Seorang anak tampak asyik menikmati tayangan ponsel pintar. Matanya memperhatikan layar monitor HP tersebut tanpa berkedip. Sesekali anak tersebut merubah posisi duduknya, namun sorot matanya tidak terlepas dari HP yang ada di gengamannya.
Ibu anak tersebut terlihat sibuk mengamati lingkungan sekitarnya, dan tidak memperhatikan apa yang sedang ditonton oleh anaknya. Seseorang terlihat memvideokan HP anak tersebut, dan sungguh miris ternyata anak tersebut menonton sebuah video porno yang ada di HP tersebut.
Kejadian di atas, viral di dunia maya dan cukup menggegerkan masyarakat. Banyak pendapat dan tanggapan netizen beredar dan menyayangkan kejadian tersebut.
Seorang anak yang usianya masih balita seharusnya tidak melihat video tersebut, namun apa lacur anak tersebut telah menonton video yang seharusnya bukan konsumsinya. Pakar Pendidikan dari Universitas Negeri Padang, Dr. Alwen Bentri, M.Pd menyayangkan kejadian tersebut.
Menurutnya anak yang menonton video asusila tersebut akan berdampak kepada psikologis anak. Psikologis anak akan terganggu karena melihat kejadian yang tidak terduga tersebut, hal yang ada dalam video tersebut akan terekam dalam memori jangka panjang anak dan bukan tidak mungkin akan membuat anak menjadi trauma akibat menonton kejadian yang tidak senonoh tersebut, kata Alwen yang juga Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNP tersebut.
Lebih lanjut dikatakannya, menonoton video porno telah terbukti dapat merusak jaringan pada otak anak, bahkan tidak mustahil akan membuatnya menjadi candu dan berdampak buruk terhadap perkembangan anak.
Disarankan Alwen, para orangtua haruslah berperan aktif mengontrol tontonan yang diberikan kepada anak, karena jika salah memberikan tontonan kepada anak tentu akan berdampak kepada perkembangan psikologis anak.
Menurutnya saat ini memang anak harus dikenalkan dengan dunia teknologi informasi, namun harus ada koridor yang jelas batas tayangan yang dapat dilihat oleh anak dengan yang tidak.
Jika salah memberikan tontotan atau video yang tidak sesuai pada anak, tentu akan berdampak buruk kepada anak, bahkan anak akan cenderung meniru kejadian yang tidak baik yang ditontonnya, kata Alwen yang juga banyak meneliti tentang karakter anak tersebut.
Hal senada juga diungkapkan pakar pendidikan UNP Prof. Mudjiran. Menurut dia, keluarga yang merupakan pilar utama untuk memberikan pendidikan kepada anak. Keluarga, terutama orangtua harus harus mampu memberikan pendidikan yang baik kepada anak dengan cara memberikan teladan yang baik kepada anak.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Mudjiran, saat ini dunia anak boleh dikatakan rawan akibat gempuran tayangan televisi yang tidak mendidik dan juga penyebaran video yang tidak baik melalui internet, sehubungan dengan hal tersebut, orangtua diperlukan sebagai role model bagi anak dan menjadi pengawas yang memberikan pengawasan maksimal terhadap tontonan yang dikonsumsi anak.
Orangtua tidak bisa bersikap acuh tidak cuh terhadap tontonan anak, dan orangtua wajib bertanggung jawab memberikan tontonan yang baik kepada anak untuk dapat memberikan pengaruh positif bagi anak, apalagi sekarang di era teknologi informasi dimana sumber informasi yang tanpa batas kata Profesor bidang konseling pendidikan ini.
Lebih lanjut dijelaskanya, keluarga merupakan pilar utama pendidikan. Lingkungan keluarga harus didesain sedemikian rupa untuk dapat menghasilkan generasi yang mumpuni memiliki intelektual tinggi dan karakter positif.
Sehubungan dengan bergulirnya Era digital, yang merupakan era dimana informasi menyebar tanpa batas maka dibutuhkan fondasi yang kokoh untuk mempersiapkan anak menghadapi era digital.
Menurut Dr. Alwen, anak dan orangtua perlu dibekali kemampuan untuk mampu memahami literasi digital, dimana kemampuan tersebut penting agar mampu menyaring informasi dan menggunakan informasi yang tepat untuk dikonsumsi anak.
Literasi digital, bukan hanya soal pencaharian informasi di dunia maya, namun juga diperlukan kemampuan orangtua untuk memilihkan informasi dan tayangan yang tepat untuk dikonsumsi anak agar tidak terjebak dalam tontotan yang negatif.
Peran Orangtua
Orangtua merupakan faktor penentu baik dan buruknya karakter anak. Anak sejak didalam kandungan telah dapat diberikan pendidikan yang baik dengan cara memberikan stimulus guna meransang pertumbuhan anak.
Cara memberikan stimulus tersebut misalnya dengan cara memperdengarkan musik klasik dan juga membacakan ayat Alquran bagi muslim yang berfungsi meningkatkan kecerdasan anak.
Selanjutnya setelah anak lahir, keluarga yang merupakan pilar pendidikan yang utama perlu memberikan kontribusi yang positif untuk perkembangan dan pembelajaran anak.
Menurut Undang-undang pendidikan terdapat tiga lingkugan belajar yakni lingkungan keluarga sekolah dan masyarakat. Banyak orang tua tidak menyadari pengembangan potensi anak pada lingkungan keluarga ini.
Padahal menurut ahli pendidikan Piaget yang terkenal dengan teori tahap perkembangan anak membagi empat tahap perkembangan anak yakni pada usia 0-2 tahun, usia 2-8 tahun, 8- 17 tahun dan diatas 17 tahun.
Pada dua tahap pertama lingkungan keluarga memiliki peran yang optimal dalam membentuk karakter anak. Lingkungan keluarga harus menjadi pilar utama bagi anak, terutama dalam mempersiapkan anak didik untuk menghadapi era teknologi informasi dan komunikasi (era digital).
Pada era digital, dimana informasi beredar tanpa batas, maka dibutuhkan kemampuan bagi anak untuk untuk dapat memilah informasi yang dibutuhkannya.
Bagi anak usia dini dibutuhkan peran orangtua untuk menjadi pemandu dan penyaring mana informasi yang diperlukan dan tidak bagi anak. Orangtua merupakan pilar utama dalam memberikan pendidikan kepada anak.
Membentuk Generasi Emas
Tahun 2045 merupakan masa Indonesia emas yang membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk menghadapi periode tersebut perlu mempersiapkan generasi muda yang siap secara intelektual dan karakter untuk berkontribusi pada pembangunan Indonesia.
Guna membentuk generasi emas tersebut dibutuhkan peran orangtua seperti menjadi model karakter yang dijadikan panutan anak.
Orangtua harus menjadi model bagi anak, karena orangtualah tokoh yang pertama kali ditiru anak, baik atau buruk anak merupakan tanggung jawab orangtua dalam membentuk karakter anak kata Dr. Alwen.
Menurut dia, dalam era digital anak harus dibekali sejumlah kemampuan yakni kemampuan literasi terkait bagaimana memilih informasi yang tepat untuk dikonsumsi dan etika dalam berdunia digital.
Etika seseorang dalam dunia maya juga terlihat bagaimana dia memposting dan mengulod sebuah tulisan dan juga bagaimana seseorang mengomentari tulisan yang ada di duni maya tersebut, katanya.
Dia menambahkan tidak kalah pentingnya adalah bagaimana peran orangtua dalam memantau dan memonitoring aktivitas anak di dunia maya.
Disarannya, orangtua harus juga melek terhadap teknologi sehingga tidak dapat berpartisipasi aktif bersama anak dalam kegiatan di dunia maya.
Lebih lanjut dijelaskannya beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua dalam mempersiapkan karakter yang positif bagi anak yakni memberikan bekal ilmu agama yang cukup bagi anak sebagai pondasi anak dalam menjalani kehidupannya.
Selanjutnya secara aktif memantau dan memonitoring penggunaan fasilitas dunia maya bagi anak, dan secara aktif melibatkan diri bersama anak dalam berkegiatan positif di dunia digital.
Terakhir, orangtua haruslah menjadi orangtua yang bijak dan berkontribusi positif dalam mempersiapkan anak untuk siap menghadapi era digital. Era dimana informasi tanpa batas ruang dan waktu.***
Ibu anak tersebut terlihat sibuk mengamati lingkungan sekitarnya, dan tidak memperhatikan apa yang sedang ditonton oleh anaknya. Seseorang terlihat memvideokan HP anak tersebut, dan sungguh miris ternyata anak tersebut menonton sebuah video porno yang ada di HP tersebut.
Kejadian di atas, viral di dunia maya dan cukup menggegerkan masyarakat. Banyak pendapat dan tanggapan netizen beredar dan menyayangkan kejadian tersebut.
Seorang anak yang usianya masih balita seharusnya tidak melihat video tersebut, namun apa lacur anak tersebut telah menonton video yang seharusnya bukan konsumsinya. Pakar Pendidikan dari Universitas Negeri Padang, Dr. Alwen Bentri, M.Pd menyayangkan kejadian tersebut.
Menurutnya anak yang menonton video asusila tersebut akan berdampak kepada psikologis anak. Psikologis anak akan terganggu karena melihat kejadian yang tidak terduga tersebut, hal yang ada dalam video tersebut akan terekam dalam memori jangka panjang anak dan bukan tidak mungkin akan membuat anak menjadi trauma akibat menonton kejadian yang tidak senonoh tersebut, kata Alwen yang juga Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNP tersebut.
Lebih lanjut dikatakannya, menonoton video porno telah terbukti dapat merusak jaringan pada otak anak, bahkan tidak mustahil akan membuatnya menjadi candu dan berdampak buruk terhadap perkembangan anak.
Disarankan Alwen, para orangtua haruslah berperan aktif mengontrol tontonan yang diberikan kepada anak, karena jika salah memberikan tontonan kepada anak tentu akan berdampak kepada perkembangan psikologis anak.
Menurutnya saat ini memang anak harus dikenalkan dengan dunia teknologi informasi, namun harus ada koridor yang jelas batas tayangan yang dapat dilihat oleh anak dengan yang tidak.
Jika salah memberikan tontotan atau video yang tidak sesuai pada anak, tentu akan berdampak buruk kepada anak, bahkan anak akan cenderung meniru kejadian yang tidak baik yang ditontonnya, kata Alwen yang juga banyak meneliti tentang karakter anak tersebut.
Hal senada juga diungkapkan pakar pendidikan UNP Prof. Mudjiran. Menurut dia, keluarga yang merupakan pilar utama untuk memberikan pendidikan kepada anak. Keluarga, terutama orangtua harus harus mampu memberikan pendidikan yang baik kepada anak dengan cara memberikan teladan yang baik kepada anak.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Mudjiran, saat ini dunia anak boleh dikatakan rawan akibat gempuran tayangan televisi yang tidak mendidik dan juga penyebaran video yang tidak baik melalui internet, sehubungan dengan hal tersebut, orangtua diperlukan sebagai role model bagi anak dan menjadi pengawas yang memberikan pengawasan maksimal terhadap tontonan yang dikonsumsi anak.
Orangtua tidak bisa bersikap acuh tidak cuh terhadap tontonan anak, dan orangtua wajib bertanggung jawab memberikan tontonan yang baik kepada anak untuk dapat memberikan pengaruh positif bagi anak, apalagi sekarang di era teknologi informasi dimana sumber informasi yang tanpa batas kata Profesor bidang konseling pendidikan ini.
Lebih lanjut dijelaskanya, keluarga merupakan pilar utama pendidikan. Lingkungan keluarga harus didesain sedemikian rupa untuk dapat menghasilkan generasi yang mumpuni memiliki intelektual tinggi dan karakter positif.
Sehubungan dengan bergulirnya Era digital, yang merupakan era dimana informasi menyebar tanpa batas maka dibutuhkan fondasi yang kokoh untuk mempersiapkan anak menghadapi era digital.
Menurut Dr. Alwen, anak dan orangtua perlu dibekali kemampuan untuk mampu memahami literasi digital, dimana kemampuan tersebut penting agar mampu menyaring informasi dan menggunakan informasi yang tepat untuk dikonsumsi anak.
Literasi digital, bukan hanya soal pencaharian informasi di dunia maya, namun juga diperlukan kemampuan orangtua untuk memilihkan informasi dan tayangan yang tepat untuk dikonsumsi anak agar tidak terjebak dalam tontotan yang negatif.
Peran Orangtua
Orangtua merupakan faktor penentu baik dan buruknya karakter anak. Anak sejak didalam kandungan telah dapat diberikan pendidikan yang baik dengan cara memberikan stimulus guna meransang pertumbuhan anak.
Cara memberikan stimulus tersebut misalnya dengan cara memperdengarkan musik klasik dan juga membacakan ayat Alquran bagi muslim yang berfungsi meningkatkan kecerdasan anak.
Selanjutnya setelah anak lahir, keluarga yang merupakan pilar pendidikan yang utama perlu memberikan kontribusi yang positif untuk perkembangan dan pembelajaran anak.
Menurut Undang-undang pendidikan terdapat tiga lingkugan belajar yakni lingkungan keluarga sekolah dan masyarakat. Banyak orang tua tidak menyadari pengembangan potensi anak pada lingkungan keluarga ini.
Padahal menurut ahli pendidikan Piaget yang terkenal dengan teori tahap perkembangan anak membagi empat tahap perkembangan anak yakni pada usia 0-2 tahun, usia 2-8 tahun, 8- 17 tahun dan diatas 17 tahun.
Pada dua tahap pertama lingkungan keluarga memiliki peran yang optimal dalam membentuk karakter anak. Lingkungan keluarga harus menjadi pilar utama bagi anak, terutama dalam mempersiapkan anak didik untuk menghadapi era teknologi informasi dan komunikasi (era digital).
Pada era digital, dimana informasi beredar tanpa batas, maka dibutuhkan kemampuan bagi anak untuk untuk dapat memilah informasi yang dibutuhkannya.
Bagi anak usia dini dibutuhkan peran orangtua untuk menjadi pemandu dan penyaring mana informasi yang diperlukan dan tidak bagi anak. Orangtua merupakan pilar utama dalam memberikan pendidikan kepada anak.
Membentuk Generasi Emas
Tahun 2045 merupakan masa Indonesia emas yang membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk menghadapi periode tersebut perlu mempersiapkan generasi muda yang siap secara intelektual dan karakter untuk berkontribusi pada pembangunan Indonesia.
Guna membentuk generasi emas tersebut dibutuhkan peran orangtua seperti menjadi model karakter yang dijadikan panutan anak.
Orangtua harus menjadi model bagi anak, karena orangtualah tokoh yang pertama kali ditiru anak, baik atau buruk anak merupakan tanggung jawab orangtua dalam membentuk karakter anak kata Dr. Alwen.
Menurut dia, dalam era digital anak harus dibekali sejumlah kemampuan yakni kemampuan literasi terkait bagaimana memilih informasi yang tepat untuk dikonsumsi dan etika dalam berdunia digital.
Etika seseorang dalam dunia maya juga terlihat bagaimana dia memposting dan mengulod sebuah tulisan dan juga bagaimana seseorang mengomentari tulisan yang ada di duni maya tersebut, katanya.
Dia menambahkan tidak kalah pentingnya adalah bagaimana peran orangtua dalam memantau dan memonitoring aktivitas anak di dunia maya.
Disarannya, orangtua harus juga melek terhadap teknologi sehingga tidak dapat berpartisipasi aktif bersama anak dalam kegiatan di dunia maya.
Lebih lanjut dijelaskannya beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua dalam mempersiapkan karakter yang positif bagi anak yakni memberikan bekal ilmu agama yang cukup bagi anak sebagai pondasi anak dalam menjalani kehidupannya.
Selanjutnya secara aktif memantau dan memonitoring penggunaan fasilitas dunia maya bagi anak, dan secara aktif melibatkan diri bersama anak dalam berkegiatan positif di dunia digital.
Terakhir, orangtua haruslah menjadi orangtua yang bijak dan berkontribusi positif dalam mempersiapkan anak untuk siap menghadapi era digital. Era dimana informasi tanpa batas ruang dan waktu.***