Padang, (Antara Sumbar) - Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat (Sumbar) mencatat ekspor provinsi itu pada April 2017 mencapai 221,84 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau naik 23,32 persen dibandingkan Maret tahun yang sama yang hanya 179,89  juta dolar AS.

         "Golongan barang paling banyak diekspor pada  April 2017  adalah  lemak dan  minyak hewan senilai  131,19 juta dolar AS, karet dan barang dari karet sebesar 52,57 juta dolar AS, dan kopi, teh, rempah-rempah 4,16  juta dolar AS," kata Kepala BPS Sumbar, Sukardi di Padang, Senin.

         Menurut dia  kenaikan  ekspor nonmigas April   2017 jika dibandingkan  Maret 2017 terjadi ke  negara tujuan  yaitu India  naik sebesar   56,10 persen, Amerika Serikat 34,08 persen dan  Malaysia  29,43 persen.

         Sementara itu ekspor ke beberapa negara lain mengalami penurunan  yaitu Singapura  turun  5,31 persen dan Tiongkok 27,83 persen.

         Kemudian negara  tujuan ekspor nonmigas terbesar pada April 2017 adalah   India sebesar 88,26 juta dolar AS, Amerika  Serikat 58,75 juta dolar AS, dan  Singapura 18,42 juta dolar AS.

         Ekspor ke India memberikan peranan sebesar 35,20 persen terhadap total ekspor Sumbar, Amerika Serikat 22 persen dan Singapura 9,44 persen, ujarnya.

         Sejalan dengan itu  ekspor produk industri  pada April  2017 mengalami penaikan  sebesar 21,01 persen dibanding  maret 2017, lanjut dia.

         Ekspor sektor pertanian juga mengalami kenaikan  sebesar 34,01 persen, ujarnya.

         Ia menambahkan kontribusi sektor industri terhadap total ekspor Sumbar periode Januari- April  sebesar 97,54 persen, dan kontribusi sektor pertanian  sebesar 1,18 persen.

         Sebelumnya Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara pada temu wartawan daerah mengatakan  saat ini ekspor dan impor Indonesia mengalami defisit dan jika rupiah terlalu kuat maka yang akan terjadi adalah biaya impor  murah sehingga produksi dalam negeri  turun.

         Akibatnya impor akan semakin besar mengalami defisit dan ekspor menjadi tidak kompetitif, katanya.

         Mirza menyebutkan pada 2013 ekspor dan impor Indonesia mengalami defisit sekitar 31 miliar dolar AS, 2014 17 miliar dolar AS dan pada 2016 sekitar 21 miliar dolar AS.

         Namun, menurutnya  pada kurun waktu 2000 sampai 2010 ekspor dan impor Indonesia sempat mengalami surplus karena ketika itu harga komoditas sedang bagus.

         Ia mengatakan ekspor Indonesia didominasi oleh pertambangan dan perkebunan  namun  setelah 2010 harga komoditas tersebut turun. (*)

Pewarta : Ikhwan Wahyudi
Editor :
Copyright © ANTARA 2024