Sawahlunto, (Antara Sumbar) - Budayawan Sativa Sutan Aswar mengatakan untuk mengangkat Songket Silungkang sebagai peradaban dunia dengan menjadikannya sebagai jati diri bangsa.
"Yang terpenting adalah bagaimana memulai menentukan arahan desain melalui para desainer sehingga dapat meduduki tempat yang sejajar dengan busana tradisional dari negara-negara lain seperti Skotlandia dengan Kilt, Belanda dengan Klederdracht dan Jerman dengan Dirndl untuk kaum wanita dan Lederhosen untuk kaum pria," kata dia di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Jumat.
Menurutnya jika dikaitkan antara adab dan songket maka bisa dikatakan songket lahir karena budaya dan adat istiadat suatu kaum serta suatu bangsa untuk membangun jati dirinya.
Bagi masyarakat Minangkabau, jelasnya, sebagian besar kegiatan upacara adat selalu dilengkapi dengan songket yang dapat mencerminkan asal muasal masyarakat adat tersebut.
Untuk menembus songket menjadi peradaban dunia, lanjutnya, kekayaan dan keindahan motif yang dihasilkan pengrajin songket masih harus dikembangkan dengan menilik pakaian apa saja yang digunakan masyarakat di belahan dunia lainnya dan bagaimana mereka dapat menjaga tradisi mereka hingga mampu masuk dalam kancah peradaban dunia.
"Kerja keras dan kemauan inilah yang dibutuhkan pemerintah daerah dan pengrajin untuk mewujudkan semua itu baik berupa regulasi maupun peningkatan kualitas tenun untuk menghadapi persaingan pasar tekstil nasional dan internasional," tambah dia.
Sementara itu, konsulat Kedutaan Besar Laos di Indonesia, Phomma, di sela-sela kunjungannya ke kawasan Kampung Tenun di Kecamatan Silungkang, Kota Sawahlunto, mengatakan sebagai salah satu negara yang dikenal sebagai daerah asal tenun songket, masyarakat Laos selalu menjadikan kain produksi pengrajin mereka sebagai pakaian resmi serta pakaian sehari-hari masyarakat di negara itu.
"Kami sangat menjunjung tinggi kesakralan motif serta warna kain-kain itu sesuai kegunaannya dan siapa yang menggunakan, seperti membedakan corak dan motif berdasarkan peruntukannya bagi kaum pria atau wanita," ungkapnya.
Terkait teknik menenun oleh pengrajin di Silungkang, menurutnya secara umum tidak jauh berbeda dengan pengrajin negara Laos.
"Perbedaan mendasar terdapat pada bahan baku benang yang digunakan, di negara kami songket dibuat berbahan dasar sutera sementara disini lebih banyak menggunakan benang dari serat sintetis," sebutnya.
Terkait hal tersebut, Ketua Forum Pemerhati Pengrajin dan Pengusaha Songket Silungkang Sawahlunto (FP3S3), Fidel Arifin mengatakan penggunaan benang jenis itu dilatar belakangi oleh situasi dan kondisi pengrajin songket setempat akibat sulitnya memperoleh benang pada masa penjajahan jepang.
"Kala itu kami harus menyelundupkan bahan baku dari Singapura, salah satunya dalam bentuk produk kaos kaki untuk diurai kembali dan benangnya dipintal menjadi benang bahan baku pembuatan songket," jelasnya. (*)