Jakarta (ANTARA) - Sudah hampir satu bulan sejak diberlakukannya relaksasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP) untuk kendaraan bermotor.
Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa kebijakan penurunan tarif PPnBM DTP untuk kendaraan bermotor, mulai membuahkan hasil dengan meningkatnya pesanan yang dialami oleh sejumlah prinsipal di dalam negeri.
"Pemerintah menyambut animo masyarakat dalam menikmati fasilitas relaksasi ini, terbukti dengan kenaikan tingkat purchase order sebesar 140,8 persen (per 12 Maret 2021) setelah ada relaksasi PPnBM kendaraan bermotor," kata Menteri Perindustrian (Menperin) RI Agus Gumiwang Kartasasmita, melalui keterangan tertulis, beberapa waktu lalu.
Tentu ini menjadi angin segar bagi konsumen maupun sektor industri otomotif demi mendorong roda perputaran ekonomi nasional.
"Namun, apakah inisiatif ini cukup untuk mendongkrak daya beli masyarakat akan mobil?", menjadi pertanyaan selanjutnya.
Menurut telesurvei yang dilakukan Lembaga Survei KedaiKOPI mengenai persepsi relaksasi PPnBM, menunjukkan bahwa sebanyak 74,9 persen menyatakan bahwa kebijakan tersebut sudah adil dan 77,6 persen menyatakan kesetujuannya terhadap relaksasi PPnBM ini.
Namun demikian, 99,2 persen responden menyatakan tidak akan membeli mobil baru dalam masa relaksasi PPnBM ini.
Senada dengan hasil tersebut, pakar otomotif sekaligus akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu, mengatakan bahwa kebijakan ini masih sangat berpengaruh dengan minat dan kebutuhan masyarakat, terlebih masih dalam kondisi pandemi COVID-19.
"Ini yang sangat menarik. Relaksasi pajak secara hipotetis belum tentu secara signifikan meningkatkan daya serap pasar. Tapi, pemerintah pastinya sudah menghitung bahwa konsumen pasti akan lebih memilih aman dulu keuangan pribadinya, selama ekonomi belum membaik," kata Yannes saat dihubungi ANTARA, baru-baru ini.
"Perlu diingat bahwa mobil adalah kebutuhan tersier, sehingga mereka lebih cenderung akan menahan diri hingga keuangannya membaik kembali," ujarnya menambahkan.
Yannes juga menilai bahwa kebijakan ini masih lebih kepada memberikan semangat dan iklim yang teduh bagi para pelaku otomotif saja.
"Sebab, tax incentive ini hanya berdampak positif bagi kelompok masyarakat yang keuangannya relatif tidak terganggu akibat pandemi COVID-19 ini saja, dan itu pastinya kecil sekali," kata dia.
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian bersama Kementerian Keuangan sudah mulai bergerak untuk menindaklanjuti kebijakan insentif pajak ini.
Pemerintah akan membahas kemungkinan perluasan dan pendalaman program relaksasi PPnBM DP untuk kendaraan bermotor.
Menperin Agus mengatakan bahwa pihaknya akan mengevaluasi kebijakan terkait waktu pelaksanaan hingga formula aturan berdasarkan arahan Presiden RI Joko Widodo.
Sebelumnya, Presiden menyampaikan keinginan agar kendaraan bermotor (KBM) roda empat dengan kapasitas 2.500 cc juga bisa mendapatkan insentif pajak dalam masa pandemi ini, asalkan memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 70 persen.
Ekonom sekaligus peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho berpendapat bahwa perluasan untuk mobil dengan kapasitas 2.500 cc ini akan efektif untuk dongkrak minat, tapi belum tentu dalam peningkatan konsumsi secara keseluruhan.
"Apakah akan efektif untuk dongkrak penjualan di kelas 2.500 cc, tentu, karena ada penurunan harga dari mobil akibat insentif tersebut. Tapi, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah dengan insentif di 2.500 cc dapat meningkatkan konsumsi secara keseluruhan, belum tentu," kata Andry kepada ANTARA.
"Kalau untuk mobil di (kapasitas) 2.500 cc, itu peminatnya tidak sebesar 1.500 cc yang mana banyak masyarakat menengah memiliki mobil tersebut," kata akademisi lulusan ITB itu melanjutkan.
Sebelumnya, kebijakan relaksasi PPnBM yang mulai berjalan sejak 1 Maret 2021 diberikan untuk segmen kendaraan roda empat sedan dan 4x2 dengan kapasitas mesin di bawah 1500 cc, diproduksi di dalam negeri, serta harus memenuhi persyaratan pembelian lokal (local purchase) yang meliputi pemenuhan jumlah penggunaan komponen yang berasal dari hasil produksi dalam negeri yang dimanfaatkan dalam kegiatan produksi kendaraan bermotor paling sedikit 70 persen.
Kebijakan ini akan berlaku hingga akhir tahun. Pemberian keringanan dilakukan secara bertahap, yakni diskon pajak 100 persen pada Maret-Mei, 50 persen di bulan Juni-Agustus, dan diskon pajak 25 persen pada Oktober-Desember 2021.
Ketika disinggung apakah pemerintah perlu mendorong segmen mobil Low Cost Green Car (LCGC) atau dikenal juga kendaraan hemat energi dan harga terjangkau (KBH2), Andry mengatakan lebih baik fokus untuk mendorong segi penawaran menarik untuk kendaraan.
"Mendorong LCGC, saya rasa kelasnya sudah ada. Kalau didorong lagi di Rp150 jutaan tidak terlalu besar. Kembali lagi, kalau misalnya pemerintah ingin mendorong konsumsi, sudah banyak insentif yang diberikan. Tapi misalnya dengan mendorong dari sisi penawaran, itu bisa meningkatkan aktivitas ekonomi kembali, daripada insentif di sisi permintaannya," paparnya.
Ia berpendapat bahwa pendekatan dari sisi permintaan kendaraan sendiri sudah ada dari insentif PPnBM. Sehingga, Andry mengatakan bahwa hal yang perlu didorong bukanlah permintaan saja, tapi juga ketersediaan dan penawaran.
"Pemerintah sedang kesulitan untuk mendapatkan penerimaan negara, karena aktivitas ekonominya juga masih belum baik. Kalau obral insentif, ditakutkan nanti pemerintah juga alami kekurangan lebih dalam dari penerimaan perpajakannya. Yang perlu ditempuh adalah dari sisi supply dan penawaran," kata dia.
Lebih lanjut, Andry mengatakan bahwa langkah yang menjadi fokus pemerintah saat ini demi mendorong perputaran roda ekonomi di masa pandemi adalah upaya di sisi kesehatan. Ia berharap, vaksin bisa didistribusikan dan didapatkan seluruh masyarakat sehingga mampu mendongkrak aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
"Vaksin diharapkan bisa didapatkan seluruh kalangan agar aktivitas ekonomi bisa pulih seperti sedia kala. Ketika sudah pulih, maka ini akan mendongkrak aktivitas di sektor ekonomi lainnya seperti otomotif," kata Andry.
Mungkin masih terlalu dini untuk menebak-nebak upaya terbaik apa yang perlu dilakukan pemerintah setelah relaksasi PPnBM, mengingat kebijakan ini belum satu bulan dilakoni.
Namun, melihat adanya dampak positif dari sisi penjualan mobil, hingga pelaksanaan vaksinasi di Indonesia yang kian masif, tentu memberikan sepercik harapan akan bagaimana industri otomotif nasional kembali menggairahkan ekonomi Tanah Air.
Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa kebijakan penurunan tarif PPnBM DTP untuk kendaraan bermotor, mulai membuahkan hasil dengan meningkatnya pesanan yang dialami oleh sejumlah prinsipal di dalam negeri.
"Pemerintah menyambut animo masyarakat dalam menikmati fasilitas relaksasi ini, terbukti dengan kenaikan tingkat purchase order sebesar 140,8 persen (per 12 Maret 2021) setelah ada relaksasi PPnBM kendaraan bermotor," kata Menteri Perindustrian (Menperin) RI Agus Gumiwang Kartasasmita, melalui keterangan tertulis, beberapa waktu lalu.
Tentu ini menjadi angin segar bagi konsumen maupun sektor industri otomotif demi mendorong roda perputaran ekonomi nasional.
"Namun, apakah inisiatif ini cukup untuk mendongkrak daya beli masyarakat akan mobil?", menjadi pertanyaan selanjutnya.
Menurut telesurvei yang dilakukan Lembaga Survei KedaiKOPI mengenai persepsi relaksasi PPnBM, menunjukkan bahwa sebanyak 74,9 persen menyatakan bahwa kebijakan tersebut sudah adil dan 77,6 persen menyatakan kesetujuannya terhadap relaksasi PPnBM ini.
Namun demikian, 99,2 persen responden menyatakan tidak akan membeli mobil baru dalam masa relaksasi PPnBM ini.
Senada dengan hasil tersebut, pakar otomotif sekaligus akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu, mengatakan bahwa kebijakan ini masih sangat berpengaruh dengan minat dan kebutuhan masyarakat, terlebih masih dalam kondisi pandemi COVID-19.
"Ini yang sangat menarik. Relaksasi pajak secara hipotetis belum tentu secara signifikan meningkatkan daya serap pasar. Tapi, pemerintah pastinya sudah menghitung bahwa konsumen pasti akan lebih memilih aman dulu keuangan pribadinya, selama ekonomi belum membaik," kata Yannes saat dihubungi ANTARA, baru-baru ini.
"Perlu diingat bahwa mobil adalah kebutuhan tersier, sehingga mereka lebih cenderung akan menahan diri hingga keuangannya membaik kembali," ujarnya menambahkan.
Yannes juga menilai bahwa kebijakan ini masih lebih kepada memberikan semangat dan iklim yang teduh bagi para pelaku otomotif saja.
"Sebab, tax incentive ini hanya berdampak positif bagi kelompok masyarakat yang keuangannya relatif tidak terganggu akibat pandemi COVID-19 ini saja, dan itu pastinya kecil sekali," kata dia.
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian bersama Kementerian Keuangan sudah mulai bergerak untuk menindaklanjuti kebijakan insentif pajak ini.
Pemerintah akan membahas kemungkinan perluasan dan pendalaman program relaksasi PPnBM DP untuk kendaraan bermotor.
Menperin Agus mengatakan bahwa pihaknya akan mengevaluasi kebijakan terkait waktu pelaksanaan hingga formula aturan berdasarkan arahan Presiden RI Joko Widodo.
Sebelumnya, Presiden menyampaikan keinginan agar kendaraan bermotor (KBM) roda empat dengan kapasitas 2.500 cc juga bisa mendapatkan insentif pajak dalam masa pandemi ini, asalkan memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 70 persen.
Ekonom sekaligus peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho berpendapat bahwa perluasan untuk mobil dengan kapasitas 2.500 cc ini akan efektif untuk dongkrak minat, tapi belum tentu dalam peningkatan konsumsi secara keseluruhan.
"Apakah akan efektif untuk dongkrak penjualan di kelas 2.500 cc, tentu, karena ada penurunan harga dari mobil akibat insentif tersebut. Tapi, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah dengan insentif di 2.500 cc dapat meningkatkan konsumsi secara keseluruhan, belum tentu," kata Andry kepada ANTARA.
"Kalau untuk mobil di (kapasitas) 2.500 cc, itu peminatnya tidak sebesar 1.500 cc yang mana banyak masyarakat menengah memiliki mobil tersebut," kata akademisi lulusan ITB itu melanjutkan.
Sebelumnya, kebijakan relaksasi PPnBM yang mulai berjalan sejak 1 Maret 2021 diberikan untuk segmen kendaraan roda empat sedan dan 4x2 dengan kapasitas mesin di bawah 1500 cc, diproduksi di dalam negeri, serta harus memenuhi persyaratan pembelian lokal (local purchase) yang meliputi pemenuhan jumlah penggunaan komponen yang berasal dari hasil produksi dalam negeri yang dimanfaatkan dalam kegiatan produksi kendaraan bermotor paling sedikit 70 persen.
Kebijakan ini akan berlaku hingga akhir tahun. Pemberian keringanan dilakukan secara bertahap, yakni diskon pajak 100 persen pada Maret-Mei, 50 persen di bulan Juni-Agustus, dan diskon pajak 25 persen pada Oktober-Desember 2021.
Ketika disinggung apakah pemerintah perlu mendorong segmen mobil Low Cost Green Car (LCGC) atau dikenal juga kendaraan hemat energi dan harga terjangkau (KBH2), Andry mengatakan lebih baik fokus untuk mendorong segi penawaran menarik untuk kendaraan.
"Mendorong LCGC, saya rasa kelasnya sudah ada. Kalau didorong lagi di Rp150 jutaan tidak terlalu besar. Kembali lagi, kalau misalnya pemerintah ingin mendorong konsumsi, sudah banyak insentif yang diberikan. Tapi misalnya dengan mendorong dari sisi penawaran, itu bisa meningkatkan aktivitas ekonomi kembali, daripada insentif di sisi permintaannya," paparnya.
Ia berpendapat bahwa pendekatan dari sisi permintaan kendaraan sendiri sudah ada dari insentif PPnBM. Sehingga, Andry mengatakan bahwa hal yang perlu didorong bukanlah permintaan saja, tapi juga ketersediaan dan penawaran.
"Pemerintah sedang kesulitan untuk mendapatkan penerimaan negara, karena aktivitas ekonominya juga masih belum baik. Kalau obral insentif, ditakutkan nanti pemerintah juga alami kekurangan lebih dalam dari penerimaan perpajakannya. Yang perlu ditempuh adalah dari sisi supply dan penawaran," kata dia.
Lebih lanjut, Andry mengatakan bahwa langkah yang menjadi fokus pemerintah saat ini demi mendorong perputaran roda ekonomi di masa pandemi adalah upaya di sisi kesehatan. Ia berharap, vaksin bisa didistribusikan dan didapatkan seluruh masyarakat sehingga mampu mendongkrak aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
"Vaksin diharapkan bisa didapatkan seluruh kalangan agar aktivitas ekonomi bisa pulih seperti sedia kala. Ketika sudah pulih, maka ini akan mendongkrak aktivitas di sektor ekonomi lainnya seperti otomotif," kata Andry.
Mungkin masih terlalu dini untuk menebak-nebak upaya terbaik apa yang perlu dilakukan pemerintah setelah relaksasi PPnBM, mengingat kebijakan ini belum satu bulan dilakoni.
Namun, melihat adanya dampak positif dari sisi penjualan mobil, hingga pelaksanaan vaksinasi di Indonesia yang kian masif, tentu memberikan sepercik harapan akan bagaimana industri otomotif nasional kembali menggairahkan ekonomi Tanah Air.