Jakarta, (Sumbar Antaranews) - Dokter ahli penyakit saraf (neurolog) yang juga anggota "International Advance Research" Asosiasi Alzheimer
Internasional (AAICAD) dr Andreas Harry SpS (K) menyatakan bahwa heparin tidak digunakan untuk penyakit demensia (kepikunan) dan parkinson.

        "Selain itu, juga tidak digunakan untuk beberapa penyakit lainnya," katanya di Jakarta, Minggu.

        Sejumlah penyakit lainnya yang semestinya tidak menggunakan heparin adalah vertigo, migraine (sakit kepala), trauma kepala,
neuropati, disfungsi seksual, schizophrenia, hipertensi ensefalopati, dan  hidrosefalus.

        "Meski kenyataannya heparin, yang nota bene dikenal dalam 'brain wash' (cuci otak), dilakukan pada pasien dimaksud," kata
neurolog lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu.

        Ia menjelaskan bahwa heparin sebagai antikoagulan (pengencer darah) telah digunakan berpuluh-puluh tahun untuk mencegah (preventif)
terjadinya serangan stroke (brain attack) dan serangan jantung (heart attack).

        "Namun, bukan sebagai pengobatan atau terapi penderita stroke infark, stroke pendarahan mikro," katanya.

        Sebagai tanggung jawab  anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi),
ia mengapresiasi Dr dr Terawan Agus Putranto SpRad (K) RI (radiologi intervensi) yang telah membuktikan dalam disertasinya mengenai peran
heparin untuk memperlancar aliran darah otak (cerebral blood flow) pada objek stroke iskemia kronik, dan bukan stroke infark ataupun
pendarahan.

        Namun, ia menjelaskan bahwa heparin dapat menimbulkan efek samping medis pendarahan otak hingga tiga persen, sebagaimana
diketahuinya, sekaligus menangani pasien yang telah diberikan heparin dalam cuci otak.

        Efek samping tersebut yakni terjadi pendarahan pada penderita stroke infak emboli, terjadi afasia sensorik (gangguan bicara berat)
pada penderita trauma kepala temporal kiri (pusat bicara).

        Terkait kontroversi Dr dr Terawan Agus Putranto SpRad (K) RI, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia PB IDI menunda pemecatan
sementara yang dijatuhkan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI.

          Keputusan tersebut diberikan karena PB IDI masih memverifikasi pengumpulan bukti tambahan serta jawaban dr Terawan
dalam forum pembelaan.
    Komisi IX DPR RI pada Rabu (11/4) 2018  mengundang PB IDI dan Kementerian Kesehatan, dalam rapat dengar pendapat (RDP) untuk
memperoleh klarifikasi secara langsung, terkait putusan IDI memecat sementara dr Terawan, yang kini ditunda.
    Namun, RDP yang sedianya menghadirkan dr Terawan tidak berlangsung karena yang bersangkutan sedang berada di luar negeri.

          Komisi IX kemudian memberikan sejumlah rekomendasi menanggapi polemik pemecatan itu, di antaranya agar Kementerian
Kesehatan membentuk Satuan Tugas (Satgas) bersama dengan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan IDI guna menilai layak atau tidaknya
metode Digital Substraction Angiogram (DSA) yang digunakan dr Terawan dalam terapi cuci otaknya, sebagai metode terapetik.

        Kemudian, meminta agar Kemenkes, KKI, dan IDI untuk segera menyelesaikan permasalahan tentang dr Terawan, dan meminta ketiga
lembaga tersebut untuk menjelaskan metode DSA itu kepada seluruh masyarakat sehingga tidak ada keresahan yang ditimbulkan.

        Sementara itu, Kepala Balitbang Kementerian Kesehatan Siswanto mengatakan, hasil disertasi mengenai terapi cuci otak yang dilakukan
dr Terawan memerlukan uji klinis tambahan.

        Ia menambahkan metode cuci otak yang dilakukan dr Terawan dalam dunia kedokteran bersifat diagnosis, bukan kuratif.
 

Pewarta : Andi Jauhari
Editor : Azhari
Copyright © ANTARA 2024