Bergerak satu meter, lalu berhentikan lagi untuk waktu 10-15 menit. Pagi esok adalah hari pertama pegawai negeri sipil dan swasta untuk mulai bekerja.
Libur bersama untuk merayakan Idul Fitri 1437 H, sudah usai. Mungkin sebagian besar pemudik di Jalan Sudirman ini ingin segera sampai ke kota asal di Riau untuk bisa hadir di kantor dan bekerja seperti biasa.
Sebelumnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi sudah mengingatkan agar aparatur sipil negara harus hadir tepat waktu pada Senin (11/7) dan tidak boleh mengambil cuti, minimal di pekan pertama usai libur bersama lebaran.
Menteri menilai libur lebaran selama sembilan hari sudah cukup bagi PNS untuk bersilaturahmi dengan keluarga, baik di kota tempat bekerja maupun di kampung halaman.
Jika melihat kondisi arus mudik dan arus balik di Jawa dan Sumatera, juga di daerah lainnya, mungkin perlu difikirkan lagi aturan tentang cuti bersama, cuti pribadi, ijin dan kondisi lainnya.
Belajar dari kondisi kemacetan di Payakumbuh dan juga di kota-kota lain maka perlu antisipasi dari pemudik dan juga pengelola jalan agar lalu lintas bisa lancar dan pemudik bisa sampai ke tujuan sesuai perkiraan.
Informasi dari Google Maps, dari Sudirman jalan sudah macet (merah), lalu terdapat beberapa kilometer yang kuning (padat) dan beberapa yang biru jelang Jembatan Kelok 9 di Jorong Aie Putiah, Nagari Sarilamak, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Kelok 9, masih sekitar 30 km dari Payakumbuh. Belum jelas, mengapa lalu lintas menjadi macet.
Jika, tidak ada kecelakaan maka kemacetan sering disebabkan oleh ulah pengendara sendiri. Jalan padat sehingga laju menjadi lambat adalah biasa.
Namun, perilaku berkendaraan yang tidak sabar membuat arus yang lambat menjadi macet dan macet total jika pengendara yang tidak sabar mengambil jalur berlawanan lalu bersua dengan kenderaan lawannya.
Hari semakin larut, kantuk tidak bisa dikompromikan. Sebagian kendaraan putar balik arah dan mencari hotel untuk menginap.
Seperti lazimnya lebaran dan libur bersama, sebagian hotel di Payakumbuh penuh karena tidak mampu menampung pemudik di arus balik malam ini. Bahkan, Homestay Family yang berada di gang kecil juga penuh.
Sebagian pengendara menjadikan masjid dan pompa bensin sebagai tempat istirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke kota asal di Provinsi Riau.
Masjid dan pompa bensin dijadikan tempat istirahat karena di keduanya terdapat kamar kecil, kamar mandi dan tempat sholat. Kebutuhan keduanya bagi mereka yang sering berjalan jauh adalah hal yang vital.
Sebagian lainnya, memilih rumah makan atau restoran sebagai tempat istirahat. Namun, terdapat kelemahan pada tempat ini, yakni jam buka yang tidak 24 jam, begitu juga pada masjid kecil di jalur mudik.
Kelok 9
Kemacetan jelang Kelok 9, tidak hanya disebabkan oleh pemudik yang ingin kembali ke kota asalnya di Riau, tetapi juga oleh pemudik yang ingin merasakan sensasi berkendaraan di jembatan fenomenal itu.
Jembatan yang menghubungkan Lintas Tengah Sumatera ke Lintas Timur itu menjadi ikon baru sejak diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2013.
Jembatan itu menjadi salah satu tujuan wisata bagi pemudik di Sumatera Barat, disamping Lembah Harau, yakni ngarai yang sudah dikenal sejak jaman Belanda dengan ketinggian tebing hingga 150 meter.
Lembah ini memiliki cagar alam dan suaka margasatwa. Lembah Harau seluas 270,5 hektare/2.705km. Tempat ini ditetapkan sebagai cagar alam sejak 10 Januari 1993 dan menjadi ikon wisata Kabupaten 50 Koto.
Kelok 9 yang lama membentang sepanjang 300 meter di Jorong Aie Putiah, Nagari Sarilamak, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Koto, memiliki tikungan yang tajam dan lebar sekitar 5 meter, berjurang dalam dan diapit oleh dua perbukitan di antara Cagar Alam Air Putih dan Cagar Alam Harau.
Jembatan Kelok 9 melayang sepanjang 2,5 Km, meliuk-liuk enam Kali bolak-balik mendaki menyusuri dua dinding bukit terjal dengan tinggi tiang-tiang beton bervariasi mencapai 58 meter.
Terdiri dari enam jembatan dengan lebar 13,5 meter. Bentang jembatan pertama memiliki panjang 20 meter, bentang kedua 230 meter, dan bentang ketiga 65 meter.
Bentang keempat sepanjang 462 meter, keempat merupakan jembatan jenis pelengkung beton dengan pondasi "bore pile" sedalam 20 meter untuk menahan berat jembatan dan gaya horizontal gempa.
Bentang jembatan kelima memiliki panjang 31 meter dan bentang keenam 156 meter. Kini, jembatan ini menjadi rute tetap pada setiap ajang tahunan balap sepeda Tour de Singkarak.
Jalan Kelok 9 dibangun semasa pemerintahan Hindia Belanda antara tahun 1908-1914. Jalan ini meliuk melintasi Bukit Barisan yang memanjang dari utara ke selatan Sumatera. Hingga kini jalan lama masih digunakan, terutama di saat padat lebaran seperti tahun ini.
Subuh baru saja berlalu. Pompa bensin sudah sepi dari kendaraan yang sejak dini hari tadi parkir berderet.
Semburat jingga tampak di ufuk timur dengan nuansa kuning merah muda. Google Maps menginformasikan bahwa jalan ke Kelok 9 lancar (biru).
Hanya dibutuhkan waktu kurang dari setengah jam, sudah tiba di jembatan tersebut. Udara dingin menyelimuti, menyusup dalam pakaian.
Di kiri jembatan deretan penjual jagung bakar, rebus, mie instan, kopi dan teh. Tenda-tenda ringkih mereka berbaris hingga ke atas bukit.
Pemudik yang tadi malam terhenti lajunya kini mulai memarkir mobil, memanjang, di atas jembatan. Tongkat dikeluarkan. Yuuk.. selfie dan wefie. (*)