Padang (ANTARA) - Saat ini, kenaikan harga cabai terasa lebih pedas dari sambal itu sendiri. Bukan karena lidah tak tahan rasa, tetapi karena hati masyarakat ikut teriris oleh beban harga yang melambung tinggi.

Bulan September 2025 menjadi cermin bagi kita semua. Cermin yang memperlihatkan bahwa inflasi tidak sekadar angka di atas grafik ekonomi, tetapi memperlihatkan denyut kehidupan rakyat di dapur, di ladang, dan di pasar. 

Ketika harga cabai naik, ibu-ibu rumah tangga menakar ulang belanja hariannya, pedagang kecil menahan napas menghadapi pembeli yang mulai mengeluh, sementara petani di lereng-lereng Solok, Agam, dan Tanah Datar hanya bisa bertanya dalam diam, “Mengapa harga naik, tapi kami tak ikut merasakan manisnya?”

Pertanyaan itu adalah panggilan nurani, karena setiap lonjakan harga, ada kisah perjuangan yang tidak selalu tampak. 

Petani yang menanam di bawah terik matahari, pedagang kecil yang berjualan dengan sabar, dan masyarakat yang berjuang menjaga dapur tetap berasap meski harga bahan pangan melonjak.

Rantai Panjang yang Belum Adil

Cabai yang kita beli di pasar bukanlah komoditas sederhana, tapi melewati perjalanan panjang, dari tangan petani yang penuh harap, ke pedagang pengumpul, lalu ke pedagang besar yang mengatur arus pasokan antar wilayah, sebelum akhirnya tiba di tangan konsumen. 

Namun di sepanjang rantai itu, tidak semua mendapatkan porsi yang adil. Petani, yang menanggung risiko paling besar, justru sering berada di posisi paling lemah.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, inflasi Sumatera Barat pada bulan September 2025 meningkat cukup signifikan dibanding bulan sebelumnya, dan penyumbang utamanya adalah cabai merah. 

Ironisnya, Nilai Tukar Petani Hortikultura justru turun dari 122,89 pada Agustus menjadi 120,89 di bulan September. Angka ini memberi pesan penting, bahwa kenaikan harga cabai tidak dinikmati oleh petani kita. 

Ada ketimpangan yang harus kita benahi bersama, agar kesejahteraan tidak hanya mengalir ke ujung rantai pasok, tetapi juga ke tangan mereka yang menanam dengan penuh harap.

Cermin Bagi Kita Semua

Inflasi bukan sekadar persoalan ekonomi, tapi cermin bagi keadilan sosial dan ketangguhan sistem kita. Ketika inflasi tinggi, yang diuji bukan hanya kebijakan fiskal atau moneter, tetapi juga rasa empati, solidaritas, dan kemampuan kita bekerja dalam satu irama. 

Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat bersama Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) tidak akan tinggal diam. Kita bergerak bukan karena tekanan angka, tetapi karena tanggung jawab moral kepada rakyat.Kami sedang memperkuat kelembagaan petani agar mereka tidak sendirian menghadapi pasar. 

Kami mempercepat digitalisasi informasi harga agar petani tahu kapan waktu terbaik menjual dan di mana harga tertinggi berada. 

Kami akan segera membangun fasilitas rantai dingin di daerah sentra produksi seperti Solok, Agam, Tanah Datar, dan Padang Panjang, agar petani tidak terpaksa menjual tergesa-gesa saat panen raya. 

Kami juga terus mendorong kemitraan langsung antara kelompok tani dengan pasar modern dan industri olahan sambal atau saus, agar harga dan pasar menjadi lebih pasti.

Namun semua langkah itu tidak akan berarti tanpa kebersamaan. Inflasi adalah musuh bersama, dan melawannya tidak bisa dilakukan oleh satu instansi atau satu kepala daerah saja.

Kepada seluruh Bupati dan Wali Kota se-Sumatera Barat, saya mengajak dengan sepenuh hati, mari kita bergerak dalam satu irama. Mari jadikan TPID daerah bukan sekadar forum koordinasi, tetapi aksi nyata di lapangan. Perkuat kolaborasi antara daerah sentra produksi dan daerah konsumsi. 

Jika Solok, Agam, dan Tanah Datar menjadi dapur cabai Sumatera Barat, maka Padang, Payakumbuh, Bukittinggi, dan Pariaman adalah ruang pasarnya. 

Koordinasi yang cepat, saling berbagi data stok dan distribusi, akan menjadi kunci untuk menahan gejolak harga.Tidak ada satu kabupaten atau kota yang bisa menanggung inflasi sendirian. Tetapi bersama-sama, kita bisa menjadikannya peluang untuk membangun sistem pangan yang lebih kuat, lebih adil, dan lebih tangguh.

Kepada dinas-dinas provinsi yang berperan langsung, Dinas Ketahanan Pangan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Perkebunan dan Hortikultura, serta Dinas Koperasi dan UKM, saya minta bekerja tidak dalam sekat sektoral, tetapi dalam satu kesatuan visi. 

Kita harus hadir bukan hanya sebagai pelaksana program, melainkan sebagai penggerak ekosistem ekonomi rakyat. 

Dinas Ketahanan Pangan segera memperkuat ketersediaan dan stabilitas stok, Dinas Perindustrian dan Perdagangan harus memastikan kelancaran distribusi dan transparansi harga, Dinas Perkebunan dan Hortikultura lakukan percepatan mendorong produktivitas serta keberlanjutan di hulu, dan Dinas Koperasi UMKM segera perkuat program memberdayakan kelembagaan ekonomi rakyat agar petani memiliki kekuatan tawar yang nyata.

Setiap dinas harus bekerja dengan semangat kebersamaan, tidak hanya dalam mengendalikan harga, tapi juga membangun sistem pangan yang berkeadilan.

Momentum Perubahan

Pedasnya harga cabai hari ini menyadarkan kita betapa pentingnya kemandirian pangan.

Inflasi ini bukan sekadar ujian, tetapi harus kita jadikan kesempatan untuk memperbaiki arah pembangunan ekonomi kita, dari ekonomi yang hanya berfokus pada angka, menjadi ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Saya percaya, masyarakat Sumatera Barat memiliki semangat yang tidak mudah patah. Kita adalah masyarakat yang terbiasa bangkit dari tantangan. Nilai-nilai budaya kita mengajarkan: “Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang.” Dalam kesulitan, kita memilih untuk berbagi beban. 

Dalam krisis, kita bergerak bersama.

Maka mari kita hadapi pedasnya harga cabai ini dengan kesadaran baru, setiap gejolak harga adalah panggilan untuk memperkuat solidaritas, memperdalam empati, dan mempercepat kerja nyata. Ketika petani kita kuat, pasar stabil, dan masyarakat tenang, maka ekonomi tumbuh secara lebih adil dan bijak.

Mari kita bergerak dari nagari, dari ladang cabai, dari dapur rakyat, menuju Sumatera Barat yang lebih sejahtera dan berkeadilan. 

Harus kita pahami pada setiap butir cabai yang tumbuh di tanah kita, tersimpan doa, kerja keras, dan masa depan ekonomi rakyat yang harus kita jaga bersama. 

Dan semoga dari setiap rasa pedas yang kita rasakan hari ini, tumbuh tekad yang lebih kuat untuk membangun Sumatera Barat yang tangguh, berdaulat, dan berkeadilan bagi semua.*

Penulis : Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi Ansharullah.


Pewarta : .
Editor : Miko Elfisha
Copyright © ANTARA 2025