Padang (ANTARA) - Siang itu di bulan April 2019, cuaca amat cerah di Desa Matobek, Kecamatan Sipora Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Angin pesisir terasa panas menggigit kulit.

Namun, puluhan orang yang telah berkumpul di sana sejak pagi seperti tidak peduli dengan cuaca. Mereka tetap sibuk menyiapkan sejumlah peralatan untuk panggilan yang menampakkan wajah pembicara (video call).

Video call adalah kata yang baru untuk sebagian masyarakat di Mentawai. Tidak banyak yang pernah mencoba teknologi itu karena kecepatan internet di daerah itu memang masih lelet. Sebagian besar komunikasi menggunakan suara (voice) telepon, itupun masih terputus-putus.

Bupati Kepulauan Mentawai Yudas Sabaggalet mencoba melakukan panggilan video. Panggilan itu akan menjadi sebuah sejarah bagi daerah terluar yang masih berstatus tertinggal itu.

Sekitar 170 kilometer dari Pulau Sipora. Di auditorium Universitas Negeri Padang (UNP), Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara juga tengah bersiap. Di hadapan tiga ribu lebih pasang mata mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Padang, ia akan melakukan panggilan video call bersejarah itu dengan Bupati Kepulauan Mentawai, Yudas Sabaggalet.

Kemewahan

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, terutama yang berada di kota-kota besar, video call sudah menjadi keseharian. Setiap saat panggilan bisa dilakukan, apapun jenis kartu yang digunakan. Bahkan menggunakan jaringan wifi yang banyak tersebar di sudut-sudut kota.

Tapi di daerah di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) seperti Mentawai, hal itu adalah sebuah kemewahan yang langka. Pada beberapa pulau yang terpisah dari pulau utama, malah sangat tidak mungkin.

Tapi hari itu, video call ke Desa Matobek, Kecamatan Sipora Selatan, Mentawai itu lancar sekali. Lancar, selancar-lancarnya. Gambar di layar jernih dan suaranya bening. Delay voice memang masih agak terasa, tetapi tidak terlalu mengganggu.

Bupati Yudas terlihat sumbringah. Berkali-kali ia mengucapkan terima kasih. Mungkin, itulah pertama kali ia mencoba video call yang begitu lancar tanpa halangan dari kampung halamannya.

Tiga ribu mahasiswa yang berkumpul di auditorium UNP melihat takjub. Demikian juga Wakil Gubernur Sumbar, Nasrul Abit yang ikut kegiatan itu. Ia seperti melihat mimpinya tiba-tiba menjadi kenyataan.

Nasrul Abit adalah pejabat provinsi yang paling sering ke Mentawai. Hampir setiap bulan, ia menjejak tanah Sikerei itu. Karena itu ia paham sekali sulitnya jaringan telekomunikasi di daerah itu. Faktor itu bahkan menjadi salah satu penyebab Mentawai belum bisa keluar dari ketertinggalan.

Membujuk penyedia layanan (provider) untuk masuk membangun Base Transceiver Station (BTS) di daerah 3T itu juga bukan perkara mudah karena secara finansial tidak menguntungkan (financially not viable).

Padahal untuk Mentawai, jaringan itu bukan hanya untuk menjalin komunikasi tetapi juga penting untuk mengejar ketertinggalan dari segi sumber daya manusia, kesehatan hingga mitigasi bencana.

Sejak rintisan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) mulai dilaksanakan di Indonesia pada 2015 hingga 2019, belum satupun sekolah di Mentawai yang pernah mempraktekkannya.

Bahkan, data Dinas Pendidikan setempat, pada 2019 sejumlah 12 SMA di Mentawai belum siap melaksanakan UNBK dan terpaksa harus ujian nasional dengan kertas dan pensil.


   

Mengejar ketertinggalan

Selama ini Mentawai yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia memang tidak memiliki sambungan jaringan internet yang baik. Hanya ibu kota kabupaten yang memiliki jaringan internet, tetapi kecepatannya sangat rendah.

Pelayanan maksimal berbasis teknologi juga belum bisa diberikan untuk bidang perekonomian dan kesehatan di daerah itu. Padahal banyak aplikasi yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan layanan, misalnya halodoc. Aplikasi itu memungkinkan masyarakat dan tenaga kesehatan di daerah 3T berkonsultasi kesehatan dengan dokter yang berkompetensi.

Mentawai akan sulit untuk berlari meninggalkan ketertinggalan jika infrastruktur pendukung tetap saja jauh dari harapan, terutama akses jalan dan telekomunikasi.

Dibangunnya 25 BTS dan akan ditambah 53 unit lagi secara bertahap oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kemkominfo menjadi secercah harapan bagi Mentawai untuk segera menanggalkan status tertinggal.

Roparia yang telah menamatkan sekolah di SMAN 2 Sipora menyebut internet yang cepat memberikan kesempatan bagi siswa untuk bisa memperbanyak referensi, memperluas pengetahuan agar bisa bersaing dengan siswa di daerah lain.

Merdeka sinyal

Menkominfo Rudiantara menyebut untuk hal-hal yang krusial itu, pemerintah akan selalu hadir untuk memastikan bahwa hak atas informasi melalui akses telekomunikasi dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat di seluruh penjuru Indonesia.

Merdeka sinyal di seluruh daerah di Indonesia, sangat dimungkinkan dengan pembangunan BTS oleh BAKTI dan telah tersambungnya saluran atau koneksi berkecepatan tinggi yang menjadi lintasan utama (backbone) Palapa Ring dari Barat hingga Timur Indonesia pada akhir tahun 2019.

Selain BAKTI, pusat pemerintahan di Mentawai juga sudah tersambung jaringan Palapa Ring sejak Februari 2019. Jaringan serat optik (fiber optic) itu telah tersambung hingga pantai Mapaddegat, desa Tuapejat kecamatan Sipora utara Mentawai.

Bupati Mentawai Yudas sangat mengapresiasi bantuan internet cepat yang memungkinkan pelayanan pada masyarakat bisa semakin maksimal. Ia berharap secepatnya seluruh desa di kabupaten itu bisa tersambung jaringan internet sehingga pembangunan bisa dikebut.

Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit mengatakan hingga awal 2019, ada tiga kabupaten tertinggal di provinsi itu yaitu Mentawai, Solok Selatan dan Pasaman Barat. Namun pada pertengahan 2019, dua kabupaten sudah dinyatakan lepas dari ketertinggalan, hanya menyisakan Mentawai.

Ia berharap dengan dukungan semua pihak, termasuk Kemkominfo, Mentawai bisa lepas dari status itu pada 2020. 

Pewarta : Miko Elfisha
Editor : Joko Nugroho
Copyright © ANTARA 2024