Jakarta (ANTARA) - Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ronald Tundang mengatakan Indonesia merupakan negara dengan potensi besar untuk menjadi basis industri farmasi di wilayah Asia Tenggara dan untuk itu perlu beralih menjadi industri berbasis inovasi.
“Indonesia perlu memilih kebijakan industri yang tepat dan memperhatikan faktor-faktor yang mendukung kesuksesan. Misalnya menambah anggaran riset dan pengembangan serta menggunakan fleksibilitas pada Hak Kekayaan Intelektual (HKI),” kata Ronald lewat keterangannya di Jakarta, Senin.
Indonesia, lanjutnya, merupakan salah satu proponen pengusul obat dan vaksin COVID-19 sebagai komoditas publik melalui dukungannya atas pengecualian perlindungan HKI untuk obat dan vaksin COVID-19 berdasarkan Perjanjian Hak atas Kekayaan Intelektual yang berhubungan dengan Perdagangan atau Trade-related Intellectual Property Rights Agreement (TRIPs).
Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk mendorong kemandirian industri farmasi, khususnya dalam produksi Bahan Baku Obat (BBO), misalnya melalui kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).
Pemerintah juga mewajibkan penggunaan produk dalam negeri untuk pengadaan barang dan jasa, termasuk melalui skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Kebijakan lainnya yakni insentif fiskal, seperti pengurangan pajak dan pembebasan bea masuk bagi perusahaan farmasi yang akan memproduksi BBO.
Pemerintah dinilai perlu mempersiapkan kebijakan yang dapat digunakan dalam kondisi normal dan kondisi mendesak semisal pandemi. Kebijakan industri, seperti TKDN dan insentif untuk industri BBO, dapat menambah harga obat dalam kondisi mendesak.
“Harga obat yang terjangkau dan kemandirian industri farmasi merupakan dua tujuan penting, namun berbeda. Harga obat yang terjangkau dapat dicapai melalui impor BBO, sesuatu yang bertentangan dengan kemandirian industri farmasi,” kata Ronald.
Kemandirian industri farmasi dalam jangka panjang, lanjutnya, memang dapat membuat harga obat terjangkau. Namun tidak mudah karena dibutuhkan kapabilitas riset dan pengembangan yang tinggi.
Ronald menyampaikan ada beberapa pilihan untuk mengembangkan industri farmasi yang dapat diambil Indonesia.
Pertama, Indonesia bisa mengikuti jejak India dan China dengan memproduksi obat generik atau mengikuti jejak Amerika Serikat dan Swiss menjadi pusat pengembangan riset dan teknologi.
“Sejauh ini Indonesia belum memiliki posisi yang jelas mengenai hal ini,” kata Ronald.
Jika Indonesia memilih opsi pertama, maka strategi yang perlu disiapkan adalah identifikasi obat paten yang akan segera habis masa berlakunya.
Provisi ini membolehkan produsen obat generik di Indonesia meminta izin pemasaran menggunakan obat paten yang masih berlaku. Provisi Bolar ini juga berlaku untuk opsi kedua. Banyak negara menggunakannya untuk kepentingan riset dan pengembangan.
Indonesia belum menjadi pilihan karena belum ada basis industri BBO serta kapasitas riset dan pengembangan yang masih rendah.
Pemerintah juga sebaiknya meningkatkan kapasitas riset dan mengembangkan skala industri farmasi yang dapat dicapai melalui peningkatan anggaran riset dan pengembangan.
Saat ini anggaran riset dan pengembangan Indonesia merupakan yang terkecil di G20 yakni 0,2 persen dari GDP.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Cips: RI berpotensi jadi basis industri farmasi di Asia Tenggara