Padang (ANTARA) -
Cuit.... cuit.....
Cuit... cuit...
Suara peluit panjang samar-samar masih familiar di telinga Wariyem, seorang nenek berusia 71 tahun warga Tangsi Baru, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat.
Wariyem mendengar suara yang sama 48 tahun lalu di memorinya. Hampir setiap minggu, ia dan Si Mbah (neneknya) pergi ke Muara Kalaban, berjalan kaki menembus Lubang Kalam sejauh 828 kilometer membawa obor sebagai penerangan, kemudian pulang menumpang Mak Itam, lokomotif uap seri E 1060 buatan jerman tahun 1965.
"Kalau dulu itu tahun 1975, belum ada ojek, saya jalan kaki dari Muaro Kalaban, pulangnya naik Mak Itam di gerbong terbuka, gratis. Kalau gerbong penumpang bayar, entah 15 perak waktu itu, dan 25 perak yang VIP," kata Wariyem saat ditemui di kedainya, di Sawahlunto, Jumat (1/12).
Saat itu, gerbong penumpang berada di depan sementara gerbong pengangkut batubara berada di belakang.
Selain ke Muaro Kalaban, Wariyem juga suka jalan-jalan naik Mak Itam hingga ke Danau Singkarak dan kota Solok.
Berbeda dengan yang dirasakan Warinem, Kamsri Benti (70), pengusaha homestay di Sawahlunto itu merasakan kenangan manis saat menaiki lokomotif uap.
"Masa itu saya masih anak-anak, kalau sudah masuk lubang kalam, cemat-cemot muka kita, hidungnya hitam, semuanya sudah pada ketawa di atas kereta itu. Lalu karena tidak mau cemat-cemot lagi, kita pun bawa penutup hidung, saputangan," kata Kamsri sambil tertawa mengenangnya.
Mak Itam merupakan lokomotif uap yang mengeluarkan asap hitam saat berjalan, sehingga ketika masuk ke lubang kalam atau terowongan, asap itu masuk ke gerbong dan meninggalkan jejak ke wajah penumpang.
Kamsri juga mengingat saat itu belum ada lampu di dalam gerbong penumpang sehingga harus membawa lilin.
Selain cerita lucu, Kamsri juga memiliki cerita seru saat melancong dengan Mak Itam, salah satunya bisa menikmati jajanan khas masing-masing daerah.
Makanan khas dapat ditemui di sejumlah titik pemberhentian seperti Muara Kalaban, Silungkang, Sungai Lasi, Singkarak, hingga Kacang di Solok.
DI antaranya Ada tebu disajikan dengan lidi, ada telur asin di dalam keranjang kawat, lalu orang jual ale-ale (kue dari tepung beras dan santan).
"Kalau kita masuk ke Silungkang, itu sudah kedengaran ramai di stasiun, Ale,, ale... Ale-ale.... Tidak hanya di kereta saja, tapi di stasiun juga ngumpul orang-orang berjualan. Ketika Mak Itam datang, mereka nyerbu ke dalam menawarkan dagangannya.
Saat kereta masuk ke daerah Silungkang, Kamsri juga menggambarkan suara-suara riuh mesin tenun yang menjadi tanda sudah tiba di sana.
Namun sayangnya, suasana itu sekarang tidak terdengar lagi.
Kemudian saat Mak Itam masuk ke Sungai Lasi, Kabupaten Solok, Kamsri menemukan penjual pisang rebus yang ramai menawarkan lewat jendela gerbong.
Banyaknya penjual pisang rebus menjadi penanda bagi penumpang bahwa mereka sudah tiba di Sungai Lasi.
Lalu saat akan melancong ke Padang Panjang, melewati stasiun Kacang, di Solok, tepian Danau Singkarak.
"Di sana ada jual jeruk manis yang disebut Limau Kacang. Dari solok sepanjang banyak jualan jeruk. Mereka menggunakan tampah dari anyaman lidi. Sangat menarik sekali, jeruk kacang itu wangi, manis, tapi sekarang sudah tidak ditemui lagi," kata Kamsri sambil tertunduk.
Ia sangat ingin peristiwa-peristiwa itu terulang kembali pada zaman sekarang.
Sementara itu, Adjoem (87), warga Sungai Durian Sawahlunto terlihat sedang memotong rumput liar dengan celurit di halaman rumahnya sambil mengisap sebatang rokok.
Tangannya yang renta itu dibalut sarung tangan yang biasa digunakan tukang bangunan. Seluruh rambutnya sudah memutih. Sehabis bekerja membersihkan halaman, Adjoem pergi ke dalam rumahnya mengambil beberapa lembar catatan.
"Dulu selain gerbong batubara, dibuat jugalah gerbong yang pakai atap pada 1924, baru penduduk bisa naik kereta api dari Sawahlunto sampai ke Padang, ada yang belok ke Bukittinggi," kata Adjoem sambil membacakan catatan itu yang ia dapat informasinya dari sang Ayah.
Adjoem yang juga merupakan pensiunan PT Bukit Asam Tbk itu mengisahkan, ia bersama istri dan anak pernah jalan-jalan bersama anak dan keluarganya menggunakan Mak Itam.
"Jalur kereta api dari Padangpanang itu jalurnya bagi dua, satu arah ke Bukittinggi, satu arah ke Padang. Naik Mak Itam itu asiknya bisa jalan-jalan, beli-beli makanan, untuk santai," katanya.
Ia mengatakan hal itu, karena menurut ingatannya, di atas Mak Itam ia bisa makan lontong, pecel, dan berbagai makanan seperti di darat.
Aktivasi jalur warisan dunia Ombilin di Sawahlunto
Galanggang Arang Sawahlunto merupakan titik keenam dari rangkaian pagelaran budaya “Anak Nagari Merayakan Warisan Dunia”, sebagai upaya penguatan ekosistem Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS).
Kota itu ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO sejak tahun 2019 karena jejak sejarah dan budaya yang sangat kaya dan beragam.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Fitra Arda, dalam rilisnya mengatakan bahwa rangkaian Galanggang Arang merupakan langkah awal dalam aktivasi warisan dunia yang terletak di Sumatra Barat ini.
“Galanggang Arang merupakan upaya Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek, bekerja sama dengan UPT, nagari, dan masyarakat dalam melestarikan dan menjaga ekosisten WTBOS khususnya ekosistem budaya,” kata Fitra.
Sejumlah properti penting, katanya, telah dipugar sesuai dengan prinsip pelestarian dan pelindungan, sehingga kota itu pantas disebut dengan World Heritage City.
Properti WTBOS itu terdiri dari Kawasan Tambang Batu Bara Ombilin di Sawahlunto (Zona A), Jalur Kereta Api Ombilin-Emma haven yang melintasi delapan Kabupaten/Kota (Zona B), dan Pelabuhan Emma Haven atau Teluk Bayur (Zona C).
Galanggang Arang dihelat di delapan daerah kabupaten dan kota penyangga WTBOS yang terhubung melalui jalur kereta api, dengan cita-cita memelihara, memanfaatkan, dan mengembangkan potensi Warisan Budaya Dunia.
Lokomotif uap seri E1060 Mak Itam menjadi saksi bisu jalur kereta api tersebut, meskipun kini kondisinya tidak bisa dinyalakan begitu saja karena perawatan dan biaya operasional yang tidak murah.
Lokomotif itu sempat dibawa ke Museum Kereta Api Ambarawa pada tahun 1996, seiring tutupnya perusahaan Batubara Ombilin. Pada 17 Desember 2005, pemerintah daerah bersama kelompok pecinta kereta api mengajukan proposal kepada PT KAI untuk mengembalikan Mak Itam ke Ranah Minang.
Proposal itu diterima dan pada 3 Desember 2007 lokomotif legendaris itu pun kembali ke Sawahlunto sebagai kereta api wisata. Pada 21 Februari 2009, lokomotif itu sempat dijalankan bersama kereta api wisata Danau Singkarak.
Warga Sawahlunto Kamsri Benti yang juga pemerhati pariwisata dan budaya itu berharap kehadiran Mak Itam menjadi daya tarik bagi wisatawan terutama wisatawan asing.
Menurutnya, mungkin di Indonesia saja yang punya lokomotif uap abad ke-18 itu, satu lagi kembarannya di Ambarawa.
"Kalau ini dikemas dengan baik, akan mempunyai nilai jual yang tinggi. Apalagi kita sudah ditetapkan sebagai kota warisan dunia, Kenangan itu harus dibangkitkan kembali dengan kereta api Mak Itam yang sekarang," katanya.
Ia menjelaskan, sensai menaiki Mak Itam tidak hanya menumpang saja ke Muaro Kalaban lalu kembali lagi ke Sawahlunto, atau masuk ke lubang kalam.
Menurutnya hal seperti itu tidak bisa menjadi sebuah daya tarik karena tidak membekas di hati wisatawan.
"Saran saja, bagaimana kita membuat suasana kembali seperti zaman dulu di Mak Itam, menggunakan pakaian zaman dulu, menyajikan kulliner zaman dulu, kita kembalikan sejarah itu sehingga orang naik Mak Itam seakan-akan kembali pada zaman itu. Hal itu akan mempunyai nilai jual tinggi," katanya.
Mantan Masinis Mak Itam, Bukhari mengatakan, lokomotif Mak Itam tetap akan bertahan terus jika dirawat dengan sungguh-sungguh.
"Saya dapat pesan dari seseorang saat membawa Mak Itam dari Ambarawa, pesannya lokomotif uap ini harus betul-betul dirawat, Insyaallah lancar. Kalau merawatnya sambilan tidak bisa," katanya.
Bukhari mengatakan, Mak Itam harus dirawat sungguh-sungguh agar bisa bertahan selama-lamanya.
Ia pernah mendapat pesan, agar menjelang pensiun bisa merawat lokomotif itu. Tapi ia ingin, Mak Itam tetap bertahan sampai dilihat oleh anak-cucunya.
Kalau bisa penerus saya, tolong dirawat Mak Itam ini, betul-betul dirawat. [*]
Cuit.... cuit.....
Cuit... cuit...
Suara peluit panjang samar-samar masih familiar di telinga Wariyem, seorang nenek berusia 71 tahun warga Tangsi Baru, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat.
Wariyem mendengar suara yang sama 48 tahun lalu di memorinya. Hampir setiap minggu, ia dan Si Mbah (neneknya) pergi ke Muara Kalaban, berjalan kaki menembus Lubang Kalam sejauh 828 kilometer membawa obor sebagai penerangan, kemudian pulang menumpang Mak Itam, lokomotif uap seri E 1060 buatan jerman tahun 1965.
"Kalau dulu itu tahun 1975, belum ada ojek, saya jalan kaki dari Muaro Kalaban, pulangnya naik Mak Itam di gerbong terbuka, gratis. Kalau gerbong penumpang bayar, entah 15 perak waktu itu, dan 25 perak yang VIP," kata Wariyem saat ditemui di kedainya, di Sawahlunto, Jumat (1/12).
Saat itu, gerbong penumpang berada di depan sementara gerbong pengangkut batubara berada di belakang.
Selain ke Muaro Kalaban, Wariyem juga suka jalan-jalan naik Mak Itam hingga ke Danau Singkarak dan kota Solok.
Berbeda dengan yang dirasakan Warinem, Kamsri Benti (70), pengusaha homestay di Sawahlunto itu merasakan kenangan manis saat menaiki lokomotif uap.
"Masa itu saya masih anak-anak, kalau sudah masuk lubang kalam, cemat-cemot muka kita, hidungnya hitam, semuanya sudah pada ketawa di atas kereta itu. Lalu karena tidak mau cemat-cemot lagi, kita pun bawa penutup hidung, saputangan," kata Kamsri sambil tertawa mengenangnya.
Mak Itam merupakan lokomotif uap yang mengeluarkan asap hitam saat berjalan, sehingga ketika masuk ke lubang kalam atau terowongan, asap itu masuk ke gerbong dan meninggalkan jejak ke wajah penumpang.
Kamsri juga mengingat saat itu belum ada lampu di dalam gerbong penumpang sehingga harus membawa lilin.
Selain cerita lucu, Kamsri juga memiliki cerita seru saat melancong dengan Mak Itam, salah satunya bisa menikmati jajanan khas masing-masing daerah.
Makanan khas dapat ditemui di sejumlah titik pemberhentian seperti Muara Kalaban, Silungkang, Sungai Lasi, Singkarak, hingga Kacang di Solok.
DI antaranya Ada tebu disajikan dengan lidi, ada telur asin di dalam keranjang kawat, lalu orang jual ale-ale (kue dari tepung beras dan santan).
"Kalau kita masuk ke Silungkang, itu sudah kedengaran ramai di stasiun, Ale,, ale... Ale-ale.... Tidak hanya di kereta saja, tapi di stasiun juga ngumpul orang-orang berjualan. Ketika Mak Itam datang, mereka nyerbu ke dalam menawarkan dagangannya.
Saat kereta masuk ke daerah Silungkang, Kamsri juga menggambarkan suara-suara riuh mesin tenun yang menjadi tanda sudah tiba di sana.
Namun sayangnya, suasana itu sekarang tidak terdengar lagi.
Kemudian saat Mak Itam masuk ke Sungai Lasi, Kabupaten Solok, Kamsri menemukan penjual pisang rebus yang ramai menawarkan lewat jendela gerbong.
Banyaknya penjual pisang rebus menjadi penanda bagi penumpang bahwa mereka sudah tiba di Sungai Lasi.
Lalu saat akan melancong ke Padang Panjang, melewati stasiun Kacang, di Solok, tepian Danau Singkarak.
"Di sana ada jual jeruk manis yang disebut Limau Kacang. Dari solok sepanjang banyak jualan jeruk. Mereka menggunakan tampah dari anyaman lidi. Sangat menarik sekali, jeruk kacang itu wangi, manis, tapi sekarang sudah tidak ditemui lagi," kata Kamsri sambil tertunduk.
Ia sangat ingin peristiwa-peristiwa itu terulang kembali pada zaman sekarang.
Sementara itu, Adjoem (87), warga Sungai Durian Sawahlunto terlihat sedang memotong rumput liar dengan celurit di halaman rumahnya sambil mengisap sebatang rokok.
Tangannya yang renta itu dibalut sarung tangan yang biasa digunakan tukang bangunan. Seluruh rambutnya sudah memutih. Sehabis bekerja membersihkan halaman, Adjoem pergi ke dalam rumahnya mengambil beberapa lembar catatan.
"Dulu selain gerbong batubara, dibuat jugalah gerbong yang pakai atap pada 1924, baru penduduk bisa naik kereta api dari Sawahlunto sampai ke Padang, ada yang belok ke Bukittinggi," kata Adjoem sambil membacakan catatan itu yang ia dapat informasinya dari sang Ayah.
Adjoem yang juga merupakan pensiunan PT Bukit Asam Tbk itu mengisahkan, ia bersama istri dan anak pernah jalan-jalan bersama anak dan keluarganya menggunakan Mak Itam.
"Jalur kereta api dari Padangpanang itu jalurnya bagi dua, satu arah ke Bukittinggi, satu arah ke Padang. Naik Mak Itam itu asiknya bisa jalan-jalan, beli-beli makanan, untuk santai," katanya.
Ia mengatakan hal itu, karena menurut ingatannya, di atas Mak Itam ia bisa makan lontong, pecel, dan berbagai makanan seperti di darat.
Aktivasi jalur warisan dunia Ombilin di Sawahlunto
Galanggang Arang Sawahlunto merupakan titik keenam dari rangkaian pagelaran budaya “Anak Nagari Merayakan Warisan Dunia”, sebagai upaya penguatan ekosistem Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto (WTBOS).
Kota itu ditetapkan sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO sejak tahun 2019 karena jejak sejarah dan budaya yang sangat kaya dan beragam.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Fitra Arda, dalam rilisnya mengatakan bahwa rangkaian Galanggang Arang merupakan langkah awal dalam aktivasi warisan dunia yang terletak di Sumatra Barat ini.
“Galanggang Arang merupakan upaya Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek, bekerja sama dengan UPT, nagari, dan masyarakat dalam melestarikan dan menjaga ekosisten WTBOS khususnya ekosistem budaya,” kata Fitra.
Sejumlah properti penting, katanya, telah dipugar sesuai dengan prinsip pelestarian dan pelindungan, sehingga kota itu pantas disebut dengan World Heritage City.
Properti WTBOS itu terdiri dari Kawasan Tambang Batu Bara Ombilin di Sawahlunto (Zona A), Jalur Kereta Api Ombilin-Emma haven yang melintasi delapan Kabupaten/Kota (Zona B), dan Pelabuhan Emma Haven atau Teluk Bayur (Zona C).
Galanggang Arang dihelat di delapan daerah kabupaten dan kota penyangga WTBOS yang terhubung melalui jalur kereta api, dengan cita-cita memelihara, memanfaatkan, dan mengembangkan potensi Warisan Budaya Dunia.
Lokomotif uap seri E1060 Mak Itam menjadi saksi bisu jalur kereta api tersebut, meskipun kini kondisinya tidak bisa dinyalakan begitu saja karena perawatan dan biaya operasional yang tidak murah.
Lokomotif itu sempat dibawa ke Museum Kereta Api Ambarawa pada tahun 1996, seiring tutupnya perusahaan Batubara Ombilin. Pada 17 Desember 2005, pemerintah daerah bersama kelompok pecinta kereta api mengajukan proposal kepada PT KAI untuk mengembalikan Mak Itam ke Ranah Minang.
Proposal itu diterima dan pada 3 Desember 2007 lokomotif legendaris itu pun kembali ke Sawahlunto sebagai kereta api wisata. Pada 21 Februari 2009, lokomotif itu sempat dijalankan bersama kereta api wisata Danau Singkarak.
Warga Sawahlunto Kamsri Benti yang juga pemerhati pariwisata dan budaya itu berharap kehadiran Mak Itam menjadi daya tarik bagi wisatawan terutama wisatawan asing.
Menurutnya, mungkin di Indonesia saja yang punya lokomotif uap abad ke-18 itu, satu lagi kembarannya di Ambarawa.
"Kalau ini dikemas dengan baik, akan mempunyai nilai jual yang tinggi. Apalagi kita sudah ditetapkan sebagai kota warisan dunia, Kenangan itu harus dibangkitkan kembali dengan kereta api Mak Itam yang sekarang," katanya.
Ia menjelaskan, sensai menaiki Mak Itam tidak hanya menumpang saja ke Muaro Kalaban lalu kembali lagi ke Sawahlunto, atau masuk ke lubang kalam.
Menurutnya hal seperti itu tidak bisa menjadi sebuah daya tarik karena tidak membekas di hati wisatawan.
"Saran saja, bagaimana kita membuat suasana kembali seperti zaman dulu di Mak Itam, menggunakan pakaian zaman dulu, menyajikan kulliner zaman dulu, kita kembalikan sejarah itu sehingga orang naik Mak Itam seakan-akan kembali pada zaman itu. Hal itu akan mempunyai nilai jual tinggi," katanya.
Mantan Masinis Mak Itam, Bukhari mengatakan, lokomotif Mak Itam tetap akan bertahan terus jika dirawat dengan sungguh-sungguh.
"Saya dapat pesan dari seseorang saat membawa Mak Itam dari Ambarawa, pesannya lokomotif uap ini harus betul-betul dirawat, Insyaallah lancar. Kalau merawatnya sambilan tidak bisa," katanya.
Bukhari mengatakan, Mak Itam harus dirawat sungguh-sungguh agar bisa bertahan selama-lamanya.
Ia pernah mendapat pesan, agar menjelang pensiun bisa merawat lokomotif itu. Tapi ia ingin, Mak Itam tetap bertahan sampai dilihat oleh anak-cucunya.
Kalau bisa penerus saya, tolong dirawat Mak Itam ini, betul-betul dirawat. [*]