Kota Ambon, Provinsi Maluku punya keunikan tersendiri. Tidak saja karena masyarakatnya yang heterogen dari segi suku dan agama, namun memiliki banyak peninggalan bersejarah masa lalu.   

     Terutama bangunan tua seperti, Masjid Wapauwe dan Gereja Tua serta Benteng Amsterdam. Tiga peninggalan bersejarah itu, kini menjadi tujuan wisata religius pengunjung Kota Ambon Manise.   

     Perjuangan menuju lokasi masjid Wapauwe, misalnya bisa menghabiskan waktu sekitar 1,5 jam dari pusat Kota Ambon.

     Jalan aspal penuh tikungan dengan alamnya masih hijau, satu pesona tersendiri untuk dinikmati dalam perjalanan menuju bangunan-bangunan peninggalan tempoe dulu itu.

     Salah seorang pengunjung Irhas A. Shamad menuturkan dirinya baru pertama kali melihat kondisi fisik bangun masjid tertua di Maluku itu.

     Dirinya memang sudah mengetahui melalui catatan sejarah, tapi belum pernah melihat bentuk fisiknya. Apalagi, ada "mitos"nya, bahwa masjid tersebut pindah dengan sendirinya pada tempat berdiri sekarang di Hila.

     Dosen Sejarah dari Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang itu mengatakan bahwa di kawasan bangunan peninggalan tua itu, terdapat Pelabuhan Laut Hila --tempat mendaratnya para orang Arab zaman dulu.

     Rombongan yang berkunjung menyempatkan pula, shalat ashar di masjid yang berdiri sejak abad 1414 masehi itu.

     "Masjid Wapauwe lebih tua dari masjid Syekh Burhanuddin di Padang Pariaman, Sumbar," ujar mantan Dekan Fakultas Adab itu.

     Pemandu rombongan, Yul dan Nasution mengatakan, tidak lengkap rasanya bagi pengunjung bumi Ambon, apabila belum menyempatkan diri datang dan shalat bagi umat muslim di masjid tertua di provinsi seribu pulau itu.      

     Masjid Wapauwe hanya berukuran 10x10 meter tersebut dalam catatan sejarah berdiri sejak 1414 di Wawane.

     Pada 1614 dipindahkan Imam Rijalli ke Tehalla yang berjarak sekitar 6 km sebelah Timur Wawane. Kemudian pada 1664 masjid turun ke negeri Atetu lengkap dengan peralatan ibadahnya.

     Imam Masjid Wapauwe, Jafar L (62) menuturkan, pemindahan pertama masjid itu, ketika tentara Belanda telah menguasai kepulauan Ambon.

     Agresi terus berlangsung dengan sendirinya konstruksi bangunan induk masjid yang terbuat dari kayu tanpa menggunakan paku itu, tiba negeri Atetu.

     "Masyarakat Desa Laihitu tahunya ada bangunan induk masjid setelah bangung pagi pada suatu hari tahun 1664, sudah terlihat saja ada konstuksi bangunan rumah ibadah itu," ujarnya.

     Bangun masjid yang khas itu, beratapkan daun nipa (rumbia, red) dan dinding untuk satu meter sudah pemugaran dengan semen. Sedangkan sebagian besar dindin dari pelepah nipah.

     Masjid itu, memiliki tiang alifnya atau gubah khas dan telah pernah diganti pertama kali pada tahun 1700.

     Kini gubah pertama itu, masih disimpan di bangunan masjid yang terbuat dari kayu jenis mintanggur.

     Pemugaran tiang alif masjid melalui prosesi adat masyarakat setempat, hingga kini berlaku untuk semua masjid di desa itu.

     Mulanya rumah ibadah umat muslim pertama di Ambon itu, hanya berlantai kerikil dan dilakukan pemugaran sehingga diganti dengan beton pada 1895.

     Selanjutnya terjadi lagi pemugaran pada 1959, yakni penambahan bangunan dengan ukuran 6,35x7,45 meter persegi, karena kebutuhan jemaah semakin bertambah.

     Imam Gafar mengatakan, empat tiang bangunan masjid tertua itu terdiri dari jenis kayu nani dan kayu merah, beduk terbuat dari kayu lianggua.

     Aktivitas di masjid selain pelaksanaan shalat lima waktu berjemaah, juga digelar wirit rutin kaum tua pada ba'dah magrib Senin dan Jumat.

     Masjid Wapauwe tetap melaksanakan shalat Jumat, tapi disepakati bergantian dengan masjid yang jauh dari rumah ibadah tertua tersebut.

     "Kalau pekan pertama shalat di masjid Wapauwe, pekan berikutnya di masjid yang satu lagi," ujarnya.

     Dalam penentuan imam masjid tertua itu, setelah adanya kesepakatan dari 12 tokoh adat yang memiliki jabatan  yang dipimpin "Kepala Tukang".

     Pemuka adat itu, merupakan perwakilan dari marga-marga yang ada di daerah itu, di antaranya marga Hatue, Lumaela, Nuluhala, Yaluhet, Lain dan Iha.

     Pengunjung yang datang melihat masjid tertua itu dari berbagai daerah di Indonesia, ada yang perorangan dan rombongan. 

<b>Benteng Amsterdam</b>

     Pengunjung yang datang ke Laihitu tersebut, juga dapat melihat peninggalan Belanda yang merupakan Benteng Amsterdam dibangun pada 1642 oleh Gepard Demmi, R.

     Bangunan yang dilengkapi dengan ruang tahanan itu, diperluas Arnold De Vlaming Van Ouds Hoorn dari 1649 hingga 1656. Kini merupakan sebuah bangunan yang masih berdiri kokoh di pinggir laut.

     Bangunan bertingkat itu, dikelilingi pagar tembok yang kokoh dan masih terlihat awet, hanya satu pintu masuk. Namun, kini atap sudah dilakukan pemugaran dari genteng tanah menjadi genteng metal.

     Dalam pekarangan bangunan benteng terdapat sumur tua dan memiliki terowongan menuju ke Gereja Tua Hila, berjarak sekitar 50 meter ke darat.

     Petugas penjaga cagar budaya itu, Gofur menyebutkan, benar saat ada penggalian dulu, ditemukan terowongan menuju Gereja Tua (Cagar Budaya), tapi sudah tertimbun. Senjata dan ada yang dibawa ke museum.

     Menurut dia, bangun Benteng Amsterdam yang dilakukan pemugaran kembali oleh pemerintah pada 1991 hingga 1994 dan diresmikan pada 1997.

     Benteng peninggalan Belanda itu, tak luput dari sasaran pengunjung saat datang ke permukiman muslim tersebut.

     Pagar bangunan yang cukup tinggi dilengkapi dengan jenjang pada bagian arah laut. Di bagian dinding tepi laut, pengunjung bisa memandang laut yang tenang antara Pulau Ambon dan Pulau Seram itu.

     "Orang banyak berkunjung ke Benteng Amsterdam pada musim libur panjang. Pada hari-hari biasa ada juga," ujarnya dengan khas logat bahasa Ambon.

     Ambon selain punya catatan sejarah mengenai Pattimura, banyak lagi yang bisa dijadikan andalan untuk pengembangan obyek wisata bahari dan sejarah.

     Topografi wilayah yang dihuni penduduk sekitar 300-an ribu, bergelombang, bahkan seperti kuali. Maluku merupakan harapan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia wilayah Timur.

     Pendudukan Ambon telah menyatakan tekad bersama semua suku dan agama hidup dalam keberagaman yang dibalut kedamaian menuju masyarakat yang sejahtera.

     Setidaknya ini motto Pemprov Maluku dalam menyukseskan pelaksanaan MTQ Nasional ke XXIV dan selama dua pekan Juni 2012, tak kurang dari sekitar 1.000-an pengunjung dari berbagai penjuru tanah air menikmati alam Kota Ambon Manise. (*)


Pewarta : Siri Antoni
Editor :
Copyright © ANTARA 2024