Padang, (Antaranews Sumbar) - Selama ini menenun identik dengan aktivitas yang dilakoni para perempuan lanjut usia guna mengisi waktu senggang, namun anggapan tersebut dimentahkan oleh seorang perempuan muda Anita Dona Asri (32) asal Desa Lunto Timur Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat.
Kendati perjuangan melawan stigma tersebut tidak mudah, namun dara kelahiran 13 Mei 1986 akhirnya membuktikan perempuan muda juga bisa menenun bahkan dengan karya yang tak kalah apik.
Sosok yang akrab disapa Dona tersebut meyakini urusan pertenunan harus diwarisi agar karya-karya bernilai dari tanah kelahirannya yakni songket Silungkang tidak punah dan sebaliknya bisa mendunia.
Belajar menenun sejak kelas 3 SD dari orang tuanya, anak dari pasangan Syamsamir Rajo Alam dan Nuryati terus mengembangkan kemampuannya secara otodidak.
Bahkan saat ia menempuh studi di Universitas Negeri Padang, menenun tetap dilakoni untuk membiayai kuliah secara mandiri hingga lulus.
Saat menjadi mahasiswa Dona membawa satu set panta atau alat tenun bukan mesin ke rumah kos dan saat ada waktu luang jemarinya dengan lincah menenun dengan target sehelai songket per pekan untuk dijual.
Setamat dari Jurusan Bimbingan Konseling Universitas Negeri Padang, ia pun kembali berjuang melawan pandangan masyarakat yang beranggapan seorang sarjana harus bekerja di kantoran.
Sempat menjalani profesi sebagai guru namun karena sudah terlanjur jatuh cinta dengan songket ia pun kembali meneruskan usaha songket orang tuanya yang sempat tutup akibat krisis ekonomi.
Meski harus menghadapi pandangan miring namun Dona pantang surut untuk fokus menekuni keahlian menenun hingga akhinya berhasil membuka lapangan kerja lewat merek usaha Dolas Songket.
Kala itu hanya satu orang yang menjadi anggota tenunnya, namun kini sudah mencapai 19 orang yang merupakan tetangga sekitar rumah.
Sejak itu proses pengerjaan songket mulai dari manuriang (memintal benang), manghani (merentangkan posisi benang), manyambuang (menyambung benang), mangarok (menentukan bentuk, ukuran, serta motif) hingga menenun menjadi rutinitas keseharian yang ditekuni Dona.
.
Proses pembuatan songket menggunakan panta atau alat tenun bukan mesin (Antara Sumbar/istimewa)
Pewarna Alam
Pada 2014 ia pun mendapatkan pendampingan dari Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) Padang bekerja sama dengan Maybank.
Saat itu Dona bersama penenun lainnya diajarkan bagaimana menenun menggunakan pewarna dari bahan alam sehingga kualitas kain lebih bagus dan lembut bahannya.
Tidak hanya itu songket yang dibuat dengan pewarna bahan alam selain ramah lingkungan juga lebih nilai jualnya menjadi lebih tinggi.
Ia pun mengembangkan bahan pewarna alami dari berbagai tanaman di sekitar rumah mulai dari daun putri malu, serbuk surian, kulit manggis, jengkol, dan pacar air.
Memang untuk menghasilkan benang dengan warna alam, diperlukan waktu lebih dari satu minggu untuk perebusan benang, ekstraksi warna dari tanaman atau buah, pencelupan, dan fiksasi atau penguncian warna.
Akan tetapi songket dengan pewarna alam spesifik dan punya nilai jual lebih dan tidak diproduksi dalam jumlah banyak sehingga lebih ekslusif.
Tak hanya itu Dona juga mendapatkan pendampingan dari Bank Indonesia dan terpilih sebagai 20 wirausahawan muda terbaik Bank Indonesia pada 2017.
Dari sisi pemasaran ia pun telah memanfaatkan media sosial berupa instagram untuk memajang hasil karya terbaru yang bisa diakses calon pembeli dari mana pun.
Setiap helai songket karya Dona kini dijual mulai dari Rp600 ribu hingga yang tertinggi mencapai Rp3,5 juta tergantung bahan yang digunakan dan motif yang dibuat
Selain itu dukungan pemerintah Kota Sawahlunto juga cukup tinggi untuk menjadikan songket Silungkang sebagai salah satu produk andalan daerah itu.
Ini terbukti dengan setiap tahun sejak 2015 digelar ajang Sawahlunto International Songket Carnival setiap tahun sebagai sarana memperkenalkan hasil karya tangan tangan terampil dari kota arang tersebut.
Dona bersama penenun binananya (Antara Sumbar/istimewa)
Ke Luar Negeri
Berkat kegigihannya memasarkan songket produk Dolas Songket, setelah melewati seleksi Dona terpilih mewakili Indonesia untuk bertolak ke Brusels, Belgia mengikui ajang European Development Days yang merupakan pameran kerajinan tingkat dunia pada ada 7-8 Juni 2017.
Terpilihya Dona mengulang keberhasilan dua perajin songket asal Silungkang, yaitu Ande Bainsyah dan Ande Baiyah, yang membawa hasil karya mereka untuk dipamerkan di Kota Brussels, Belgia, pada 1910, atas undangan ratu yang memerintah negara tersebut.
Keikutsertaan Dona diawali saat mengikuti seleksi melalui LP2M, dibawah naungan Asosiasi Perempuan Pengusaha Kecil Indonesia (ASPUK).
Ia masuk sebagai 12 finalis se-Indonesia dan satu-satunya dari pulau Sumatera dan pada seleksi berikutnya akhirnya terpilih untuk mengikuti ekspose di EDD Brussel.
Keikutsertaannya pada pameran menjadi pintu masuk agar songket Silungkang menjadi lebih dikenal dunia.
Pada 2-5 Agustus 2018 ia pun kembali berkesempatan berpameran di luar negeri pada ajang Festival Indonesia-Moscow 2018 yang digelar di Krasnaya Presnya Park Moscow.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Dona untuk menjadikan songket Silungkang kian dikenal sebagai mahakarya seni yang berharga.
Dona pun berkomitmen untuk terus mengembangkan dan mempertahankan songket Silungkang sebagai bagian tradisi Minang dengan tetap memakai alat tenun bukan mesin, setia dengan motif klasik, menghidupkan motif yang pernah berjaya pada masanya, dan memakai pewarna alami.
Ia berpesan kepada generasi muda tak perlu malu untuk mempertahankan tradisi songket karena ini adalah peluang yang menjanjikan.
"Bahkan bagi yang ingin kuliah bisa dibiayai lewat jual songket," ujarnya.
Sekarang di Sawahlunto, kota kecil yang berjarak sekitar 80 kilometer dari ibu kota Provinsi Sumatera Barat songket menjadi ikon ekonomi kreatif kota yang dulunya merupakan daerah penghasil batu bara.
Berdasarkan data yang dihimpun dari pemerintah kota setempat terdapat 837 perajin pada 18 desa dan kelurahan tersebar di empat kecamatan.
Dari jumlah UMKM songket tersebut perajin mampu menghasilkan kain songket sebanyak 192 helai per hari, atau dua helai dalam tiga hari.
Presiden Direktur Maybank Indonesia Taswin Zakaria diwawancarai oleh wartawan usai peresmian kantor cabang Padang, (ANTARA SUMBAR/Maril Gafur.)
Dukungan Perbankan
Sebelumnya Presiden Direktur Maybank Indonesia, Taswin Zakaria menyatakan pihaknya fokus menggarap pembiayaan pada sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Tanah Air karena merupakan motor utama penggerak ekonomi.
"Bisnis terbesar Maybank Indonesia adalah sektor UMKM karena itu dalam empat tahun terakhir pertumbuhan aset kami berasal dari sektor tersebut," kata dia saat saat peresmian kembali Kantor Maybank Cabang Padang.
Menurutnya ke depan pihaknya akan lebih fokus menggarap UMKM apalagi di Padang 80 persen ekonomi di daerah tersebut ditopang oleh sektor itu.
"Kami akan terus dukung agar perkembangan UMKM semakin pesat," tambahnya.
Saat ini total pembiayaan pada sektor UMKM mencapai 40 persen dari total dana yang ada.
"Kalau berikut retail dan UMKM totalnya ada 70 persen aset kami di sektor itu," ujarnya.
Kemudian sebagai bentuk kepedulian tanggung jawab sosial perusahaan Maybank juga melatih para perempuan penenun yang ada di Sawahlunto agar produk yang dihasilkan bisa dipasarkan dan cara mengelola usaha hingga pemasaran.
Kendati perjuangan melawan stigma tersebut tidak mudah, namun dara kelahiran 13 Mei 1986 akhirnya membuktikan perempuan muda juga bisa menenun bahkan dengan karya yang tak kalah apik.
Sosok yang akrab disapa Dona tersebut meyakini urusan pertenunan harus diwarisi agar karya-karya bernilai dari tanah kelahirannya yakni songket Silungkang tidak punah dan sebaliknya bisa mendunia.
Belajar menenun sejak kelas 3 SD dari orang tuanya, anak dari pasangan Syamsamir Rajo Alam dan Nuryati terus mengembangkan kemampuannya secara otodidak.
Bahkan saat ia menempuh studi di Universitas Negeri Padang, menenun tetap dilakoni untuk membiayai kuliah secara mandiri hingga lulus.
Saat menjadi mahasiswa Dona membawa satu set panta atau alat tenun bukan mesin ke rumah kos dan saat ada waktu luang jemarinya dengan lincah menenun dengan target sehelai songket per pekan untuk dijual.
Setamat dari Jurusan Bimbingan Konseling Universitas Negeri Padang, ia pun kembali berjuang melawan pandangan masyarakat yang beranggapan seorang sarjana harus bekerja di kantoran.
Sempat menjalani profesi sebagai guru namun karena sudah terlanjur jatuh cinta dengan songket ia pun kembali meneruskan usaha songket orang tuanya yang sempat tutup akibat krisis ekonomi.
Meski harus menghadapi pandangan miring namun Dona pantang surut untuk fokus menekuni keahlian menenun hingga akhinya berhasil membuka lapangan kerja lewat merek usaha Dolas Songket.
Kala itu hanya satu orang yang menjadi anggota tenunnya, namun kini sudah mencapai 19 orang yang merupakan tetangga sekitar rumah.
Sejak itu proses pengerjaan songket mulai dari manuriang (memintal benang), manghani (merentangkan posisi benang), manyambuang (menyambung benang), mangarok (menentukan bentuk, ukuran, serta motif) hingga menenun menjadi rutinitas keseharian yang ditekuni Dona.
.
Pewarna Alam
Pada 2014 ia pun mendapatkan pendampingan dari Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M) Padang bekerja sama dengan Maybank.
Saat itu Dona bersama penenun lainnya diajarkan bagaimana menenun menggunakan pewarna dari bahan alam sehingga kualitas kain lebih bagus dan lembut bahannya.
Tidak hanya itu songket yang dibuat dengan pewarna bahan alam selain ramah lingkungan juga lebih nilai jualnya menjadi lebih tinggi.
Ia pun mengembangkan bahan pewarna alami dari berbagai tanaman di sekitar rumah mulai dari daun putri malu, serbuk surian, kulit manggis, jengkol, dan pacar air.
Memang untuk menghasilkan benang dengan warna alam, diperlukan waktu lebih dari satu minggu untuk perebusan benang, ekstraksi warna dari tanaman atau buah, pencelupan, dan fiksasi atau penguncian warna.
Akan tetapi songket dengan pewarna alam spesifik dan punya nilai jual lebih dan tidak diproduksi dalam jumlah banyak sehingga lebih ekslusif.
Tak hanya itu Dona juga mendapatkan pendampingan dari Bank Indonesia dan terpilih sebagai 20 wirausahawan muda terbaik Bank Indonesia pada 2017.
Dari sisi pemasaran ia pun telah memanfaatkan media sosial berupa instagram untuk memajang hasil karya terbaru yang bisa diakses calon pembeli dari mana pun.
Setiap helai songket karya Dona kini dijual mulai dari Rp600 ribu hingga yang tertinggi mencapai Rp3,5 juta tergantung bahan yang digunakan dan motif yang dibuat
Selain itu dukungan pemerintah Kota Sawahlunto juga cukup tinggi untuk menjadikan songket Silungkang sebagai salah satu produk andalan daerah itu.
Ini terbukti dengan setiap tahun sejak 2015 digelar ajang Sawahlunto International Songket Carnival setiap tahun sebagai sarana memperkenalkan hasil karya tangan tangan terampil dari kota arang tersebut.
Ke Luar Negeri
Berkat kegigihannya memasarkan songket produk Dolas Songket, setelah melewati seleksi Dona terpilih mewakili Indonesia untuk bertolak ke Brusels, Belgia mengikui ajang European Development Days yang merupakan pameran kerajinan tingkat dunia pada ada 7-8 Juni 2017.
Terpilihya Dona mengulang keberhasilan dua perajin songket asal Silungkang, yaitu Ande Bainsyah dan Ande Baiyah, yang membawa hasil karya mereka untuk dipamerkan di Kota Brussels, Belgia, pada 1910, atas undangan ratu yang memerintah negara tersebut.
Keikutsertaan Dona diawali saat mengikuti seleksi melalui LP2M, dibawah naungan Asosiasi Perempuan Pengusaha Kecil Indonesia (ASPUK).
Ia masuk sebagai 12 finalis se-Indonesia dan satu-satunya dari pulau Sumatera dan pada seleksi berikutnya akhirnya terpilih untuk mengikuti ekspose di EDD Brussel.
Keikutsertaannya pada pameran menjadi pintu masuk agar songket Silungkang menjadi lebih dikenal dunia.
Pada 2-5 Agustus 2018 ia pun kembali berkesempatan berpameran di luar negeri pada ajang Festival Indonesia-Moscow 2018 yang digelar di Krasnaya Presnya Park Moscow.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Dona untuk menjadikan songket Silungkang kian dikenal sebagai mahakarya seni yang berharga.
Dona pun berkomitmen untuk terus mengembangkan dan mempertahankan songket Silungkang sebagai bagian tradisi Minang dengan tetap memakai alat tenun bukan mesin, setia dengan motif klasik, menghidupkan motif yang pernah berjaya pada masanya, dan memakai pewarna alami.
Ia berpesan kepada generasi muda tak perlu malu untuk mempertahankan tradisi songket karena ini adalah peluang yang menjanjikan.
"Bahkan bagi yang ingin kuliah bisa dibiayai lewat jual songket," ujarnya.
Sekarang di Sawahlunto, kota kecil yang berjarak sekitar 80 kilometer dari ibu kota Provinsi Sumatera Barat songket menjadi ikon ekonomi kreatif kota yang dulunya merupakan daerah penghasil batu bara.
Berdasarkan data yang dihimpun dari pemerintah kota setempat terdapat 837 perajin pada 18 desa dan kelurahan tersebar di empat kecamatan.
Dari jumlah UMKM songket tersebut perajin mampu menghasilkan kain songket sebanyak 192 helai per hari, atau dua helai dalam tiga hari.
Dukungan Perbankan
Sebelumnya Presiden Direktur Maybank Indonesia, Taswin Zakaria menyatakan pihaknya fokus menggarap pembiayaan pada sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Tanah Air karena merupakan motor utama penggerak ekonomi.
"Bisnis terbesar Maybank Indonesia adalah sektor UMKM karena itu dalam empat tahun terakhir pertumbuhan aset kami berasal dari sektor tersebut," kata dia saat saat peresmian kembali Kantor Maybank Cabang Padang.
Menurutnya ke depan pihaknya akan lebih fokus menggarap UMKM apalagi di Padang 80 persen ekonomi di daerah tersebut ditopang oleh sektor itu.
"Kami akan terus dukung agar perkembangan UMKM semakin pesat," tambahnya.
Saat ini total pembiayaan pada sektor UMKM mencapai 40 persen dari total dana yang ada.
"Kalau berikut retail dan UMKM totalnya ada 70 persen aset kami di sektor itu," ujarnya.
Kemudian sebagai bentuk kepedulian tanggung jawab sosial perusahaan Maybank juga melatih para perempuan penenun yang ada di Sawahlunto agar produk yang dihasilkan bisa dipasarkan dan cara mengelola usaha hingga pemasaran.