Padang (ANTARA) - Malam itu pada pertengahan Ramadhan 1989  warga Koto Tangah Batu Hampar, Kabupaten Limapuluh Kota kedatangan seorang penceramah muda dari kota Padang.

Penampilannya yang energik dan penuh semangat, dengan kedalaman pengetahuan agamanya saat menyampaikan ceramah menjelang shalat tarawih  membuat jamaah yang menyimak kaji kagum dan terpukau.

"Beruntung sekali ya kalau kita punya menantu seperti ustadz dari Padang ini," celetuk seorang jamaah ketika itu. 

Sang dai muda itu tak lain adalah Mahyeldi yang memang sengaja datang ke Batu Hampar dalam rangka melamar sang pujaan hati Harneli Bahar.

Meski masih berstatus mahasiswa semester VI Universitas Andalas Mahyeldi mengambil pilihan untuk menikah di usia terbilang muda. Alasannya untuk menjaga diri, mengamalkan sunnah dan mengoptimalkan perannya dalam dakwah.

Harneli ketika itu merupakan mahasiswa semester II Pendidikan Bahasa Indonesia IKIP Padang yang kini berganti nama menjadi Universitas Negeri Padang.

Mesti masih berstatus mahasiswa tekad Mahyeldi sudah bulat untuk hidup berumah tangga. Ia meyakini rezeki berasal dari Allah yang diiringi dengan ikhtiar.

Selain kuliah saat itu ia sudah memiliki sejumlah usaha mulai dari berdagang koran, majalah dan buku, mengajar mengaji hingga mengajar di bimbel Adzkia.

Mahyeldi dan Harneli sebelumnya tidak pernah saling kenal kalau pun ada hanya sekadar mendengar nama dan perkenalan mereka difasilitasi oleh  teman .

Setelah meyakinkan kedua orang tuanya, Mahyeldi membulatkan tekad untuk mengayuh bahtera rumah tangga dan ia memilih untuk langsung melamar Harneli.

Kendati Mahyeldi masih berstatus mahasiswa Neli yakin  pria yang melamarnya adalah sosok yang bertanggungjawab. Ia pun meyakinkan kedua orang tuanya bahwa persoalan ekonomi  tak perlu jadi penghambat dan ia siap menerima konsekuensi hidup berumah tangga dengan pria pilihannya.

Hanya butuh waktu 15 hari usai perkenalan pada  12 Mei 1989 kedua insan tersebut resmi disatukan dalam ikatan suci pernikahan. 

Kembali ke Padang pasangan yang sudah sah ini kembali ke tempat kos masing-masing. Saat itu mereka belum mengontrak rumah dan Mahyeldi sering menemui Neli pada malam hari ke tempat kosnya.

Sebagai isteri yang baik, Neli tak  pernah mengeluh dan menerima segala konsekuensi dari pernikahan muda. 

Mahyeldi pun tidak pernah mengizinkan istrinya menggantungkan kehidupan kepada orang tuanya. Begitu juga dengan Mahyeldi, dia tidak mau meminta dana kepada orang tua. 

Baginya, ketika sudah memantapkan hati dengan suatu pilihan, harus menjalankan apapun risikonya akan dihadapi sebagai  bentuk tanggung jawab Mahyeldi terhadap keluarga.

Waktu bergulir, pasangan muda itu pun terus mengayuh bahtera hingga dikarunia sembilan putra putri.

Sebagai kepala keluarga  Mahyeldi tak sungkan mencuci piring dan membantu mengerjakan beragam pekerjaan rumah tangga.

Ia  selalu menyempatkan diri melakukan pekerjaan rumah tangga meski sang istri masih bisa melakukannya dan kebiasaan itu  terus berlangsung sebagai  cerminan sikap memuliakan istri dan memahami  beratnya tugas seorang istri di rumah. 

Di mata Neli, suaminya adalah sosok yang  ulet dan pekerja keras dan mau mengerjakan apapun  asalkan halal.

Baginya uda  adalah pemimpin rumah tangga yang baik bisa  menjadi imam,  pemberi nasihat saat  salah dan  teman tempat mencurahkan isi hati dan banyak sisi positif lainnya. 

Mahyeldi dan Neli berusaha memberikan yang terbaik buat anak-anak. Bila ada persoalan atau kesalahpahaman diantara mereka berdua, selalu diselesaikan berdua tanpa boleh orang lain mengetahuinya. Termasuk terhadap anak-anak dan kedua orang tua masing-masing. 

Di mata putra -putrinya Mahyeldi  adalah figur  buya sempurna memiliki kepribadian  yang jujur, sederhana, perhatian, ulet, dan gigih. (adv)

Penulis adalah Juru Bicara Mahyeldi-Audy Joinaldy

Baca juga: Memilih Audy Joinaldy
Baca juga: Buya Mahyeldi menjawab kritik dengan kerja nyata


 

Pewarta : Mulyadi Muslim
Editor : Ikhwan Wahyudi
Copyright © ANTARA 2024