Padang (ANTARA) - Malam puncak Galanggang Arang #4 tampil di Kayutanam, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Berbagai tradisi seni budaya warisan anak nagari di Padang Pariaman dan Pariaman, secara kebudayaan ditampilkan. Ada Kesenian Indang dari Komunitas Tradisi Padang Pariaman, Silek Bungo Rimbo Panjang, Randai dari Sanggar Umbuik Mudo.
Selain itu juga ada pertunjukan Seni Katumbak oleh Eri Susanti, dan Pertunjukan Kureta Mandaki oleh 154 penabuh Gandang, dari 21 Sanggar Gandang Tambua Tansa se Padang Pariaman. Keseluruhannya merupakan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
Ada juga pertunjukan musik dari Sanggar Seni Dayung-Dayung dan Orkes Taman Bunga. Mereka ikut serta menarasikan tentang ingatan kolektif soal Warisan Budaya Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS).
Kemudian ada Anduang Rosmailini (92 tahun), seniman Orkes tahun 1950 – 1970-an, ikut juga menampilkan tutur dan senandung kereta, tentang kecelakaan kereta api Lembah Anai tahun 1944 dan 1945. Lagu itu merupakan ciptaan dari Boestanoel Arifin Adam.
Kurator Galanggang Arang, Mahatma Muhammad, mengatakan Tragedi Lembah Anai menyoroti betapa rentannya kehidupan masyarakat, yang bergantung pada infrastruktur yang dibangun bukan untuk kepentingan mereka, tetapi untuk mengeksploitasi sumber daya mereka.
“Kayutanam merupakan titik ke 4 penyelenggaraan Galanggang Arang 2024, setelah pembukaan di Kota Padang, dilanjut ke Kota Solok dan Sawahlunto. Helatan di Stasiun Kayutanam diadakan pada tanggal 19 dan 20 Juli,” katanya.
Ia menyebutkan pada tahun kedua, helatan ini fokus menggali lapisan sejarah, dan ingatan kolektif masyarakat yang kompleks di balik WTBOS.
“Memori kolektif masyarakat di sepanjang jalur kereta api mencerminkan hubungan yang kompleks antara masa lalu kolonial dan kehidupan sehari-hari mereka pasca kolonial. Kereta api uap membawa batubara sekaligus kenangan akan kehidupan masa lalu, baik manis maupun pahit,” katanya.
Ia menyebutkan, akhir abad ke 19, batubara di Ombilin Sawahlunto ditemukan dan dieksploitasi oleh kolonial Belanda. Sayangnya Infrastruktur kereta api mulanya dibangun untuk menunjang distribusi hasil eksploitasi, bukan untuk kepentingan masyarakat lokal. Pembangunan yang memaksa beribu-ribu tenaga kerja paksa, harus bekerja dalam kondisi buruk dan tidak manusiawi.
“Di balik pengakuan dunia dan upaya merawat warisan budaya ini, terdapat kisah derita nenek moyang kita. Hal itu menuntut kita untuk mengungkap dan menceritakan kembali sejarah yang sesungguhnya. Bukan hanya mengenang, tapi juga menghormati dan memberi pengakuan yang layak atas perjuangan mereka. Stasiun Kayutanam yang kini jadi salah satu ikon penting dari WTBOS, adalah saksi bisu masa kelam tersebut,” jelas pendiri kelompok seni Nan Tumpah ini.
Menurutnya generasi saat ini, harus melihat masa lalu dengan kacamata yang kritis, jika ingin membaca narasi lokal dan mengupayakan dekolonialisasi.
“Kita harus mengakui warisan yang dirayakan hari ini adalah hasil perjuangan dan penderitaan masa lalu. Dengan kesadaran ini, kita bisa merajut paco-paco (perca-perca) dari narasi lokal yang kerap kali terabaikan dan membangun masa depan yang lebih baik,” jelasnya..
Stasiun yang awalnya penuh ingatan pelik soal eksploitasi kolonial, bertransformasi menjadi lokasi perhelatan warisan budaya lokal.
Hal ini adalah upaya agar narasi awal yang penuh penderitaan, bisa jadi kekuatan untuk membangun cerita tentang perjuangan dan kebanggaan di masa depan.
Bagi Mahatma, tema Galanggang Arang 2024 yakni Anak Nagari Merawat Warisan Dunia, merupakan refleksi penting di tengah tatanan budaya yang terus berkembang di Sumatera Barat.
“Masyarakat dan komunitas anak nagari tidak cukup sebagai penonton, namun harus terlibat aktif dalam penyelenggaraan. Karenanya dua kali pelaksanaan Galanggang Arang Kayutanam, sebagian besar yang terlibat adalah anak nagari di Padang Pariaman,” katanya..
Ia berharap, helatan budaya ini bisa terus bertransformasi menjadi Alek Nagari yang berkelanjutan, yang dibutuhkan dan dikelola secara gotong-royong oleh anak nagari sepenuhnya.
Sementara itu, Ketua Pokja Galanggang Arang, Yayuk Sri Budi Rahayu, yang hadir pada acara tersebut menyampaikan apresiasinya. Menurutnya helatan ini layaknya pesta rakyat, karena antusias masyarakat tampak begitu besar.
“Beragam potensi berhasil digerakan secara gotong royong oleh masyarakat. Semua komunitas dari penjuru kabupaten tersentuh, dan menyadari bahwa ini adalah kepemilikan bersama. Anak muda punya panggung kreativitas sembari belajar dan merawat kearifan lokal mereka. Sesungguhnya, inilah semangat dari Galanggang Arang,” sebutnya.
Yayuk berkomitmen akan terus mendorong agar Bupati dan Sekda Padang Pariaman, melanjutkan helatan ini menjadi agenda tahunan. Selain juga pihak KAI agar areal KAI, bisa diaktivasi sebagai ruang publik permanen
Pembukaan acara malam puncak Galanggang Arang #4 Kayutanam, ditandai dengan menabuh gandang tambuah secara bersamaan, oleh perwakilan perangkat daerah dan kementerian bersama para kurator Galanggang Arang.
Selain pergelaran seni, malam itu juga ada penyerahan sertifikat 61 Cagar Budaya 2023, kepada Pemilik Cagar Budaya Pemeringkatan Kabupaten Padang Pariaman.
Berbagai tradisi seni budaya warisan anak nagari di Padang Pariaman dan Pariaman, secara kebudayaan ditampilkan. Ada Kesenian Indang dari Komunitas Tradisi Padang Pariaman, Silek Bungo Rimbo Panjang, Randai dari Sanggar Umbuik Mudo.
Selain itu juga ada pertunjukan Seni Katumbak oleh Eri Susanti, dan Pertunjukan Kureta Mandaki oleh 154 penabuh Gandang, dari 21 Sanggar Gandang Tambua Tansa se Padang Pariaman. Keseluruhannya merupakan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
Ada juga pertunjukan musik dari Sanggar Seni Dayung-Dayung dan Orkes Taman Bunga. Mereka ikut serta menarasikan tentang ingatan kolektif soal Warisan Budaya Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS).
Kemudian ada Anduang Rosmailini (92 tahun), seniman Orkes tahun 1950 – 1970-an, ikut juga menampilkan tutur dan senandung kereta, tentang kecelakaan kereta api Lembah Anai tahun 1944 dan 1945. Lagu itu merupakan ciptaan dari Boestanoel Arifin Adam.
Kurator Galanggang Arang, Mahatma Muhammad, mengatakan Tragedi Lembah Anai menyoroti betapa rentannya kehidupan masyarakat, yang bergantung pada infrastruktur yang dibangun bukan untuk kepentingan mereka, tetapi untuk mengeksploitasi sumber daya mereka.
“Kayutanam merupakan titik ke 4 penyelenggaraan Galanggang Arang 2024, setelah pembukaan di Kota Padang, dilanjut ke Kota Solok dan Sawahlunto. Helatan di Stasiun Kayutanam diadakan pada tanggal 19 dan 20 Juli,” katanya.
Ia menyebutkan pada tahun kedua, helatan ini fokus menggali lapisan sejarah, dan ingatan kolektif masyarakat yang kompleks di balik WTBOS.
“Memori kolektif masyarakat di sepanjang jalur kereta api mencerminkan hubungan yang kompleks antara masa lalu kolonial dan kehidupan sehari-hari mereka pasca kolonial. Kereta api uap membawa batubara sekaligus kenangan akan kehidupan masa lalu, baik manis maupun pahit,” katanya.
Ia menyebutkan, akhir abad ke 19, batubara di Ombilin Sawahlunto ditemukan dan dieksploitasi oleh kolonial Belanda. Sayangnya Infrastruktur kereta api mulanya dibangun untuk menunjang distribusi hasil eksploitasi, bukan untuk kepentingan masyarakat lokal. Pembangunan yang memaksa beribu-ribu tenaga kerja paksa, harus bekerja dalam kondisi buruk dan tidak manusiawi.
“Di balik pengakuan dunia dan upaya merawat warisan budaya ini, terdapat kisah derita nenek moyang kita. Hal itu menuntut kita untuk mengungkap dan menceritakan kembali sejarah yang sesungguhnya. Bukan hanya mengenang, tapi juga menghormati dan memberi pengakuan yang layak atas perjuangan mereka. Stasiun Kayutanam yang kini jadi salah satu ikon penting dari WTBOS, adalah saksi bisu masa kelam tersebut,” jelas pendiri kelompok seni Nan Tumpah ini.
Menurutnya generasi saat ini, harus melihat masa lalu dengan kacamata yang kritis, jika ingin membaca narasi lokal dan mengupayakan dekolonialisasi.
“Kita harus mengakui warisan yang dirayakan hari ini adalah hasil perjuangan dan penderitaan masa lalu. Dengan kesadaran ini, kita bisa merajut paco-paco (perca-perca) dari narasi lokal yang kerap kali terabaikan dan membangun masa depan yang lebih baik,” jelasnya..
Stasiun yang awalnya penuh ingatan pelik soal eksploitasi kolonial, bertransformasi menjadi lokasi perhelatan warisan budaya lokal.
Hal ini adalah upaya agar narasi awal yang penuh penderitaan, bisa jadi kekuatan untuk membangun cerita tentang perjuangan dan kebanggaan di masa depan.
Bagi Mahatma, tema Galanggang Arang 2024 yakni Anak Nagari Merawat Warisan Dunia, merupakan refleksi penting di tengah tatanan budaya yang terus berkembang di Sumatera Barat.
“Masyarakat dan komunitas anak nagari tidak cukup sebagai penonton, namun harus terlibat aktif dalam penyelenggaraan. Karenanya dua kali pelaksanaan Galanggang Arang Kayutanam, sebagian besar yang terlibat adalah anak nagari di Padang Pariaman,” katanya..
Ia berharap, helatan budaya ini bisa terus bertransformasi menjadi Alek Nagari yang berkelanjutan, yang dibutuhkan dan dikelola secara gotong-royong oleh anak nagari sepenuhnya.
Sementara itu, Ketua Pokja Galanggang Arang, Yayuk Sri Budi Rahayu, yang hadir pada acara tersebut menyampaikan apresiasinya. Menurutnya helatan ini layaknya pesta rakyat, karena antusias masyarakat tampak begitu besar.
“Beragam potensi berhasil digerakan secara gotong royong oleh masyarakat. Semua komunitas dari penjuru kabupaten tersentuh, dan menyadari bahwa ini adalah kepemilikan bersama. Anak muda punya panggung kreativitas sembari belajar dan merawat kearifan lokal mereka. Sesungguhnya, inilah semangat dari Galanggang Arang,” sebutnya.
Yayuk berkomitmen akan terus mendorong agar Bupati dan Sekda Padang Pariaman, melanjutkan helatan ini menjadi agenda tahunan. Selain juga pihak KAI agar areal KAI, bisa diaktivasi sebagai ruang publik permanen
Pembukaan acara malam puncak Galanggang Arang #4 Kayutanam, ditandai dengan menabuh gandang tambuah secara bersamaan, oleh perwakilan perangkat daerah dan kementerian bersama para kurator Galanggang Arang.
Selain pergelaran seni, malam itu juga ada penyerahan sertifikat 61 Cagar Budaya 2023, kepada Pemilik Cagar Budaya Pemeringkatan Kabupaten Padang Pariaman.