Selain sebagai daerah kepulauan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, juga memiliki potensi hutan cukup luas yang tersebar pada beberapa pulau besar yang ada, yaitu Pulau Siberut, Sipora dan Pagai.
Keberadaan hutan sendiri memiliki arti penting bagi masyarakat adat Mentawai. Sebagai masyarakat tradisional, hubungan antara hutan dan manusia tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain.
Bagi masyarakat Mentawai, hutan merupakan sumber kehidupan, di dalamnya tersedia berbagai macam kebutuhan yang telah membuat mereka bertahan sejak zaman dahulu.
Segala kebutuhan sandang, pangan dan papan disediakan oleh alam, sehingga masyarakat memiliki kepentingan untuk menjaga keberadaan hutan agar dapat terus bertahan hidup.
Selain sebagai sumber kehidupan, hutan juga erat kaitannya dengan kebudayaan. Interaksi masyarakat dengan alam perlahan mulai membentuk kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah seorang sikerei atau dukun tradisional asal Pulau Siberut, Aikub Sakalio menyebutkan bagi mereka hutan adalah segala-galanya, sumber kehidupan, tempat mereka menggantungkan kehidupan sehari-hari.
Ketakutannya terhadap kerusakan hutan bukanlah tanpa alasan, aktifitas mereka dalam berbagai hal sangat bergantung dengan keberadaan hutan, dan bahkan eksistensi kebudayaan juga bergantung pada hal tersebut.
"Segala jenis obat-obatan, makanan, bahan-bahan untuk membangun hunian hingga teknologi semua ada di hutan, dengan itulah kami bertahan hidup," katanya.
Bukan hendak menolak pembangunan, akan tetapi sikerei yang hampir seluruh tubuhnya dihiasi tato tradisional itu hanya ingin mempertahankan tradisi yang sudah ada sejak dulu.
Baginya, bagaimana pun banyak kemajuan pembangunan, apabila hanya akan menghilangkan hutan dan budaya mereka, maka hal tersebut tidak akan ada gunanya.
Menurut dia, hutan merupakan lambang kemandirian masyarakat Mentawai, sehingganya ia tidak mau apabila hutan yang harusnya menjadi sumber kehidupan tersebut rusak maupun habis.
"Mentawai tanpa hutan tidak akan ada artinya," tegasnya.
Lebih lanjut Sikerei Aikub Sakaliau menambahkan, hingga kapan pun ia akan terus mempertahankan keberadaan hutan, agar keseimbangan kehidupan dapat terus terjaga.
Senada, sikerei lainnya, Pangarita Tasiritoitet mengatakan tanpa adanya hutan, maka tidak akan ada budaya dan apabila tidak ada budaya maka tidak akan ada kehidupan.
Menurutnya, sampai kapan pun hutan akan tetap menjadi bagian dari kehidupan mereka. Ketika akan melakukan pengobatan, maka ia harus mencari ramuan serta berbagai macam tumbuhan dari hutan.
"Apabila hutan sudah hilang, dari mana kami akan mendapatkan dedaunan untuk pengobatan dan ritual adat lainnya," ujarnya.
Sementara itu Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), Rifai mengatakan berbagai aspek kehidupan masyarakat Mentawai sangat berkaitan erat dengan hutan.
Menurutnya, kearifan lokal yang ada saat ini awalnya berangkat dari keberadaan hutan, salah satunya adalah ritual pengobatan yang biasa dilakukan oleh sikerei.
Seluruh kebutuhan ritual berupa daun-daunan akan dicari di hutan. Oleh karena itu, hutan tidak hanya dibutuhkan oleh sikerei akan tetapi oleh seluruh masyarakat Mentawai.
Selain itu dalam hal kesenian mereka juga terisnspirasi dari alam. Pada tarian atau turuk yang biasa dilakukan oleh sikerei, gerakannya meniru pola atau tingkah laku binatang yang ada di hutan.
"Kalau di Mentawai sudah tidak ada lagi hutan, maka kebudayaan masyarakat pun akan ikut terancam," ujarnya.
Pelatih seni dari Sanggar Uma Jaraik Sikerei, Mateus Sakukuret menyebutkan, gerakan turuk yang dilakukan oleh sikerei mengambil pola gerakan binatang yang biasa mereka temukan di hutan, seperti burung dan primata.
Setidaknya terdapat dua tarian yang gerakannya terinspirasi dari binatang, yaitu turuk uliyat manyang atau tarian menyerupai elang serta turuk uliyat bilou atau tarian menyerupai bilou yang merupakan primata endemik Mentawai.
Menurut Meteus, setiap gerakannya begitu mirip dengan gerakan binatang yang ditiru, hal itu karena sejak zaman dahulu masyarakat Mentawai sangat dekat dengan hutan sehingga mereka sering berinteraksi dengan hewan-hewan tersebut.
"Ketika beraktifitas di hutan, mereka akan bertemu dengan banyak binatang, sehingga gerakan-gerakan binatang tersebut yang kemudian diadopsi menjadi sebuah tarian," kata dia.
Percepatan Penetapan Hutan Adat
Terkait dengan hutan adat, sebelumnya Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No 11 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Uma Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.
Dalam Perda tersebut diatur tentang keberadaan panitia penetapan pengakuan uma sebagai lembaga bersifat 'ad hoc' yang dibentuk untuk melakukan verifikasi terhadap penetapan pengakuan Uma sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Mentawai.
Sekalipun demikian, Rifai menerangkan, yang menjadi kendala saat ini adalah, panitia penetapan pengakuan uma tersebut belum terbentuk sesuai amanat pasal 1 ayat 15 Perda No 11 Tahun 2017.
Padahal beberapa komunitas masyarakat adat di Mentawai telah melakukan pemetaan wilayah adat dan mengusulkan permohonan pengakuan wilayah adat tersebut kepada Bupati Kepulauan Mentawai.
Belum terbentuknya panitia tersebut lantaran belum dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) bupati terkait Panitia Penetapan Pengakuan Uma sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Mentawai.
Oleh sebab itu, ia mendorong agar pemerintah setempat segera menindaklanjuti keberadaan Perda No 11 Tahun 2017 dengan segera menerbitkan Peraturan Bupati (Perbub).
Selain itu rancangan perbub yang ada saat ini agar dapat lebih disempurnakan dengan cara menyederhanakan proses dan kriteria, kemudian dilanjutkan dengan melakukan singkronisasi antara tugas dan kewenangan dalam rancangan perbub tersebut.
Kepastian Hak Adat
Dengan diaturnya hutan di Mentawai sebagai hutan adat, maka masyarakat adat yang mendiami daerah tersebut akan mendapatkan kepastian hak adat dan diakui secara sah.
Rifai menyebutkan, ketika sudah ada kepastian hak tersebut, maka masyarakat adat dapat mempertahankan wilayah mereka seandainya nanti ada pihak-pihak luar yang ingin mengambil alih wilayah hutan mereka.
Sementara itu salah seorang pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mentawai, Lukas mengatakan untuk dapat menjaga eksistensi hutan dan kebudayaan Mentawai, maka seluruh pihak harus saling bersinergi.
Apabila upaya tersebut dijalankan sendiri-sendiri oleh masing-masing pihak, maka akan sulit untuk menjaga agar hutan dan kebudayaan Mentawai tetap eksis.
"Harus ada sinergi dari banyak pihak, baik itu pemerintah, pelaku kebudayaan atau masyarakat adat, budayawan serta LSM yang bergerak di bidang tersebut," ujarnya. (*)
Keberadaan hutan sendiri memiliki arti penting bagi masyarakat adat Mentawai. Sebagai masyarakat tradisional, hubungan antara hutan dan manusia tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain.
Bagi masyarakat Mentawai, hutan merupakan sumber kehidupan, di dalamnya tersedia berbagai macam kebutuhan yang telah membuat mereka bertahan sejak zaman dahulu.
Segala kebutuhan sandang, pangan dan papan disediakan oleh alam, sehingga masyarakat memiliki kepentingan untuk menjaga keberadaan hutan agar dapat terus bertahan hidup.
Selain sebagai sumber kehidupan, hutan juga erat kaitannya dengan kebudayaan. Interaksi masyarakat dengan alam perlahan mulai membentuk kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah seorang sikerei atau dukun tradisional asal Pulau Siberut, Aikub Sakalio menyebutkan bagi mereka hutan adalah segala-galanya, sumber kehidupan, tempat mereka menggantungkan kehidupan sehari-hari.
Ketakutannya terhadap kerusakan hutan bukanlah tanpa alasan, aktifitas mereka dalam berbagai hal sangat bergantung dengan keberadaan hutan, dan bahkan eksistensi kebudayaan juga bergantung pada hal tersebut.
"Segala jenis obat-obatan, makanan, bahan-bahan untuk membangun hunian hingga teknologi semua ada di hutan, dengan itulah kami bertahan hidup," katanya.
Bukan hendak menolak pembangunan, akan tetapi sikerei yang hampir seluruh tubuhnya dihiasi tato tradisional itu hanya ingin mempertahankan tradisi yang sudah ada sejak dulu.
Baginya, bagaimana pun banyak kemajuan pembangunan, apabila hanya akan menghilangkan hutan dan budaya mereka, maka hal tersebut tidak akan ada gunanya.
Menurut dia, hutan merupakan lambang kemandirian masyarakat Mentawai, sehingganya ia tidak mau apabila hutan yang harusnya menjadi sumber kehidupan tersebut rusak maupun habis.
"Mentawai tanpa hutan tidak akan ada artinya," tegasnya.
Lebih lanjut Sikerei Aikub Sakaliau menambahkan, hingga kapan pun ia akan terus mempertahankan keberadaan hutan, agar keseimbangan kehidupan dapat terus terjaga.
Senada, sikerei lainnya, Pangarita Tasiritoitet mengatakan tanpa adanya hutan, maka tidak akan ada budaya dan apabila tidak ada budaya maka tidak akan ada kehidupan.
Menurutnya, sampai kapan pun hutan akan tetap menjadi bagian dari kehidupan mereka. Ketika akan melakukan pengobatan, maka ia harus mencari ramuan serta berbagai macam tumbuhan dari hutan.
"Apabila hutan sudah hilang, dari mana kami akan mendapatkan dedaunan untuk pengobatan dan ritual adat lainnya," ujarnya.
Sementara itu Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), Rifai mengatakan berbagai aspek kehidupan masyarakat Mentawai sangat berkaitan erat dengan hutan.
Menurutnya, kearifan lokal yang ada saat ini awalnya berangkat dari keberadaan hutan, salah satunya adalah ritual pengobatan yang biasa dilakukan oleh sikerei.
Seluruh kebutuhan ritual berupa daun-daunan akan dicari di hutan. Oleh karena itu, hutan tidak hanya dibutuhkan oleh sikerei akan tetapi oleh seluruh masyarakat Mentawai.
Selain itu dalam hal kesenian mereka juga terisnspirasi dari alam. Pada tarian atau turuk yang biasa dilakukan oleh sikerei, gerakannya meniru pola atau tingkah laku binatang yang ada di hutan.
"Kalau di Mentawai sudah tidak ada lagi hutan, maka kebudayaan masyarakat pun akan ikut terancam," ujarnya.
Pelatih seni dari Sanggar Uma Jaraik Sikerei, Mateus Sakukuret menyebutkan, gerakan turuk yang dilakukan oleh sikerei mengambil pola gerakan binatang yang biasa mereka temukan di hutan, seperti burung dan primata.
Setidaknya terdapat dua tarian yang gerakannya terinspirasi dari binatang, yaitu turuk uliyat manyang atau tarian menyerupai elang serta turuk uliyat bilou atau tarian menyerupai bilou yang merupakan primata endemik Mentawai.
Menurut Meteus, setiap gerakannya begitu mirip dengan gerakan binatang yang ditiru, hal itu karena sejak zaman dahulu masyarakat Mentawai sangat dekat dengan hutan sehingga mereka sering berinteraksi dengan hewan-hewan tersebut.
"Ketika beraktifitas di hutan, mereka akan bertemu dengan banyak binatang, sehingga gerakan-gerakan binatang tersebut yang kemudian diadopsi menjadi sebuah tarian," kata dia.
Percepatan Penetapan Hutan Adat
Terkait dengan hutan adat, sebelumnya Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No 11 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Uma Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.
Dalam Perda tersebut diatur tentang keberadaan panitia penetapan pengakuan uma sebagai lembaga bersifat 'ad hoc' yang dibentuk untuk melakukan verifikasi terhadap penetapan pengakuan Uma sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Mentawai.
Sekalipun demikian, Rifai menerangkan, yang menjadi kendala saat ini adalah, panitia penetapan pengakuan uma tersebut belum terbentuk sesuai amanat pasal 1 ayat 15 Perda No 11 Tahun 2017.
Padahal beberapa komunitas masyarakat adat di Mentawai telah melakukan pemetaan wilayah adat dan mengusulkan permohonan pengakuan wilayah adat tersebut kepada Bupati Kepulauan Mentawai.
Belum terbentuknya panitia tersebut lantaran belum dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) bupati terkait Panitia Penetapan Pengakuan Uma sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Mentawai.
Oleh sebab itu, ia mendorong agar pemerintah setempat segera menindaklanjuti keberadaan Perda No 11 Tahun 2017 dengan segera menerbitkan Peraturan Bupati (Perbub).
Selain itu rancangan perbub yang ada saat ini agar dapat lebih disempurnakan dengan cara menyederhanakan proses dan kriteria, kemudian dilanjutkan dengan melakukan singkronisasi antara tugas dan kewenangan dalam rancangan perbub tersebut.
Kepastian Hak Adat
Dengan diaturnya hutan di Mentawai sebagai hutan adat, maka masyarakat adat yang mendiami daerah tersebut akan mendapatkan kepastian hak adat dan diakui secara sah.
Rifai menyebutkan, ketika sudah ada kepastian hak tersebut, maka masyarakat adat dapat mempertahankan wilayah mereka seandainya nanti ada pihak-pihak luar yang ingin mengambil alih wilayah hutan mereka.
Sementara itu salah seorang pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mentawai, Lukas mengatakan untuk dapat menjaga eksistensi hutan dan kebudayaan Mentawai, maka seluruh pihak harus saling bersinergi.
Apabila upaya tersebut dijalankan sendiri-sendiri oleh masing-masing pihak, maka akan sulit untuk menjaga agar hutan dan kebudayaan Mentawai tetap eksis.
"Harus ada sinergi dari banyak pihak, baik itu pemerintah, pelaku kebudayaan atau masyarakat adat, budayawan serta LSM yang bergerak di bidang tersebut," ujarnya. (*)