Padang Aro (ANTARA) - Bawaslu Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat penyebaran berita hoax dan ujaran kebencian pada Pemilihan serentak 2024 terutama pada media sosial.
"Kami sudah membuka posko aduan baik di Bawaslu maupun di Kecamatan dan berharap organisasi masyarakat dan kepemudaan di Solok Selatan untuk lebih berperan dalam menyeimbangkan ide dan gagasan pemilu damai khususnya kampanye di media sosial," kata Divisi Hukum, Pencegahan, Parmas dan Humas Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Solok Selatan Haikal saat sosialisasi pengawasan partisipatif kepada berbagai ormas, di Hotel Pesona Alam Sangir, di Padang Aro, Senin.
Dia mengatakan, tahapan kampanye sudah 12 berjalan untuk Pemilihan Serentak Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat dan pemilihan Bupati dan wakil bupati Solok Selatan tahun 2024 ini.
Kampanye sebagai sarana penyampaian ide guna meyakinkan pemilih sudah berevolusi bukan hanya di ranah fisik dengan pertemuan tatap muka, tetapi lebih dari itu, pertempuran ide dan gagasan juga akan banyak terjadi di dunia maya, khususnya di media sosial.
Era digital telah membuat arus informasi mengalir begitu deras, di mana batasan antara fakta dan fiksi kerap kali menjadi kabur.
Dia menyebutkan, data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Monash University dalam pengamatan mereka selama pileg 2024 ada 1,5 juta teks berbicara tentang pemilu dan sekitar 200 teks tersebut bernuansa ujaran kebencian.
Sumber paling banyak untuk ujaran kebencian katanya, yaitu Facebook 56,8 persen, Twitter yang sekarang dikenal dengan X 36,3 persen Instagram 6,6 persen serta artikel 0,22 persen.
"Dari data yg disajikan oleh AJI tersebut dapat disimpulkan bahwa ujaran kebencian dan segala turunannya itu lebih banyak di percakapan antara pengguna medsos dibandingkan artikel," ujarnya.
Menurutnya, media sosial dengan algoritma yang cenderung memperkuat bias pengguna, menciptakan ruang di mana orang-orang hanya mendengar informasi yang sesuai dengan pandangan mereka sendiri.
Akibatnya, terjadi fragmentasi sosial yang makin nyata perbedaan pandangan politik tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang wajar, melainkan dipandang sebagai ancaman yang membahayakan.
Dengan pola algoritma sperti itu, para pengguna medsos hanya mendapat asupan informasi sepihak dan bahkan sampai mereka anggap ini adalah kebenaran yang mutlak.
Pilkada 2024 katanya, seharusnya bisa menjadi momen untuk mendesain ulang pola interaksi politik di media sosial.
"Melalui pendekatan yang lebih damai dan produktif, media sosial dapat dimanfaatkan sebagai instrumen untuk membangun kesadaran politik yang sehat, mendukung dialog yang konstruktif dan menjadi wahana pendidikan politik yang lebih inklusif," ujarnya.
Kepala Dinas Informatika dan Komunikasi Solok Selatan Firdaus Firman mengatakan, fenomena hoax pasti akan berkembang apalagi saat Pemilihan serentak.
"Hoax merusak pikiran masyarakat terutama saat pilkada sehingga Bawaslu perlu menyediakan sarana yang mudah untuk di akses masyarakat," ujarnya.
"Kami sudah membuka posko aduan baik di Bawaslu maupun di Kecamatan dan berharap organisasi masyarakat dan kepemudaan di Solok Selatan untuk lebih berperan dalam menyeimbangkan ide dan gagasan pemilu damai khususnya kampanye di media sosial," kata Divisi Hukum, Pencegahan, Parmas dan Humas Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Solok Selatan Haikal saat sosialisasi pengawasan partisipatif kepada berbagai ormas, di Hotel Pesona Alam Sangir, di Padang Aro, Senin.
Dia mengatakan, tahapan kampanye sudah 12 berjalan untuk Pemilihan Serentak Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat dan pemilihan Bupati dan wakil bupati Solok Selatan tahun 2024 ini.
Kampanye sebagai sarana penyampaian ide guna meyakinkan pemilih sudah berevolusi bukan hanya di ranah fisik dengan pertemuan tatap muka, tetapi lebih dari itu, pertempuran ide dan gagasan juga akan banyak terjadi di dunia maya, khususnya di media sosial.
Era digital telah membuat arus informasi mengalir begitu deras, di mana batasan antara fakta dan fiksi kerap kali menjadi kabur.
Dia menyebutkan, data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Monash University dalam pengamatan mereka selama pileg 2024 ada 1,5 juta teks berbicara tentang pemilu dan sekitar 200 teks tersebut bernuansa ujaran kebencian.
Sumber paling banyak untuk ujaran kebencian katanya, yaitu Facebook 56,8 persen, Twitter yang sekarang dikenal dengan X 36,3 persen Instagram 6,6 persen serta artikel 0,22 persen.
"Dari data yg disajikan oleh AJI tersebut dapat disimpulkan bahwa ujaran kebencian dan segala turunannya itu lebih banyak di percakapan antara pengguna medsos dibandingkan artikel," ujarnya.
Menurutnya, media sosial dengan algoritma yang cenderung memperkuat bias pengguna, menciptakan ruang di mana orang-orang hanya mendengar informasi yang sesuai dengan pandangan mereka sendiri.
Akibatnya, terjadi fragmentasi sosial yang makin nyata perbedaan pandangan politik tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang wajar, melainkan dipandang sebagai ancaman yang membahayakan.
Dengan pola algoritma sperti itu, para pengguna medsos hanya mendapat asupan informasi sepihak dan bahkan sampai mereka anggap ini adalah kebenaran yang mutlak.
Pilkada 2024 katanya, seharusnya bisa menjadi momen untuk mendesain ulang pola interaksi politik di media sosial.
"Melalui pendekatan yang lebih damai dan produktif, media sosial dapat dimanfaatkan sebagai instrumen untuk membangun kesadaran politik yang sehat, mendukung dialog yang konstruktif dan menjadi wahana pendidikan politik yang lebih inklusif," ujarnya.
Kepala Dinas Informatika dan Komunikasi Solok Selatan Firdaus Firman mengatakan, fenomena hoax pasti akan berkembang apalagi saat Pemilihan serentak.
"Hoax merusak pikiran masyarakat terutama saat pilkada sehingga Bawaslu perlu menyediakan sarana yang mudah untuk di akses masyarakat," ujarnya.