Padang, (ANTARA) - Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih, demikian pribahasa mengajarkan. Siapa pun tidak ingin mengalami musibah, namun tidak ada yang dapat memperkirakan apa yang akan terjadi.

         Pada 30 September 2009 Sumatera Barat dilanda gempa bumi berkekuatan 7,9 pada skala richter (SR) yang mengakibatkan 6.234 jiwa meninggal dunia serta terjadi kerusakan parah di tujuh kabupaten/kota.

         Berselang satu tahun kemudian, tepatnya pada 25 September 2010 kembali terjadi gempa bumi berkekuatan 7,7 SR di Kabupaten Kepulauan Mentawai dan diikuti gelombang tsunami.

         Pascagempa Mentawai itu Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam Andi Arief mengatakan, berdasarkan penelitian para ahli terdapat potensi gempa megathrust yang akan mengguncang Pulau Siberut, Mentawai dengan kekuatan mencapai 8,9 SR.

         Gempa ini akan berpotensi tsunami di sepanjang pantai barat Sumatera dengan ketinggian air laut mencapai enam meter.

         Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyiapkan sejumlah upaya untuk meminimalisasi korban jiwa jika gempa yang diprediksi itu terjadi dengan membangun shelter sebagai tempat evakuasi.

         Menurut Kepala BNPB Syamsul Maarif, salah satu langkah antisipasi yang dapat dilakukan adalah dengan membangun shelter yang menjdi tempat penampungan sementara masyarakat selama dua jam setelah tsunami terjadi.

         Dikatakannya, jika gempa besar yang berpotensi menimbulkan tsunami terjadi, masyarakat hanya punya waktu 30 menit untuk evakuasi menuju ke tempat yang lebih tinggi.

         Hal itu mengingat kecepatan gelombang tsunami mencapai 400 kilometer per jam dan salah satu sarana evakuasi yang dinilai paling tepat adalah menuju shelter.

         BNPB mencatat sebanyak 900 ribu jiwa berada pada zona rawan tsunami di Sumatera Barat yang memerlukan upaya penyelamatan dan evakuasi jika bencana tersebut terjadi.

         Ke-900 ribu jiwa tersebut tersebar di tujuh kabupaten dan kota di sepanjang pantai barat antara lain Kabupaten Pesisir Selatan, Padangpariaman, Agam, Pasaman Barat, Mentawai, Kota Padang dan Pariaman.

         Oleh sebab itu kepala daerah di Sumbar yang wilayahnya berada di sepanjang garis pantai barat diminta proaktif melakukan berbagai upaya penyelamatan warga.

         Lebih lanjut Syamsul mengatakan bencana tsunami tidak dapat dicegah dan hingga kini belum ada teknologi yang dapat menghentikannya.

         Karena itu, upaya yang perlu dilakukan adalah bagaimana sedapat mungkin jika tsunami terjadi tidak ada korban yang jatuh.

         Ia mengharapkan pemerintah daerah telah membuat langkah antisipasi berupa konsep evakuasi dan menyosialisasikan kepada masyarakat apa yang harus dilakukan jika terjadi gempa.

         Ia menegaskan, bencana alam bukan soal hitungan jumlah korban. Jika satu orang saja meninggal, hal itu merupakan musibah, katanya.

         Oleh sebab itu, menurut dia, diperlukan keseriusan semua pihak untuk membuat konsep antisipasi agar tidak ada korba.

         Ia menyerukan masyarakat Sumbar tidak perlu takut terhadap ancaman terjadinya gelombang tsunami akibat gempa besar.

         Menurut dia, yang perlu diupayakan saat ini jika ingin selamat adalah kesiapan menghadapi bencana.

         Ia mengatakan, bencana merupakan siklus yang selalu berulang dalam kehidupan manusia dan yang harus dilakukan adalah berusaha agar tidak ada korban jiwa.

         Atas dasar itu Presiden meminta BNPB untuk membuat mata rantai peringatan dini tsunami sebagai upaya  penyelamatan masyarakat, kata dia.

         Terkait upaya sosialisasi kesiapsiagaan menghadapi bencana akan lebih efektif jika dilakukan oleh tokoh adat dan agama karena menggunakan bahasa setempat yang lebih mudah dipahami masyarakat.

         Menurut dia, berbagai upaya dapat dilakukan oleh tokoh adat dan agama dalam menyosialisasikan kesiagaan menghadapi kemungkinan terjadinya gempa dan tsunami, salah satunya aktif memberikan ceramah dalam berbagai kesempatan tentang pentingnya upaya evakuasi dan langkah yang harus dilakukan jika gempa terjadi.

         Kemudian, seluruh sarana dan institusi agama dapat dijadikan wadah sosialiasasi seperti Taman Pendidikan Al Quran, majelis taklim dan lainnya.

         Para tokoh adat dapat menggunakan pendekatan budaya untuk menyosialisasikan upaya kesiagaan menghadapi bencana.

         Salah satunya melalui acara kesenian tradisonal randai dengan memasukkan muatan pentingnya evakuasi ke tempat yang lebih tinggi jika gempa terjadi, kata dia.

         BNPB menargetkan pada Januari 2013 pembangunan shelter sarana evakuasi sementara tsunami akan mulai dikerjakan di beberapa titik di Sumbar.

         Pembangunan akan dilakukan secara bertahap hingga lima tahun ke depan dimana akan diprioritaskan pada titik yang sangat dibutuhkan untuk upaya penyelamatan, kata dia.

         "Secara bertahap shelter tersebut akan dibangun sesuai dengan kesanggupan BNPB," kata dia.

         Setiap shelter minimal dapat menampung 1.500 warga dengan ukuran 10x50 meter. Selain itu setiap kelurahan dan nagari yang berada di daerah rawan tsunami harus memiliki peta bagan denah rumah warga dan penghuninya.

         Sementara Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno menyebutkan, berdasarkan kajian yang dilakukan Sumbar membutuhkan 300 shelter evakuasi tsunami.

         Shelter itu bakal dibangun di tujuh kabupaten dan kota di pesisir pantai barat. Satu shelter diperkirakan menyerap anggaran sekitar Rp 15 miliar. (*)


Pewarta : Ikhwan Wahyudi
Editor :
Copyright © ANTARA 2024