Sarilamak, Sumbar (ANTARA) - Selepas shalat subuh, sebelum matahari terbit, Iyun Piliang (67) tergopoh-gopoh berjalan keluar masjid. Bagian bawah mukenanya ia singsingkan agar tidak kumuh karena tanah basah semalam diguyur hujan sampai dini hari.
Iyun tidak pulang ke rumah gadangnya, melainkan ke puncak bukit di atas kampung. Dilewatinya jalan setapak yang licin itu, lalu disibaknya ranting-ranting pohon jeruk yang menghalangi jalan, sambil menekan-nekan ponsel lipatnya.
Beberapa kali tertulis, jaringan seluler tidak ada. Tapi Iyun terus mencoba menjelang sampai ke puncak bukit. Di atas sana, sudah ada dua tetangganya yang melakukan hal sama dengannya mencari sinyal.
"Paling sedikit dua kali seminggu, saya memang harus naik ke bukit ini untuk menelepon anak saya di rantau, bertanya kabarnya di sana, kadang dapat sinyal kadang tidak," kata Iyun.
Iyun Piliang merupakan warga di Kampung Sarugo, Jorong Sungai Dadok, Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Limapuluhkota, Sumatera Barat.
Kampung adat yang berlokasi sekitar 176 kilometer dari Kota Padang ke arah utara itu, tidak terjangkau sinyal seluler meskipun Indonesia ini sudah 75 tahun merdeka.
Untuk menelepon, warga harus mencari tempat ketinggian agar mendapatkan sinyal. Seperti yang dirasakan Nursyafrida (66), ia biasanya menelepon anaknya di Jambi dari ketinggian.
"Awak manalepon ko, kok dapek di dalam rumah surang-surang, ndak paralu cari-cari sampai ka porak limau (Kalau bisa kita menelepon dari dalam rumah masing-masing, tidak perlu dicari sampai ke kebun jeruk)," kata Nursyafrida berharap.
Kegiatan mencari sinyal biasanya dilakukan pagi dan malam hari, karena saat waktu itulah menurut Nursyafrida, datang SMS masuk di telepon genggamnya.
Tidak jauh dari rumah Nursyafrida, Musri (46) memiliki tempat HP di atas jendela rumah gadangnya, yang diberi pagar menggunakan dua utas tali rafia.
Musri menjejerkan satu unit telepon seluler dan tiga telepon pintar milik keluarganya di tempat itu, agar lebih mudah mendapatkan sinyal.
Musri yang juga bertugas sebagai koordinator agrowisata di kampung wisata Sarugo itu, mengaku kesulitan saat transaksi dengan pembeli jeruk di kebunnya.
Kecamatan Gunung Omeh merupakan sentra penghasil jeruk siam terbesar di Sumatera Barat. Di Kampung Wisata Sarugo, terdapat 200 hektare kebun jeruk yang dikembangkan menjadi agrowisata.
"Karena tidak bisa menelepon, kita kesulitan untuk berjanji dengan pengepul saat menjual jeruk di kebun kami," kata Musri.
Terkadang, kata Musri, pengepul datang ke kebun, saat panen sudah selesai dan jeruknya sudah habis, atau sebaliknya saat petani belum panen.
Di kampungnya, jika ingin menyampaikan pesan, harus langsung datang ke rumah atau sampaikan pesan dari mulut ke mulut.
Seorang warga mencari sinyal seluler untuk menelepon dan sms, dari rumah gadang, di Jorong Sungai Dadok, Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Limapuluhkota, Sumatera Barat, ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/20
Jaringan Internet Lelet
Wali Jorong Aia Angek, Nagari Koto Tinggi, Fachrurozi, sekaligus tokoh masyarakat setempat mengaku khawatir dengan aktivitas mencari sinyal yang dilakukan muda-mudi di kampungnya pada malam hari.
Fachrurozi menjelaskan, di Nagari Koto Tinggi terdapat provider swasta lokal yang memasang paket internet melalui Wifi di sejumlah titik, dengan tarif Rp3.000 per jam namun kecepatan lelet sementara yang memakainya sangat banyak.
Jaringan internet inilah yang dicari muda-mudi untuk belajar daring dan mengerjakan tugas mereka hingga malam hari.
"Di kampung ini, anak perempuan tidak boleh keluar malam dan berkumpul-kumpul, takut terjadi hal yang tidak-tidak. Tapi kita tidak bisa melarang karena memang mereka mengerjakan tugas sekolah," kata Fachrurozi.
Kebanyakan pelajar yang belajar daring adalah yang bersekolah di luar nagari Koto Tinggi, seperti di Payakumbuh atau di luar provinsi.
Seperti yang dirasakan seorang mahasiswi Universitas Negeri di Medan, Lelbasariko, yang mengaku kesulitan saat yudisium melalui video conference dari rumah gadangnya.
"Kami yudisium menggunakan zoom, saya beli voucher wifi per jam Rp3.000 itu, semula ada sinyal, tiba-tiba hilang, akhirnya tidak jadi. Saya tidak merasakan ikut yudisium kampus," katanya.
Akibatnya, ia pun kena teguran dari pihak kampusnya, dan terancam tidak bisa ikut wisuda dan kompentensi.
Untuk menikmati jaringan internet di kampungnya, Lelbasariko mengaku harus berpindah-pindah mencari sinyal wifi yang stabil, yang sedikit penggunanya.
Apalagi, menurutnya, Kampung Sarugo merupakan objek wisata, yang membutuhkan sinyal internet lebih baik agar promosi berjalan lancar.
"Jika mau dijadikan tempat wisata yang tanpa sinyal, hendaknya ada tempat khusus yang akses internetnya lancar, agar bisa bermanfaat bagi pengunjung dan pelajar," jelasnya.
Apalagi zaman digital sekarang, kata dia, internet menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat terutama anak muda.
Wakil Bupati Limapuluhkota Ferizal Ridwan mengatakan, sejak 2017 pemerintah daerah sudah mengusulkan kepada pihak terkait agar 39 titik blankspot di kabupaten itu teratasi.
Hal itu terus ia kawal dan upayakan, karena ia ingin tidak sejengkal pun wilayah di Limapuluhkota tidak tersentuh sinyal telepon dan internet.
"Kesulitan sinyal di Kampung Sarugo karena topografi wilayah, berada di lembah dan penuh berbukitan, yang membuat pantulan sinyal sulit dari tower terdekat," jelasnya.
Menurut Ferizal, tower seluler berada tidak sampai satu kilometer dari Kampung Sarugo, tepatnya di pasar Nagari Koto Tinggi.
Pihaknya akan terus membenahi dan menyiasati hal ini, di antaranya dengan mengusulkan agar dilakukan penambahan daya tower terdekat agar bisa menjangkau daerah lain.
Diakuinya, tanpa ada komunikasi, kampung ini akan sulit berkembang, karena pengunjung akan membutuhkan akses internet dan telepon serta bagi dunia pendidikan.
Nominasi Kampung Adat Terpopuler
Seorang pengunjung datang dari Padang, sesuai protokol COVID-19, ia mencuci tangan di gerbang, dan menggunakan masker.
Kemudian ia menyusuri kampung, mengamati tiap rumah gadang yang ditemui sambil memotret menggunakan telepon pintarnya.
Sesekali dia berswafoto, dengan latar rumah gadang yang usianya sudah puluhan tahun.
Sejumlah anak laki-laki melintas di depannya sambil berlari menggiring ban bekas. Di sudut lain, anak perempuan bermain karet.
Pengunjung itu juga tak lupa mengabadikan kegiatan anak-anak Kampung Sarugo, yang tidak tersentuh dunia digital, namun asik bermain bersama.
Sayangnya, foto dan video yang ia simpan, tidak bisa segera ia bagikan ke media sosial. Karena sama sekali tidak ada sinyal.
Kampung Adat Sarugo, singkatan dari Saribu Gonjong, di Jorong Sungai Dadok, Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Limapuluhkota, Sumatera Barat, resmi menjadi destinasi wisata pada 2019.
Kampung binaan Fakultas Pariwisata Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB) itu, kini terpilih mewakili Sumbar sebagai nominasi kampung adat terpopuler Anugerah Pesona Indonesia 2020.
Agar bisa menang, pemilihan harus dilakukan melalui voting SMS, dan like di media sosial.
Wakil Ketua Pokdarwis Kampung Sarugo, Zilbasariko (25), mengatakan, orang kampung ini meskipun memiliki telepon pintar, namun tidak seluruhnya bisa melakukan voting yang berakhir pada Desember 2020 itu.
"Sinyal sulit di sini, apalagi bagi yang lansia yang tidak bisa keluar rumah mencari sinyal. Kalau kami yang muda-muda aman," katanya.
Di sisi lain, katanya, ada juga yang menyampaikan agar kampung itu tidak usah memiliki sinyal sehingga alami dan anak-anak tidak keranjingan gawai.
Namun demikian, tetap harus ada titik khusus yang menyediakan akses internet lancar, karena sangat perlu untuk promosi, pendidikan, dan aktivitas ekonomi.
Untuk sementara, kata Zil, wisatawan yang mengunjungi kampung ini dapat berwisata dengan tenang tanpa gangguan notifikasi dan panggilan lewat gawai mereka.
Seperti pengunjung tadi, ia menginap semalam di salah satu rumah gadang yang dijadikan homestay. Keesokan harinya, jauh dari kampung, barulah hasil swafotonya dapat dikirim ke sosial media.
Mereka, warga Kampung Sarugo, tetap berharap agar keinginan mereka terwujud untuk masuk kampung adat terpopuler di nasional, meskipun dari daerah tanpa sinyal.
Iyun tidak pulang ke rumah gadangnya, melainkan ke puncak bukit di atas kampung. Dilewatinya jalan setapak yang licin itu, lalu disibaknya ranting-ranting pohon jeruk yang menghalangi jalan, sambil menekan-nekan ponsel lipatnya.
Beberapa kali tertulis, jaringan seluler tidak ada. Tapi Iyun terus mencoba menjelang sampai ke puncak bukit. Di atas sana, sudah ada dua tetangganya yang melakukan hal sama dengannya mencari sinyal.
"Paling sedikit dua kali seminggu, saya memang harus naik ke bukit ini untuk menelepon anak saya di rantau, bertanya kabarnya di sana, kadang dapat sinyal kadang tidak," kata Iyun.
Iyun Piliang merupakan warga di Kampung Sarugo, Jorong Sungai Dadok, Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Limapuluhkota, Sumatera Barat.
Kampung adat yang berlokasi sekitar 176 kilometer dari Kota Padang ke arah utara itu, tidak terjangkau sinyal seluler meskipun Indonesia ini sudah 75 tahun merdeka.
Untuk menelepon, warga harus mencari tempat ketinggian agar mendapatkan sinyal. Seperti yang dirasakan Nursyafrida (66), ia biasanya menelepon anaknya di Jambi dari ketinggian.
"Awak manalepon ko, kok dapek di dalam rumah surang-surang, ndak paralu cari-cari sampai ka porak limau (Kalau bisa kita menelepon dari dalam rumah masing-masing, tidak perlu dicari sampai ke kebun jeruk)," kata Nursyafrida berharap.
Kegiatan mencari sinyal biasanya dilakukan pagi dan malam hari, karena saat waktu itulah menurut Nursyafrida, datang SMS masuk di telepon genggamnya.
Tidak jauh dari rumah Nursyafrida, Musri (46) memiliki tempat HP di atas jendela rumah gadangnya, yang diberi pagar menggunakan dua utas tali rafia.
Musri menjejerkan satu unit telepon seluler dan tiga telepon pintar milik keluarganya di tempat itu, agar lebih mudah mendapatkan sinyal.
Musri yang juga bertugas sebagai koordinator agrowisata di kampung wisata Sarugo itu, mengaku kesulitan saat transaksi dengan pembeli jeruk di kebunnya.
Kecamatan Gunung Omeh merupakan sentra penghasil jeruk siam terbesar di Sumatera Barat. Di Kampung Wisata Sarugo, terdapat 200 hektare kebun jeruk yang dikembangkan menjadi agrowisata.
"Karena tidak bisa menelepon, kita kesulitan untuk berjanji dengan pengepul saat menjual jeruk di kebun kami," kata Musri.
Terkadang, kata Musri, pengepul datang ke kebun, saat panen sudah selesai dan jeruknya sudah habis, atau sebaliknya saat petani belum panen.
Di kampungnya, jika ingin menyampaikan pesan, harus langsung datang ke rumah atau sampaikan pesan dari mulut ke mulut.
Jaringan Internet Lelet
Wali Jorong Aia Angek, Nagari Koto Tinggi, Fachrurozi, sekaligus tokoh masyarakat setempat mengaku khawatir dengan aktivitas mencari sinyal yang dilakukan muda-mudi di kampungnya pada malam hari.
Fachrurozi menjelaskan, di Nagari Koto Tinggi terdapat provider swasta lokal yang memasang paket internet melalui Wifi di sejumlah titik, dengan tarif Rp3.000 per jam namun kecepatan lelet sementara yang memakainya sangat banyak.
Jaringan internet inilah yang dicari muda-mudi untuk belajar daring dan mengerjakan tugas mereka hingga malam hari.
"Di kampung ini, anak perempuan tidak boleh keluar malam dan berkumpul-kumpul, takut terjadi hal yang tidak-tidak. Tapi kita tidak bisa melarang karena memang mereka mengerjakan tugas sekolah," kata Fachrurozi.
Kebanyakan pelajar yang belajar daring adalah yang bersekolah di luar nagari Koto Tinggi, seperti di Payakumbuh atau di luar provinsi.
Seperti yang dirasakan seorang mahasiswi Universitas Negeri di Medan, Lelbasariko, yang mengaku kesulitan saat yudisium melalui video conference dari rumah gadangnya.
"Kami yudisium menggunakan zoom, saya beli voucher wifi per jam Rp3.000 itu, semula ada sinyal, tiba-tiba hilang, akhirnya tidak jadi. Saya tidak merasakan ikut yudisium kampus," katanya.
Akibatnya, ia pun kena teguran dari pihak kampusnya, dan terancam tidak bisa ikut wisuda dan kompentensi.
Untuk menikmati jaringan internet di kampungnya, Lelbasariko mengaku harus berpindah-pindah mencari sinyal wifi yang stabil, yang sedikit penggunanya.
Apalagi, menurutnya, Kampung Sarugo merupakan objek wisata, yang membutuhkan sinyal internet lebih baik agar promosi berjalan lancar.
"Jika mau dijadikan tempat wisata yang tanpa sinyal, hendaknya ada tempat khusus yang akses internetnya lancar, agar bisa bermanfaat bagi pengunjung dan pelajar," jelasnya.
Apalagi zaman digital sekarang, kata dia, internet menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat terutama anak muda.
Wakil Bupati Limapuluhkota Ferizal Ridwan mengatakan, sejak 2017 pemerintah daerah sudah mengusulkan kepada pihak terkait agar 39 titik blankspot di kabupaten itu teratasi.
Hal itu terus ia kawal dan upayakan, karena ia ingin tidak sejengkal pun wilayah di Limapuluhkota tidak tersentuh sinyal telepon dan internet.
"Kesulitan sinyal di Kampung Sarugo karena topografi wilayah, berada di lembah dan penuh berbukitan, yang membuat pantulan sinyal sulit dari tower terdekat," jelasnya.
Menurut Ferizal, tower seluler berada tidak sampai satu kilometer dari Kampung Sarugo, tepatnya di pasar Nagari Koto Tinggi.
Pihaknya akan terus membenahi dan menyiasati hal ini, di antaranya dengan mengusulkan agar dilakukan penambahan daya tower terdekat agar bisa menjangkau daerah lain.
Diakuinya, tanpa ada komunikasi, kampung ini akan sulit berkembang, karena pengunjung akan membutuhkan akses internet dan telepon serta bagi dunia pendidikan.
Nominasi Kampung Adat Terpopuler
Seorang pengunjung datang dari Padang, sesuai protokol COVID-19, ia mencuci tangan di gerbang, dan menggunakan masker.
Kemudian ia menyusuri kampung, mengamati tiap rumah gadang yang ditemui sambil memotret menggunakan telepon pintarnya.
Sesekali dia berswafoto, dengan latar rumah gadang yang usianya sudah puluhan tahun.
Sejumlah anak laki-laki melintas di depannya sambil berlari menggiring ban bekas. Di sudut lain, anak perempuan bermain karet.
Pengunjung itu juga tak lupa mengabadikan kegiatan anak-anak Kampung Sarugo, yang tidak tersentuh dunia digital, namun asik bermain bersama.
Sayangnya, foto dan video yang ia simpan, tidak bisa segera ia bagikan ke media sosial. Karena sama sekali tidak ada sinyal.
Kampung Adat Sarugo, singkatan dari Saribu Gonjong, di Jorong Sungai Dadok, Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Limapuluhkota, Sumatera Barat, resmi menjadi destinasi wisata pada 2019.
Kampung binaan Fakultas Pariwisata Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB) itu, kini terpilih mewakili Sumbar sebagai nominasi kampung adat terpopuler Anugerah Pesona Indonesia 2020.
Agar bisa menang, pemilihan harus dilakukan melalui voting SMS, dan like di media sosial.
Wakil Ketua Pokdarwis Kampung Sarugo, Zilbasariko (25), mengatakan, orang kampung ini meskipun memiliki telepon pintar, namun tidak seluruhnya bisa melakukan voting yang berakhir pada Desember 2020 itu.
"Sinyal sulit di sini, apalagi bagi yang lansia yang tidak bisa keluar rumah mencari sinyal. Kalau kami yang muda-muda aman," katanya.
Di sisi lain, katanya, ada juga yang menyampaikan agar kampung itu tidak usah memiliki sinyal sehingga alami dan anak-anak tidak keranjingan gawai.
Namun demikian, tetap harus ada titik khusus yang menyediakan akses internet lancar, karena sangat perlu untuk promosi, pendidikan, dan aktivitas ekonomi.
Untuk sementara, kata Zil, wisatawan yang mengunjungi kampung ini dapat berwisata dengan tenang tanpa gangguan notifikasi dan panggilan lewat gawai mereka.
Seperti pengunjung tadi, ia menginap semalam di salah satu rumah gadang yang dijadikan homestay. Keesokan harinya, jauh dari kampung, barulah hasil swafotonya dapat dikirim ke sosial media.
Mereka, warga Kampung Sarugo, tetap berharap agar keinginan mereka terwujud untuk masuk kampung adat terpopuler di nasional, meskipun dari daerah tanpa sinyal.