Padang (ANTARA) - Penyair Indonesia Iyut Fitra mengatakan, puisi merupakan ibu sastra karena tidak semua pembuat karya sastra dapat menulis puisi.
"Ini barangkali adalah narsistik kepenyairan, bahwa puisi itu ibu dari sastra, setiap penyair akan sangat gampang menulis prosa, cerpen, novel, tapi tidak semua prosais bisa menulis puisi," kata Iyut Fitra saat workshop sastra di Gedung Kebudayaan Sumatera Barat di Padang, Selasa.
Penyair berusia 56 tahun itu mengatakan, tingkat kesulitan menulis puisi memang berbeda dengan karya sastra lain seperti cerpen atau novel.
"Pada puisi kita hanya memiliki ruang yang sangat sempit, segala topik, tema dan gagasan dipadukan dalam satu-dua lembar, sementara dalam satu tema pada novel, saat 30 lembar kita anggap pembaca belum mengerti, kita bisa meluaskan jadi 50 lembar, dan ketika pembaca belum juga mengerti bisa diperluas lagi sampai 100-200 halaman dan seterusnya," jelas Iyut.
Hal itu tidak terjadi dalam puisi, karena satu topik harus selesai dalam satu lembar.
Di dalam prosa, kata Iyut kita mengatakan kita akan pergi ke pasar, kita akan berleha-leha dulu, hari ini saya pergi ke pasar, menceritakan secara detail.
Tapi dalam puisi tidak bisa seperti itu, hanya saya akan pergi ke pasar, tidak ada penjelasan-penjelasan lain.
"Maka itu, kepaduan dan keutuhan itu yang dibutuhkan dalam puisi bagaimana diksi-diksi yang padat mewakili gagasan yang akan disampaikan," katanya.
Menurutnya untuk menulis puisi tergantung seberapa lama berlatih, sebab semakin lama berlatih, semakin lama berproses, maka penulis akan semakin berfasih dan terbiasa, katanya.
"Apabila orang-orang telah meninggalkan puisi, maka mereka akan hilang rasa cinta," tandasnya.
Iyut Fitra adalah penyair Indonesia sekaligus pendiri komunitas seni Intro yang berasal dari Payakumbuh. Ia telah melahirkan sejumlah buku puisi di antaranya Musim Retak, Baromban, Lelaki dan Tangkai Sapu dan Sinama. [*]
"Ini barangkali adalah narsistik kepenyairan, bahwa puisi itu ibu dari sastra, setiap penyair akan sangat gampang menulis prosa, cerpen, novel, tapi tidak semua prosais bisa menulis puisi," kata Iyut Fitra saat workshop sastra di Gedung Kebudayaan Sumatera Barat di Padang, Selasa.
Penyair berusia 56 tahun itu mengatakan, tingkat kesulitan menulis puisi memang berbeda dengan karya sastra lain seperti cerpen atau novel.
"Pada puisi kita hanya memiliki ruang yang sangat sempit, segala topik, tema dan gagasan dipadukan dalam satu-dua lembar, sementara dalam satu tema pada novel, saat 30 lembar kita anggap pembaca belum mengerti, kita bisa meluaskan jadi 50 lembar, dan ketika pembaca belum juga mengerti bisa diperluas lagi sampai 100-200 halaman dan seterusnya," jelas Iyut.
Hal itu tidak terjadi dalam puisi, karena satu topik harus selesai dalam satu lembar.
Di dalam prosa, kata Iyut kita mengatakan kita akan pergi ke pasar, kita akan berleha-leha dulu, hari ini saya pergi ke pasar, menceritakan secara detail.
Tapi dalam puisi tidak bisa seperti itu, hanya saya akan pergi ke pasar, tidak ada penjelasan-penjelasan lain.
"Maka itu, kepaduan dan keutuhan itu yang dibutuhkan dalam puisi bagaimana diksi-diksi yang padat mewakili gagasan yang akan disampaikan," katanya.
Menurutnya untuk menulis puisi tergantung seberapa lama berlatih, sebab semakin lama berlatih, semakin lama berproses, maka penulis akan semakin berfasih dan terbiasa, katanya.
"Apabila orang-orang telah meninggalkan puisi, maka mereka akan hilang rasa cinta," tandasnya.
Iyut Fitra adalah penyair Indonesia sekaligus pendiri komunitas seni Intro yang berasal dari Payakumbuh. Ia telah melahirkan sejumlah buku puisi di antaranya Musim Retak, Baromban, Lelaki dan Tangkai Sapu dan Sinama. [*]